Mengaku Taqwa Jangan Pelit Meminta dan Memberi Maaf

MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Muslim yang mengaku bertaqwa jangan pelit meminta maaf dan memberikan maaf, setiap masalah yang ada jangan diperpanjang. Sikap rendah hati dan tidak pemarah harus senantiasa dikedepankan agar tidak retak hubungan personal, keumatan, dan kebangsaan.

Demikian menurut Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di acara Kajian Islam Tematik yang diadakan oleh Universitas YARSI pada, Sabtu (21/5) secara daring.

Murah untuk memberikan dan meminta maaf kata Haedar merupakan tahapan dan ciri ketaqwaan. Namun demikian, setiap manusia yang mengaku bertaqwa harus senantiasa waspada terhadap segala bentuk dosa. Tidak boleh seorang muslim ketika diberi maaf lantas kemudian mengulangi kesalahan yang serupa. Menjaga hubungan baik sesama manusia merupakan dimensi taqwa, sebab taqwa itu berdimensi hablum minallah wa hablum minannas.

“Di surat Al Baqarah ayat 177 kita bisa bagi dalam dua bagian, ada yang menyangkut dimensi iman ada yang menyangkut dimensi muamalah”. Ungkap Haedar.

Beriman, kata Haedar, seringkali tidak mudah untuk dipraktekkan sebab seringkali dihadapkan dengan sesuatu yang abstrak. Sementara manusia seringnya berhadap dengan sesuatu yang konkrit.

Ia mencontohkan, beriman kepada Allah SWT. Padahal Allah merupakan zat yang tidak terjangkau oleh manusia. Oleh karena itu, bagi seorang muslim penting bagaimana mendudukan rasionalitas dengan keimanan. Tumpang tindih posisi iman dan rasionalitas pada muslim akan berakibat fatal, seperti yang terjadi ketika pandemi covid-19. Banyak yang mengaku beriman, salah dalam aktualisasi keimanan. Mereka membandingkan Tuhan dengan virus covid-19.

Taqwa bagi seorang muslim, kata Haedar, merupakan tahapan menuju kebaikan yang terus diusahakan tidak stagnan. Taqwa akan terus mengalami ujian, seperti pada saat seseorang sedang mendapat stimulan untuk marah. Apakah dia sanggup mengimplementasikan ketaqwaannya sehingga dia bisa menahan marah. Taqwa lebih-lebih akan diuji ketika muslim berada pada ruang yang profan, sebab ketika dalam situasi sakral mungkin akan lebih mudah menahan marah. Di media sosial misalnya, mudah sekali seseorang marah dan mengumbar kemarahan. Tidak jarang dari mereka menganggap marah sebagai bagian dari DNA nya.

“Kok, bangga menjadi orang pemarah. Bahkan merasa menjadi karakternya. Kenapa bangga dengan sikap temperamental ?”. Ungkapnya.

Bahkan disaat beramar ma’ruf nahi munkar, menurut Haedar sebisa mungkin untuk tidak menampilkan kemarahan. Termasuk ketika marah karena agama, karakter orang beragama harus berbeda dengan orang marah yang hanya mengumbar hawa nafsu.

sumber berita ini dari muhammadiyah.or.id

0 Reviews

Write a Review

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
  • 5
Vinkmag ad

Read Previous

Islamofobia dan Tantangan Hijab di Abad 21 | PWMU.CO

Read Next

PW Aisyiyah Sumut Ajak Warganya Terus Berkhidmat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular