BANDUNGMU.COM, Bandung — Sejarah mencatat, sejak zaman Yunani sesungguhnya telah ada dialektika tentang bumi.
Di era peradaban Islam, konsepsi bahwa Bumi bulat merupakan pendapat populer. Para ilmuwan muslim telah menggunakan logika dan observasi empirik dalam memecahkan persoalan ini.
Ilmuwan-ilmuwan muslim seperti Abu al-Fida’ (w. 732/1331), Al-Biruni (w. 440/1048), Al-Mas’udi (w. 346/957), Ikhwan al-Shafa (abad 4/10), dan Ibn Khaldun (w. 808/1405) adalah diantara tokoh yang berpandangan bahwa bumi itu bulat.
Abu al-Fida’ (w. 732/1331) dalam “Taqwīm al-Buldān” menganalogikan jika ada tiga orang, satu berjalan ke arah timur, yakni satu ke arah barat, sementara satu lagi tetap pada satu posisi (tidak melakukan perjalanan).
Maka tatkala orang yang ke barat kembali dari arah timur, dan yang dari timur kembali dari arah barat, maka orang yang kembali dari arah barat harinya berkurang satu hari. Sebaliknya, yang kembali dari arah timur harinya bertambah satu hari. Kenyataan ini membuktikan bahwa Bumi itu bulat.
Bukti lain, Matahari dan Bulan dan seluruh planet tidak ditemukan periode terbit dan terbenamnya di berbagai penjuru Bumi dalam waktu yang sama.
Tatkala di satu belahan Bumi benda-benda langit terbenam, maka pada belahan Bumi lainnya benda-benda langit akan tampak terbit, demikian seterusnya. Hal ini sekali lagi menjadi bukti bahwa Bumi itu bulat.
Al-Biruni (w. 440/1048) dalam dua karyanya, “Ifrād al-Maqāl fī Amr azh-Zhilāl” (Entri Artikel Tentang Persoalan Bayang-Bayang) dan “al-Qānūn al-Mas’ūdy” (Undang-Undang Mas’ud), secara panjang lebar menjelaskan masalah ini.
Argumen Al-Biruni ada dua. Pertama, Gerhana Bulan adalah keadaan di mana piringan Bulan terhalang sinar Matahari sehingga piringan Bulan terjadi secara bersamaan waktunya bagi penduduk Bumi yang dapat melihat Bulan.
Sementara gerhana Matahari hanya terhalangnya penglihatan dari sinar Matahari sehingga proses gerhana Matahari tidak sama waktu dan durasinya jika dilihat oleh penduduk Bumi. Dengan demikian fenomena gerhana ini menjadi hujah bahwa bentuk Bumi bulat.
Kedua, berdasarkan hasil pengamatan mengenai dataran Bumi yang tidak sama, ada yang tinggi dan ada yang rendah, menandakan bahwa bentuk Bumi adalah bulat. Sementara pada dataran rendah terjadinya terbit dan tenggelam Matahari dari waktu ke waktu selalu berubah.
Pendapat ini juga didukung dengan sejumlah ayat Al-Quran, antara lain QS Az-Zumar ayat 5, “Dia menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dia memasukkan malam atas siang dan memasukkan siang atas malam dan menundukan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah! Dialah yang maha mulia, maha pengampun)”.
Kata “at-takwir” yang juga berakar yang sama dengan kata “al-kurrah” (bola atau bulat) dalam ayat ini bermakna bahwa malam menggulung siang dan siang menggulung malam.
Kalau malam dan siang dapat saling menggulung, pastilah karena keduanya berada pada satu tempat yang bulat. Bagaimana keduanya dapat saling menggulung jika berada pada tempat yang datar?
Diskursus Bumi datar atau Bumi bulat ini tampaknya akan terus ada. Putusan dan pilihan bulat atau datar juga akan terus ada sesuai sudut pandang dan argumentasi masing-masing. Namun, sejauh ia tidak berimplikasi pada ranah tauhid (akidah), maka sesungguhnya tidak ada masalah. Wallahu a’lam.***(Dr Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar MA PhD, Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU)
___
Sumber: infomu.co
Editor: FA
sumber berita ini dari bandungmu.com