(Catatan Ringan Menyambut Milad ke-108 Muhammadiyah, H-1)
Oleh NURBANI YUSUF
Saya tidak tahu harus berkata apa terhadap Prof Haidar Nasher dan Buya Syafi’i Ma’arif, dua ulama junjungan di sebuah organisasi besar di dunia: Muhammadiyah. Tak ada Rubicon, Alphard atau mobil mewah lainnya yang menyertai keduanya. Bagi keduanya, kereta api atau mobil Daihatsu Xenia butut yang dikendarai secara bergantian, sudah lebih dari cukup
Hampir semua ulama Muhammadiyah tak butuh pengawalan atau penjagaan dan perlindungan berlapis, sebagaimana dinikmati pimpinan organisasi atau pejabat pada umumnya. Mereka juga tak butuh pembelaan karena hujatan atau celaaan dari yang tak suka. Bahkan, mereka juga tak memerlukan buzzer atau influencer untuk pencitraan agar populer. Demikian juga, mereka tak perlu follower untuk menaikkan reputasi publik.
Meski menabalkan sebagai organisasi modern, keduanya tetap konvensional secara generik. Sikapnya bersahaja, sederhana, dan tampil apa adanya. Mereka juga merawat tradisi urunan, silaturahim dan kajian-kajian sederhana.
Banyak pengamat terkagum-kagum dengan gerakan yang digagas Kyai Ahmad Dahlan 108 tahun silam. Muhammadiyah tetaplah otentik, meski prestasi tak lagi bisa diukur, karena saking banyaknya. Abdul Razaq Fakhrudin atau akrab disapa Pak AR masih berjualan bensin eceran dan naik motor Yamaha butut. Buya Syafi’i masih biasa berjalan kaki ke masjid depan rumah, naik bus dan antre. Prof Haidar biasa naik kereta api dan duduk di serambi masjid khusyuk mendengar khutbah dari jamaah akar rumput, tanpa tasa canggung. Tak ada cerita dramatis nan heboh atau kisah buih penuh kata dusta menyelimuti laku mereka. Mereka ulama kami yang bersahaja.
Rumah di Jalan Silikat yang di huni Prof Malik Fadjar kerap menjadi jujugan Pak AR Fakhruddin ketika menjabat Ketua PP Muhammadiyah saat beliau berkunjung ke Malang. Pak AR lebih memilih menginap di rumah pimpinan daerah atau cabang dari pada menginap di hotel berbintang, meski pengikutnya mampu bayar.
Mitsuo Nakamura, seorang mahaguru dan peneliti senior berkebangsaan Jepang sempat dibuat kaget dan terkagum-kagum saat kali pertama datang ke Yogjakarta. Bermaksud bertemu dengan para pimpinan Muhammadiyah, Mitsuo Nakamura dibonceng Pak AR dengan motor Yamaha butut tahun 70-an yang terlihat menua.
Dari ulama bersahaja yang pegawai KUA golongan II tanpa deret gelar akademik ini, lahir puluhan universitas, rumah sakit dan layanan umum lainnya. Bersyukur kita banyak punya ulama bersahaja yang hadir di saat yang tepat. Banyak uswah khasanah dari para ulama junjungan kita. Bersama para ulama bersahaja itu kita bisa menimba dan berbenah untuk kebaikan yang lebih optimal.
Adalah Kyai Bedjo Dermoleksono, penggagas dan pendiri Universitas Muhammafiyah Malang, harus berjalan kaki dari Sidomulyo, Kota Batu, tempat masa kecil saya mengaji bersama bapak, ke rumahnya di Oro-oro dowo Kota Malang, selepas mengisi pengajian rutin setiap Selasa ba’da Ashar.
Beliau tidak sengaja berjalan kaki apalagi bermaksud jogging dengan jarak 35 kilometer. Lakau jalan kaki itu lebih karena para muridnya lupa memberikan uang transpor. Dan, saat beliau wafat pun, tak meninggalkan harta untuk diwariskan, karena semua tanahnya telah diwakafkan untuk persyarikatan, tanpa sisa. Ya, tanpa menyisakan buat ahli warisnya. Bahkan, Bu Nyai Bedjo (Nyai Artiyah) harus menumpang di kompleks perumahan masjid Al Khairat Kyai Abdullah Hasyim Dinoyo, tempat di mana saya menjadi penjaga dan tukang azan masjid selama enam tahun lebih.
Dua ulama yang saya sebut di atas bukanlah dari kalangan para sahabat, tabi’in, atau para salaf yang muktabar. Keduanya hanya ulama biasa yang hidup beberapa tahun lebih dulu dari kita. Orang biasa dengan pikiran biasa dan status sosial biasa pula, bukan keturunan sayyid, syarif apalagi habib.
Bersyukur saya berkesempatan ngawula kepada Pak AR, meski hanya sekadar mengambilkan unjukan teh tubruk kesukaannya, mengantar istirahat ke Jalan Silikat dan menjemputnya esuk pagi. Bersyukur pula musholla depan rumah, rintisan kakek saya beberapa kali disinggahi Kyai Bedjo Dermoleksono mengaji kitab Bulughul Maram dan Nailul Authar, meski hanya beberapa kali pertemuan.
Sungguh , ini kenangan manis tak terperi bersama para ulama kesayangan. Orang-orang yang menurut saya ‘alim, zuhud dan wara. Malu kiranya mengenang kesahajaan mereka, ketika melihat lifestyle para ulama zaman sekarang, yang cenderung bertarif mahal, pamer piknik, jemputan mobil mewah dan hotel berbintang untuk istirahat.
Jika ulama sekelas Pak AR, Kyai Bedjo Dermoleksono, Prof Haidar, Buya Syafi’I, Buya Yunahar dan Prof Malik Fadjar, berpikir seribu kali hanya untuk memakai kemeja baru di depan santrinya, ulama sekarang tak malu menunjukkan berapa deret isteri yang dinikahi. Atau koleksi kuda tunggangan atau kebun luas yang dimiliki atau jumlah tabungan di rekening hasil honorarium ceramahnya.
Memang, tak ada keharusan ulama harus hidup zuhud dan wara, berpakaian kumal, makan seadanya atau jalan kaki kemana pun ia pergi. Tetapi, juga tak elok menunjukkan kekayaan, melahab makanan mahal dan mengenakan baju mewah dan pamer pengawalan berlapis di depan publik di kala umat lagi berkekurangan. Pada akhirnya, semua terpulang kepada masing-masing. Hidup memang pilihan. (*)
*) Penulis adalah Dosen di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ketua PDM Kota Batu (2010-2018), Ketua MUI Kota Batu (2020-2025), Direktur Agropolitan Televisi (2020-2025), dan Owner Komunitas Padhang Makhsyar.