Oleh : Dewi Musdalifah
Sejak 2012 saya kerap keliling dari sekolah yang satu ke sekolah lain. Tujuannya cuma satu: men-support kegiatan literasi, khususnya menulis. Sayang, pandemi virus corona (Covid 19) yang berlangsung hampir setahun ini, harus menghentikan langkah (fisik) saya. Tetapi, ghirah berliterasi untuk membantu para siswa bisa “membumi” dengan tulis-menulis hingga kini tak pernah padam.
Kenapa saya melakukan itu? Apakah karena merasa memiliki ilmu yang mumpuni dan berlebih sehingga harus dibagi-bagikan? Tidak, sama sekali tidak!
Jujur saya akui, dalam perjalanan berliterasi itu, justru saya banyak belajar dari berbagai peristiwa yang terjadi. Saya merasa terus mendapat tetesan hikmah dari berbagai kejadian yang saya saksikan dan membuat saya makin terasah dalam menjalani kehidupan.
Metode menulis sukar diajarkan secara kaku. Sebabnya, setiap individu punya kecenderungan berbeda dengan lainnya. Kita bisa saja mengajarkan berbagai teknik menulis, namun akan sulit menuai hasil yang maksimal jika tidak dipraktikkan. Bisa-bisa energi dan pikiran yang tercurah muspra (sia-sia) alias mubazir.
Mengapa demikian? Sebab, kematangan dalam menulis bukan karena jejalan teori-teori yang bisa digali dari mana saja. Sebaliknya, pergulatan untuk terus menulis dan menulis, itulah teknik terbaik yang sesungguhnya.
Tentu saja, untuk mengasah ketajaman berpikir dalam menulis, sumber dasarnya adalah membaca, baik secara tekstual maupun kontekstual, dan berbagai pengalaman hidup.
Sesungguhnya, menulis bagi pelajar dan suatu lembaga pendidikan sangatlah penting. Manfaatnya tidak saja akan dinikmati penulisnya, tapi sekaligus bisa dirasakan oleh lembaga pendidikan (sekolah) yang menaunginya.
Dalam berbagai perjalanan ekspedisi menulis, saya banyak menemukan potensi terpendam para siswa, berupa potensi baik dan potensi buruk. Semua bisa terdeteksi lewat tulisan karya mereka.
Pernah suatu kali, saya menemukan sebuah tulisan “aneh”. Isinya tentang kebencian seorang anak kepada ibunya. Ia menggambarkan begitu detil pertengkaran di antara keduanya. Berbagai kalimat buruk pun muncul. Dan, di bagian endingnya, tokoh sang ibu dibuat mati.
Saya merasa ada masalah besar yang sedang dialami pelajar ini. Ia masih duduk di bangku SMP waktu itu. Secepatnya saya hubungi guru Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah tersebut, lalu berbincang sekaligus klarifikasi seputar masalah pelajar itu.
Selang beberapa hari, saya mendapat kabar, bahwa benar memang ada konfilks antara pelajar itu dengan ibunya yang menjanda dan baru saja menikah lagi. Pelajar itu tidak setuju dengan pernikahan (kembali) ibunya sepeninggal ayahnhya.
Untunglah penanganan belum terlambat menjadi masalah besar. Bimbingan dan pendampingan intensif terus dilakukan oleh guru BK untuk memebaskan anak itu dari belenggu konflik yang berpotensi merusak kondisi psikisnya. Dan, berhasil.
Banyak hal saya temukan saat mendampingi siswa dalam dunia kepenulisan yang akhirnya menjadi rujukan bagi guru BK untuk membaca permasalahan dan memberikan solusi bagi siswanya. Dan, tulisan ternyata mampu mendeteksi dan menjadi media untuk memetakan pikiran anak ketika dirudung permasalahan.
Satu hal lagi hikmah yang saya temukan. Menulis ternyata juga mampu menjadi terapi psikologi dan itu benar-benar nyata. Mantan Presiden RI, B.J. Habibie, membuktikannya dengan menulis buku “Habibie dan Ainun“.
Saya pun punya pengalaman itu. Pernah dalam kegiatan menulis di salah satu sekolah, saya harus menunggui seorang pelajar menangis hampir dua jam. Saya kebingungan ada apa siswa ini. Dia menulis baru dapat satu paragraf, tetaapi tak bisa melanjutkannya, kecuali hanya menangis.
Saya hanya diam di sampingnya. Setelah lama dia menangis dan teman temannya sudah menyelesaikan tulisan dan pulang, saya ajak bicara dia. Ternyata, dia menulis peristiwa kecelakaan yang pernah dialami dan berakibat sahabatnya meninggal dunia dalam boncengannya.
Dia merasa bersalah dan terus merasa bersalah. Meskipun banyak pihak yang menghibur dan minta menerima kejadian itu sebagai takdir, namun dia belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Dia terus dikungkung rasa bersalah.
Pelan-pelan, saya minta dia menuliskan perasaan, rasa bersalahnya, dan permintaan maaf kepada sahabatnya. Hanya butuh waktu satu jam dia menuliskan kekalutan persaannya. Setelahnya, terbitlah senyum yang mengembang dan sorot mata yang berbinar.
Dia menyeka sisa air mata di pipi dan berkata, “Terima kasih, Bu.
Saya merasa lega. Beban yang bertahun tersimpan, berhasil tumpah lewat tulisan dan …plong rasanya.”
Alangkah indahnya jika kita berhasil menemukan esensi dari apa yang kita tulis. Apa yang kita lakukan bukan sekadar menggoreskan kata, lalu menyusunnya menjadi kalimat, paragraf, dan akhirnya menjadi naskah yang enak dibaca. Lebih dari itu, bagaimana tulisan itu mampu menjadi kanal berbagai masalah bagi yang membutuhkan.
Pada akhirnya, literasi memang bukan hanya persoalan membuat karya tulis dan menerbitkannya. Tetapi, bagaimana membuatnya lebih besar lagi manfaatnya untuk misi kemanusiaan. (*)
*) Penulis adalah guru, pegiat literasi (sastra) dan Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Gresik.