Pendidikan Harus Berorientasi Pada Masa Depan

MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Pendidikan Islam harus berorientasi pada masa depan. Namun sebagian muslim masih memiliki anggapan bahwa generasi masa lalu alias salaf sebagai citra ideal dalam mengembangkan institusi pendidikan.

Padahal, pendidikan para generasi salaf dipahat untuk merespon tantangan zamannya waktu itu. Sehingga mengembangkan mutu pendidikan harus disesuaikan dengan peta tantangan masa kini yang berientasi ke masa depan.

Demikian disampaikan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiiyah Syamsul Anwar dalam acara Halal Bihalal Keluarga Besar Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) pada Sabtu (21/05).

Menurutnya, pada masa lalu pendirian institusi pendidikan tak lebih dari peristiwa sejarah yang bekerja dalam lingkup situasionalnya, sehingga tidak perlu diadopsi secara utuh untuk masa sekarang yang secara diametral tantangannya berbeda satu sama lain.

Salah satu contohnya ialah motif utama pendirian Madrasah Nizhamiyah sesugguhnya sebagai respon terhadap perkembangan Syiah di lingkungan Kekhilafahan Abbasiyah. Dinasti Syiah yang menguasai politik dan pemerintahan Abbasiyah selama 110 tahun (945-1055 M) itu bernama Buwaihi. Hal ini dapat terjadi lantaran memasuki abad ke-10 M, kejayaan Abbasiyah mulai meredup.

Di Afrika Utara berdiri Fatimiyah, di wilayah Andalusia berdiri Ummayah, dan bermunculannya dinasti-dinasti kecil. Pengaruh Dinasti Buwaihi di lingkungan istana Kekhilafahan Abbasiyah begitu besar. Khalifah tak lebih hanya sebagai simbol, sementara tampuk kekuasaannya dikendalikan para amir Bani Buwaihi. Jika Bani Buwaihi bertindak nekat menghapus semua penguasa Abbasiyah, mereka akan mengalami krisis legitimasi dari masyarakat. Pada periode inilah Sunni dan Syiah hidup rukun dalam satu payung institusi. Nama-nama mereka dan khalifah disebutkan dalam khutbah-khutbah Jumat, dan diukir pula dalam mata uang logam.

Berkuasanya Dinasti Buwaihi di wilayah Abbasiyah, aliran Mu’tazilah kembali bangkit dan bergandengan tangan dengan Syiah. Dinasti Buwaihi turut berjasa mengembangkan supremasi peradaban Islam di bidang ilmu pengetahuan dan sastra. Mereka meninggalkan banyak karya yang bisa dibaca hingga sekarang.

Misalnya, buku Al-Qanun fi At Tibb karya Ibn Sina, dan karya-karya ilmuwan muslim lainnya seperti Al-Farghani, Abul Wafa Al-Buzjani, Muhammad Al-Karaji. Setelah 110 tahun mengendalikan kekhalifahan Abbasiyah, kekuatan politik Dinasti Buwaih pun terus meredup.

Selama itu pula, paham Syiah dan Mu’tazilah telah menyebar luas di seluruh Abbasiyah. Saat Dinasti Seljuk dari Turki menggantikan posisi Dinasti Buwaihi, mereka memiliki misi untuk meneguhkan kembali dominasi Sunni di seluruh wilayah kekhalifahan Abbasiyah. Pada akhirnya tahun 1067 penguasa Kesultanan Seljuk Nizham al-Mulk mendirikan lembaga pendidikan di berbagai kota besar Abbasiyah, termasuk Baghdad, Nishapur, Isfahan, Mosul, dan Basrah dengan nama Madrasah Nizhamiyah.

Sebagai respon terhadap paham Syiah dan Mu’tazilah dan berupaya meneguhkan kembali dominasi Sunni, Madrasah Nizhamiyah lebih menekankan pada pembelajaran agama, terutama yang beraliran teologi Asy’ariyah dan bermazhab fikih Syafii. Beberapa alumni jebolan Nizhamiyah menjadi ulama terkenal dan pembela Sunni di garis depan ialah Imam al-Haramain al- Juwaini, Hujjatul Islam Al Ghazali, dan Abu Ishaq al-Sirazi.

Syamsul memahami alasan mengapa Madrasah Nizhamiyah hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Madrasah Nizamiyah jelas bercorak Sunni dan diarahkan untuk menentang ajaran Syiah yang sempat dibawa para punggawa Dinasti Buwaihi. Hal tersebut menyebabkan keterbatasan ruang gerak kegiatan dan kebebasan para ulama dalam melakukan kajian ilmiah. Tidak heran bila ada beberapa peneliti yang mengatakan bahwa Madrasah Nizhamiyah turut bertanggungjawab atas terhambatnya kajian filsafat dan sains di dunia Islam.

Padahal pada masa pemerintahan sebelumnya terutama di bawah Harun al Rasyid dan Al Ma’mun, kegiatan di Bait al-Hikmah didominasi oleh ilmu-ilmu awa’il, filsafat dan sebagainya. Corak pendidikan di Madrasah Nizhamiyah secara tidak langsung berpengaruh terhadap institusi-institusi pendidikan di tanah air.

Banyak pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Bahkan saat KH. Ahmad Dahlan mengenalkan sistem pendidikan Islam dengan pendekatan yang baru, tidak jarang mendapatkan resistensi yang keras dari masyarakat sekitar. Meski demikian, Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah dengan memanfaatkan medium lain seperti biola, papan tulis, meja dan kursi serta ruang kelas. Karena itulah, pendidikan harus disesuaikan dengan tantangan zaman. Saat ini tidak bisa pendidikan Islam hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama.

Syamsul lalu mengusulkan kepada segenap pengurus PUTM agar mengarahkan para mahasiswa tidak hanya menguasai dasar-dasar ilmu keislaman, juga harus menguasai bahasa Inggris agar dapat memperkaya sekaligus memperluas khazanah pemikiran dalam menjawab tantangan kontemporer. Selain itu, penting juga mendalami ilmu falak, minimal tahu kriteria awal waktu salat, penentuan awal bulan baru, dan perhitungan arah kiblat.

“Bahasa Inggris itu sarana untuk melihat dunia modern, sehingga kita bisa melakukan modernisasi. Dan kenapa harus menguasai falak? Karena Muhammadiyah ini pelopor dan sekaligus sistem perhitungan kalender dalam Muhammadiyah itu memakai hisab. Karenanya harus dikuasai ilmu hisab ini, sebab dibutuhkan masyarakat,” tutur Syamsul.

sumber berita ini dari muhammadiyah.or.id

0 Reviews

Write a Review

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
  • 5
Vinkmag ad

Read Previous

Waketum MUI Dr. Anwar Abas: Jangan Ada Orang Menghambat Pembangunan Rumah Ibadah

Read Next

Warga Rantau Muhammadiyah Halal Bihalal, Ini Pesannya | PWMU.CO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular