Di tengah ramai jagat medsos oleh pembahasan absurditas sinetron lokal Indonesia, film pendek TILIK tiba-tiba menyeruak. Beda dengan kebanyakan film televisi yang sudah terlalu dikooptasi pertimbangan industri, film Tilik ini memilih memotret realitas arus bawah. Konfliknya, settingnya, tokohnya, adalah citra realitas keseharian masyarakat. Meskipun secara simbolik film ini sarat pesan politik.
Beda dengan kebanyakan film yang terpaku pada pakem oposisi biner protagonis-antagonis, maka dalam film TILIK ini justru lebih manusiawi. Bahwa sesungguhnya dalam kehidupan ini tidak ada orang yang seratus persen antagonis dan seratus persen protagonis.
Apakah Bu Tejo murni antagonis karena suka nyinyir pada keluarga “penguasa” lokal desanya, mulai dari Bu Lurah, suami Bu Lurah, Fikri anaknya, hingga Dian si wanita penggoda? Saya kira terlalu reduksionis kalau menyimpulkan seperti itu. Apa Yu Ning protagonis karena selalu menasehati agar tidak mudah menyebar Informasi yang belum tentu benar? Belum tentu juga, toh ia sendiri sudah menyebar info kurang valid yang membuat komunitas emak-emak kampung “musproh” naik truk si Gotrek dari desa ke Rumah Sakit Muhammadiyah itu. Jadi, apakah yang sok menasehati “Saya Pancasila, saya NKRI” itu seperti Yu Ning yang justru menyusahkan warga lainnya?
Saya kira, sosok Bu Tejo lah yang lebih pas nyalon Lurah daripada suaminya yang pengusaha itu. Ada banyak alasan mengapa Bu Tejo cocok menggantikan Bu Lurah, bahkan mungkin juga cocok jadi Presiden Indonesia.
Pertama, sosok analis kritis. Bu Tejo cukup akurat memprediksi bahaya Dian sebagai faktor penyebab disharmoni sosial masyarakat. Argumentasinya kuat, didasari bukti empiris. Ia mengalisis dengan standar ilmiah trianggulasi data: observasi perilaku Dian, studi literatur postingan di Internet, dan wawancara warga. Ia hanya kurang akurat soal siapa lelaki yang memacari Dian: suami Bu Lurah, bukannya Fikri. Dibandingkan analisis Presiden soal ekonomi meroket atau Pandemi Covid, analisis prediksi Bu Tejo jauh lebih akurat.
Kedua, sosok Loyal dan merakyat. Apa uang tip yang diberikan pada Gotrek murni inisiatif suami Bu Tejo? Saya kurang yakin. Saya kira itu Bu Tejo sendiri yang memberi. Justru ia cukup tahu diri dengan tidak mengklaim uang itu dari dirinya. Ini beda jauh dengan pejabat yang mengklaim bantuan dari dirinya padahal dananya milik negara. Ia juga jelas merakyat, sebagai istri pengusaha ia bisa saja berangkat dengan kendaraan sendiri bukannya bersusah-susah naik truk. Meski suaminya mau nyalon Lurah, saya kira pilihan kendaraan ini bukan pencitraan seperti pejabat masuk got atau berbaju adat tapi kebijakannya tidak pro masyarakat adat.
Ketiga, koneksi luas dan empatik. Ada dua adegan yang menunjukkan Bu Tejo adalah sosok yang empatik dan mau menggunakan koneksinya demi kepentingan warga. Pertama saat ia protes mengapa Yu Ning menyewa truk padahal Bu Tejo bisa mengusahakan bus dari koneksinya. Kedua saat ini menekan polantas agar truk si Gotrek tidak ditilang. Jelas, tipikal seperti Bu Tejo kalau jadi presiden akan berjuang demi kepentingan rakyat menggunakan koneksinya, bukan malah mengutamakan tenaga kerja asing dan suka lari dari tanggung jawab dengan bilang “bukan urusan saya”. Mungkin kalau ketemu Bu Tejo, pejabat seperti ini akan digigit: “Nuraninya itu loh dipakai! Empatinya pak! Ya Allah!”
Keempat, ini yang paling penting. Di tengah kegalauan ibu-ibu yang lain, bu Tejo masih bisa berpikir rasional. Tidak bisa tilik karena Bu Lurah masih di ICU, Bu Tejo menawarkan alternatif hebat: ke Pasar Gede. Dan apa yang lebih persuasif bagi emak-emak dari jalan-jalan ke pasar? Rasionalitas seperti Bu Tejo ini jauh di atas rata-rata pejabat kita. Lihat saja, dalam suasana genting mereka tidak tampak pikiran alternatifnya. Menkes tidak mampu mengatasi Pandemi, Mendikbud tidak mampu mengatasi BDR, Menkeu tidak mampu mengatasi hutang hingga presiden tidak mampu mengatasi kinerja buruk kabinetnya. Ia cuma marah tapi tidak punya jalan keluar. Padahal kata Bu Tejo: “jadi orang itu yang solutif!”.
~ Ahmad Faizin Karimi
Penikmat Film