Oleh NURBANI YUSUF
Muhammadiyah di lapis atas-bawah adalah Islam yang toleran dan inklusif. Para elite Muhammadiyah merupakan representasi jamaah akar rumput yang saling terpasang dan terhubung dalam satu pergerakan.
Maka, stigma yang disebut mantan Kepala BIN, A.M. Hendro Priyono, bahwa Muhammadiyah dekat dengan paham radikal ekstrem adalah dusta, tendensius, dan tidak berdasar. Setidaknja itulah hasil riset awal yang saya lakukan beberapa bulan menjelang dan sesudah Pilpreslalu. Ada tiga indikator yang saya coba analisis tentang perilaku warga persyarikatan. Pertama perbedaan pilihan politik, kedua keragaman, dan ketiga perbedaan atau ikhitilaf dalam keberagamaan.
Pertama, Muhammadiyah tampil elegan, dewasa dan toleran. Dalam hajatan demokrasi Pilpres 2019 misalnya, warga Muhammadiyah adalah komunitas yang paling cepat melakukan recovery, adaptif dan tetap objektif di tengah dan tidak larut dalam kepentingan politik partisan. Keberpihakan dan sikap politik warga Muhammadiyah adalah yang paling realistis dengan tetap mengedepankan kepentingan kebangsaan dan keumatan tanpa memandang perbedaan.
Hasil wawancara dan beberapa analisis tentang sikap dan perilaku para pimpinan daerah, cabang, ranting, dan jamaah akar rumput dengan pendekatan hermenetik fenomenologis menunjukkan indikasi yang sangat kuat, bahwa sebagian besar warga persyarikatan menunjukkan dedikasi dan nasionalisme yang tinggi lewat analisis analog teks yang saya lakukan.
Muhammadiyah adalah komunitas yang cinta tanah air dan bederma untuk negara tanpa panjang pikir. Ghirah dalam menghadapi pandemi virus corona (Cofid-19) adalah contoh yang paling valid dan sahih untuk melihat bagaimana nasionalisme warga Muhammadiyah di beberapa titik terhadap masalah keumatan dan kebangsaan. Warga Muhammadiyah terbukti “paling loyal” terhadap kepentingan kebangsaan dan keumatan.
Kedua, multikultur adalah ciri lain warga Muhammadiyah. Warga Muhammadiyah kerap menjadi suar yang menawan dan terdepan dalam berbagai amal kebaikan.Tak heran jika Gus Dur mengatakan,”Kemenangan dialektik adalah milik Muhammadiyah.”
Berbagai amal usaha berupa sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi, bahkan masjid selalu di disain untuk kepentingan publik. Muhammadiyah tidak pernah mensyaratkan, bahwa pengguna amal usaha harus warga atau anggota Muhammadiyah, atau mengikuti syarat tertentu bagi warga non-Muhammadiyah. Anda mungkin akan tercengang bila ada satu ranting dengan satu masjid ratusan jamaah, satu PAUD, TK dan diniyah, hanya di gerakan oleh satu keluarga. Guru dan karyawannya diambil dari “tetangga sebelah”.
Indikasi lainnya adalah pengguna amal usaha itu juga warga sekitar yang bukan warga Muhammadiyah. Guru, dosen, dokter atau karyawan di semua amal usaha Muhammadiyah tempat saya melakukan riset juga dari berbagai kalangan dan latar belakang ideologi, manhaj dan aliran. Semua bisa berkolaborasi tanpa melihat skat pemisah.
Ketiga, ikhtilaf dalam ke-beragama-an. Meski mengusung jargon kembali pada al Quran dan as Sunah, memberantas takhayul, bid’ah dan khurafat dalam praktiknya tetap mengedepankan toleransi tinggi. Dengan kata lain, Muhammadiyah keras di dalam, tapi lunak saat di luar.
Warga Muhammadiyah sangat inklusif dan menerima perbedaan sebagai keniscayaan. Dengan tegas saya katakana, Anda tak akan pernah menjumpai warga Muhammadiyah membubarkan pengajian atau halaqah, meski itu sangat bertentangan dengan keyakinan yang mereka pegang. Sebaliknja, Muhammadiyah malah sering sekali mengundang ulama atau cendekiawan yang “berseberangan” ke dalam biliknya. Ini sesuatu yang biasa bagi warga peryarikatan.
Di beberapa tempat di mana warga Muhammadiyah menjadi minoritas, mereka juga tetap aktif dan beribadah di masjid atau mushala meski berbeda manhaj. Hal ini menunjukkan, bahwa warga Muhammadiyah sejatinya adalah inklusif dan dewasa dalam keberbedaan.
Riset ini baru awal dan belum bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, sebab masih dalam proses perjalanan yang membutuhkan pendalaman dan pemutakhirandata. Tetapi, secara global saya sudah berani memberikan catatan khusus, bahwa warga persyarikatan adalah komunitas dengan sikap tassamuh, tawazzun dan taawwun sebagai manifestasi sikap puritan sebagaimana pernah digagas Max Webber. Yang dianut hampir sebagian besar warga persyarikatan, yakni sikap lapang hati, militan, bekerja keras, hemat, produktif, sederhana, tep,caya, zuhud, suka membantu. Itu semua mematahkan stigma bahwa Muhammadiyah itu fundamentalis atau radikal.
Sinyalemen A.M. Hendro Priyono yang mantan kepala BIN yang menuduh bahwa Muhammadiyah memberikan ruang bagi tumbuhnya radikalisme, karena ada habitat yang melindungi dan memberikan ruang, adalah bullsheet dan tanpa dasar. Sebab, fakta di lapangan justru sebaliknya.(*)
*) Penulis adalah dosen di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Batu, penggerak Komunitas Padhang Makhsyar.