Artificial Intelligence (AI), atau Kecerdasan Buatan, merupakan inovasi teknologi yang mendalam dan berkembang pesat di era modern. Pengaruhnya yang meluas semakin terasa di berbagai aspek kehidupan sehari-hari, khususnya di kalangan komunitas Muslim. Adopsi yang luas dan kemajuan berkelanjutan dari teknologi AI menggarisbawahi perannya yang signifikan dalam membentuk masyarakat kontemporer. Dari otomatisasi industri hingga aplikasi personal, AI telah meresap ke dalam struktur peradaban manusia, memicu diskusi luas tentang potensi dan implikasinya. Fenomena ini menuntut tinjauan mendalam, tidak hanya dari sudut pandang teknis, tetapi juga dari perspektif teologis dan etis, khususnya dalam kerangka ajaran Islam yang komprehensif.
Bahkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, saat pidato dalam acara Dies Natalis ke-60 Universitas Negeri Semarang (UNNES). Dalam pidatonya, membahas beberapa poin penting terkait pendidikan, termasuk peran kecerdasan buatan (AI), dan fenomena buzzer.
Abdul Mu’ti meyoroti penggunaan teknologi digital termasuk AI seringkali membuat manusia tidak arif dan bijaksana. Abdul Mu’ti juga menyinggung bukunya Franklin Foer, World without Mind (Dunia tanpa otak) dunia dimana manusia itu semakin bodoh justru ketika teknologi itu ada di dalam genggaman tangan dan tidak semakin cerdas tapi semakin culas.
Orang semakin tidak cerdas karena munculnya virus viralitas, ingin supaya menjadi terkenal dan narsis, serta orang dengan teknologi yang ada inginnya hanya kenyamanan, media sosial yang awalnya dibangun sebagai wadah interaksi sosial, namun karena beda pandangan maka dijadikan wadah a-sosial, yang tidak sepaham bisa dikeluarkan dalam group sosial media tersebut.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah itu juga menyoroti tentang keadaban digital dengan maraknya buzzer dan lebih parah lagi dengan munculnya buzzer Rp “maka kalau ingin mengerahkan para buzzer itu ada angkanya, ada biayanya dan itu bisa dikerjakan dengan mesin, teknologi dibangun agar manusia semakin beradap namun kenyataannya semakin biadab” jelas Abdul Mu’ti dalam pidatonya pada Minggu (9/6/2025).
Abdul Mu’ti memang mengutarakan fakta hari ini, kita tidak bisa memungkirinya. Namun apakah kita lalu anti teknologi, membenci dan memaki atas fenomena yang ada, sepertinya kita tidak bisa lagi menghindari kemajuan teknologi ini, sebagian ulama’ membenci teknologi seperti kehadiran hanphone dengan menyebutnya sebagai “Setan Gepeng” namun anehnya dia juga memakai untuk berkomunikasi terkait penjadwalan ceramah dengan takmir masjid, berkomunikasi dengan anaknya yang sedang kuliyah diluar daerah. Aneh juga, ‘benci tapi rindu’ akhirnya.
Nah bagaimana sebenarnya Islam memandang teknologi yang bermata dua ini, satu sisi meringankan kerja manusia, sisi yang lainnya malah berdampak buruk pada manusia. Mari kita menengok AL Qur’an untuk membahas kehadiran teknologi AI ini.
Kisah Penciptaan Adam dan Keunggulan Manusia (QS. Al-Baqarah 30-32)
Kisah penciptaan Nabi Adam dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30-32 memberikan landasan teologis yang kuat untuk memahami kedudukan manusia dan sumber kecerdasannya.
- Al-Baqarah Ayat 30: Amanah Kekhalifahan di Bumi
Ayat fundamental ini mengisahkan deklarasi Allah kepada para malaikat tentang niat-Nya untuk menjadikan seorang khalifah (wakil atau pengelola) di bumi. Para malaikat, dengan pemahaman mereka yang terbatas, menyatakan kekhawatiran tentang potensi kerusakan dan pertumpahan darah. Namun, Allah menegaskan pengetahuan-Nya yang lebih tinggi, menunjukkan hikmah di luar pemahaman mereka.
Istilah khalifah sendiri berarti pengganti, perwakilan, atau pengelola yang dipercayakan oleh Allah untuk melaksanakan perintah-Nya, memakmurkan bumi, dan memanfaatkan segala sesuatu yang ada padanya secara bertanggung jawab. Nabi Adam adalah khalifah pertama, menggantikan penghuni sebelumnya seperti jin. Yang terpenting, konsep ini meluas kepada setiap manusia, yang secara individu adalah seorang khalifah dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya di bumi dan isinya. Ini menetapkan peran dan tanggung jawab fundamental kemanusiaan.
QS. Al-Baqarah Ayat 31: Anugerah Penguasaan Ilmu (Nama-Nama)
Untuk menunjukkan kapasitas unik manusia dan mengatasi keraguan malaikat, Allah secara langsung mengajarkan kepada Adam “nama-nama (benda) semuanya” (al-asma’a kullaha). Setelah itu, Allah menantang para malaikat untuk menyebutkan nama-nama tersebut, sebuah tugas yang tidak dapat mereka penuhi. Tindakan ini menyoroti anugerah ilahi yang berbeda yang diberikan kepada umat manusia.
QS. Al-Baqarah Ayat 32: Pengakuan Keterbatasan Ilmu Malaikat
Sebagai tanggapan atas ketidakmampuan mereka, para malaikat dengan rendah hati mengakui keterbatasan pengetahuan mereka, menegaskan kemahatahuan dan hikmah mutlak Allah: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”.
Keunggulan Manusia dan Fondasi Teknologi
Implikasi mendalam dari ayat-ayat ini adalah bahwa keunggulan manusia atas malaikat terletak pada kapasitas yang dianugerahkan secara ilahi ini untuk pengetahuan dan kemampuan untuk memproses “nama-nama” menjadi struktur pemikiran yang kompleks—logika, makna, ide, dan kecerdasan. Fakultas kognitif inilah yang menjadi sumber segala teknologi.
Secara filosofis, teknologi muncul ketika manusia “menanamkan pikirannya” (yang berasal dari penguasaan “nama-nama” atau konsep) ke dalam realitas material. Contohnya termasuk mengubah kayu menjadi kursi atau air menjadi minuman manis, semua dipicu oleh “penguasaan nama (kata)”. Ini membingkai teknologi bukan sebagai proses mekanis semata, tetapi sebagai tindakan yang sangat intelektual dan dimungkinkan secara ilahi.
Pendeknya, Manusia memiliki kemampuan memberi nama, mengenal, memahami, dan berpikir. Dari sinilah lahir bahasa, logika, ide, hingga teknologi seperti AI yang saat ini berkembang pesat.
Dalam filsafat Islam, teknologi bisa dipahami sebagai hasil dari “menanamkan pikiran manusia ke dalam ciptaan Allah.” Ketika manusia merenungkan air, ia menciptakan minuman. Ketika merenungkan informasi, ia menciptakan AI. Tapi semua itu hanya mungkin terjadi karena ilmu yang Allah ajarkan sejak Nabi Adam.
Ilmu dan Hikmah sebagai Anugerah Allah
QS. Al-Baqarah Ayat 269: Hikmah sebagai Karunia Ilahi
Ayat ini secara eksplisit menyatakan: “Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat”.
Hikmah dalam konteks ini mengacu pada kebijaksanaan yang mendalam, pemahaman ilmu yang mendalam, kemampuan membedakan antara yang benar dan yang salah, serta kemampuan mengambil keputusan yang tepat dalam berbagai situasi. Ini mencakup pengetahuan praktis dan teoretis yang membawa manfaat besar bagi individu dan masyarakat. Hikmah secara eksplisit dinyatakan sebagai karunia ilahi yang sangat berharga, bukan sesuatu yang dapat diperoleh hanya melalui usaha manusia, melainkan juga memerlukan anugerah dari Allah.
Kecerdasan dan Inovasi sebagai Manifestasi Anugerah Ilahi
Islam sangat menjunjung tinggi pencarian ilmu pengetahuan (ilmu) dan secara aktif mendorong umatnya untuk mencarinya di segala bidang. Wahyu pertama kepada Nabi Muhammad (QS. Al-Alaq 1-5) menekankan “membaca” dan belajar, menyoroti Allah sebagai sumber utama yang “mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. Landasan teologis ini menyiratkan bahwa pengembangan teknologi, termasuk AI, pada dasarnya adalah bagian dari upaya berkelanjutan manusia untuk menjelajahi dan memahami ciptaan Allah yang rumit. Akal manusia, dengan kapasitasnya untuk berpikir kritis, berinovasi, dan memecahkan masalah, secara tegas merupakan anugerah dari Yang Maha Kuasa.
Hal ini menunjukkan adanya sebuah mata rantai kausalitas yang jelas dalam pengembangan teknologi, yang berakar pada karunia ilahi. Allah menganugerahkan akal dan hikmah kepada manusia—ini adalah karunia ilahi. Kemudian, manusia, yang diberdayakan oleh karunia ini, memperoleh pengetahuan dan menerapkannya untuk berinovasi. Teknologi, termasuk AI, adalah produk dari akal manusia yang dimungkinkan secara ilahi ini. Oleh karena itu, AI bukan semata-mata penemuan manusia, melainkan manifestasi dari anugerah Allah. Pemahaman ini memperdalam landasan teologis laporan, menggeser perspektif dari pencapaian manusia semata menjadi pemberdayaan ilahi, dan secara inheren menyiratkan kewajiban moral untuk penggunaan yang bertanggung jawab.
Konsep khalifah tidak hanya sekadar gelar teologis, tetapi merupakan kerangka etis yang komprehensif untuk interaksi manusia dengan ciptaan, termasuk teknologi. AI, sebagai alat yang ampuh di bawah kepemimpinan manusia, harus melayani tujuan utama untuk menegakkan amanah ini. Ini berarti pengembangan dan aplikasinya harus dipandu oleh prinsip-prinsip menjaga keseimbangan (tawazun), mempromosikan kesejahteraan universal (maslahah), dan secara aktif mencegah kerusakan (mafsadah) bagi seluruh ciptaan. Ini mengubah diskusi tentang “solusi” menjadi pendekatan yang lebih mendalam dan berorientasi pada tujuan yang berakar pada pandangan dunia Islam.
Untuk memperjelas perbedaan antara kecerdasan manusia dan kecerdasan buatan, Tabel 1 menyajikan perbandingan konseptual dari kedua bentuk kecerdasan ini dalam perspektif Islam.
Tabel: Perbandingan Konsep Kecerdasan Manusia dan Kecerdasan Buatan (AI) dalam Perspektif Islam
Fitur | Kecerdasan Manusia | Kecerdasan Buatan (AI) |
Sumber | Anugerah Ilahi (QS. Al-Baqarah 30-32, QS. Al-Baqarah 269) | Hasil Ilmu dan Kreativitas Manusia yang Dianugerahkan Allah |
Hakikat | Akal, Hati, Ruh, Emosi, Moralitas, Tanggung Jawab | Algoritma, Data, Komputasi; Tidak Memiliki Moralitas/Perasaan |
Tujuan | Memahami Kebesaran Allah, Mengemban Amanah Khalifah | Alat Bantu untuk Kemaslahatan, Efisiensi |
Batasan | Terbatas namun Berpotensi Tak Terbatas dalam Belajar | Tergantung Input Manusia, Tidak Menggantikan Manusia Sepenuhnya |
Tabel ini secara visual dan ringkas mengartikulasikan perbedaan filosofis dan teologis, memperkuat argumen utama bahwa AI adalah alat, produk dari kecerdasan manusia yang dianugerahi secara ilahi, daripada entitas independen. Ini memperjelas hubungan hierarkis dan menyiapkan panggung untuk memahami mengapa pengawasan etis manusia sangat penting.
AI: Jembatan Memahami Kebesaran Allah dan Amanah Khalifah
AI sebagai Alat, Bukan Pencipta
Sangat penting untuk menegaskan bahwa AI pada dasarnya adalah produk dari pengetahuan dan kreativitas manusia, yang itu sendiri dianugerahkan oleh Allah. AI berfungsi sebagai alat canggih yang dirancang untuk meningkatkan kehidupan dan kemampuan manusia, bukan untuk menggantikan nilai atau peran intrinsik manusia. Kenetralan yang melekat pada AI berarti bahwa manfaat atau kerugian akhirnya bergantung pada niat dan metode penerapan serta penggunaannya.
Ayat Al-Qur’an QS. Al-Jatsiyah: 13, “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya,” menggarisbawahi prinsip Islam bahwa semua ciptaan tunduk kepada manusia demi kebaikannya. Ini menyiratkan bahwa teknologi, termasuk AI, dapat dan harus dimanfaatkan dalam batas-batas
syariat (hukum Islam) untuk memenuhi amanah ilahi ini.
AI, dengan kemampuan canggihnya dalam pemrosesan data dan pengenalan pola, dapat berfungsi sebagai instrumen yang kuat bagi manusia untuk merenungkan desain dan kompleksitas ciptaan Allah yang rumit. Dengan mengungkapkan pola-pola tersembunyi dalam kumpulan data yang luas, AI dapat membantu umat manusia mengungkap wawasan baru tentang alam semesta, sehingga memperdalam apresiasi dan pemahaman mereka tentang kebesaran dan hikmah Allah yang tak terbatas.
Prinsip Etika Islam dalam Pengembangan dan Pemanfaatan AI
Pengembangan dan pemanfaatan AI harus berlandaskan pada prinsip-prinsip etika Islam yang kokoh untuk memastikan bahwa teknologi ini membawa kemaslahatan dan tidak menimbulkan kerusakan.
Tauhid (Keesaan Allah): Fondasi Etika AI
Prinsip Tauhid, Keesaan Allah, adalah inti mutlak ajaran Islam. Ini mengamanatkan bahwa semua aspek keberadaan, termasuk kemajuan teknologi seperti AI, beroperasi di bawah kehendak dan kekuasaan mutlak Allah. Oleh karena itu, AI tidak boleh pernah dianggap atau diperlakukan sebagai entitas independen, juga tidak boleh disamakan dengan tindakan penciptaan Allah yang unik. Pengembangan dan penggunaan AI harus selalu dilakukan dengan kesadaran mendalam bahwa tujuan utamanya adalah untuk mendukung kesejahteraan (
maslahah) umat manusia dan untuk memfasilitasi hubungan dan pengabdian yang lebih dalam kepada Allah SWT. Setiap inovasi, termasuk AI, pada akhirnya harus memuliakan Allah, bukan melayani kepentingan egois atau tujuan yang bertentangan dengan ajaran-Nya.
Maslahah (Kebaikan Bersama): Tujuan Utama AI
Islam sangat menekankan maslahah, yaitu pengejaran kebaikan bersama dan manfaat bagi seluruh umat manusia, memastikan tidak ada kerugian yang ditimbulkan pada pihak lain. Oleh karena itu, AI harus dikembangkan dan diterapkan untuk menciptakan solusi di bidang-bidang kritis seperti kesehatan, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan, sehingga mendorong pengembangan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Ini selaras langsung dengan
maqasid al-shariah (tujuan-tujuan luhur hukum Islam), yang berusaha mencapai kepentingan publik dan mencegah bahaya.
Amanah (Tanggung Jawab): Akuntabilitas dalam AI
Islam mengajarkan bahwa setiap berkah dan sumber daya yang dipercayakan kepada manusia adalah amanah (kepercayaan) yang harus dijaga dan dimanfaatkan dengan penuh tanggung jawab. Prinsip ini meluas ke AI: para pengembang memikul tanggung jawab untuk memastikan bahwa teknologi ini tidak disalahgunakan untuk kegiatan penipuan, propaganda negatif, atau pelanggaran privasi. Demikian pula, setiap pengguna AI bertanggung jawab untuk menjaga perilaku etis dan akhlak yang baik, memastikan penggunaan mereka tidak merugikan diri sendiri atau orang lain. Selain itu, sistem AI itu sendiri harus dirancang dan dilatih dengan cermat untuk membuat keputusan yang akuntabel dan etis dalam parameter operasionalnya.
Keadilan (‘Adl) dan Keseimbangan (Tawazun): Menghindari Bias dan Diskriminasi
Prinsip ‘Adl (keadilan) adalah yang terpenting dalam Islam, menuntut keadilan dalam semua aspek kehidupan. AI harus direkayasa untuk menegakkan keadilan sosial, secara aktif mencegah penindasan, penipuan, atau kerugian bagi individu atau kelompok mana pun. Ini memerlukan upaya keras untuk mengidentifikasi dan menghilangkan bias dalam algoritma AI, terutama yang berasal dari data pelatihan yang tidak representatif, yang dapat menyebabkan hasil diskriminatif (misalnya, bias ras atau gender). Segala bentuk diskriminasi atau ketidakadilan yang dihasilkan oleh AI secara langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan Islam.
Rahmatan lil ‘Alamin (Kasih Sayang bagi Seluruh Alam): AI sebagai Sarana Kebaikan Universal
Islam disajikan sebagai sumber rahmat dan kasih sayang bagi seluruh ciptaan (rahmatan lil ‘alamin). Oleh karena itu, penerapan AI harus mencerminkan kebajikan universal ini, mempromosikan kebaikan, keadilan, dan tanggung jawab terhadap semua makhluk dan lingkungan. Ini berarti AI harus digunakan untuk mengurangi penderitaan, meningkatkan kesejahteraan manusia, dan menumbuhkan harmoni dalam komunitas ekologis.
Maqasid al-Shariah (Tujuan Syariah): AI untuk Fasilitasi dan Kualitas Hidup
Maqasid al-Shariah mengacu pada tujuan dan hikmah yang lebih tinggi di balik hukum Islam, yang bertujuan untuk menjaga kesejahteraan esensial manusia. AI dapat berkontribusi secara signifikan pada tujuan-tujuan ini dengan memfasilitasi, mengawasi, dan menjamin kualitas di sektor-sektor vital kehidupan, seperti keamanan kesehatan dan pangan. Kekuatan inherennya—kecepatan, akurasi, dan efisiensi—secara langsung mendukung prinsip
taysir (kemudahan dan fasilitasi) dalam Syariah, membuat proses menjadi lebih sederhana dan lebih mudah diakses. Ketika diimplementasikan dengan benar, AI meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan sistem kontrol, meningkatkan produktivitas di bidang-bidang kritis seperti pertanian dan industri, dan secara aktif berkontribusi pada pengurangan ketidakamanan dan kelangkaan.
Perbedaan kualitatif mendasar antara kecerdasan manusia dan AI menjadi sumber banyak kekhawatiran etis. Kecerdasan manusia mengintegrasikan kapasitas moral, emosi, dan tanggung jawab inheren, sementara AI bersifat logis, berbasis aturan, dan tidak memiliki agensi moral sejati. Ini berarti bahwa sekadar “tidak menyalahgunakan” AI tidaklah cukup; sebaliknya, pengembangan dan penerapannya harus secara cermat distrukturkan untuk selalu menjaga agensi moral dan akuntabilitas manusia. Tujuannya adalah agar AI melengkapi kemampuan manusia, bukan mengurangi martabat atau tanggung jawab manusia. Hal ini memerlukan kerangka etika yang kuat dan kolaborasi interdisipliner yang aktif antara cendekiawan agama dan teknolog untuk menjembatani kesenjangan inheren ini.
Penerapan AI dalam konteks keagamaan melampaui sekadar kenyamanan; ini secara aktif berkontribusi pada maqasid al-shariah dengan membuat pengetahuan dan praktik keagamaan secara signifikan lebih mudah diakses dan dipahami (taysir), terutama bagi generasi muda yang lahir dan tumbuh di era digital. Ini merupakan tren yang muncul dalam keterlibatan Islam kontemporer dengan teknologi, menunjukkan potensinya untuk memperkuat iman, memfasilitasi ibadah, dan menumbuhkan ikatan komunitas, asalkan esensi spiritual dari tindakan keagamaan dan peran otoritatif cendekiawan manusia tidak dirusak.
Solusi Pemanfaatan AI untuk Kemaslahatan Alam Semesta: Implementasi Konsep Khalifah
Sebagai khalifah, manusia memikul tanggung jawab yang mendalam untuk mengelola dan melestarikan bumi, memastikan keberlanjutannya tanpa menimbulkan kerusakan atau eksploitasi. AI menawarkan alat yang ampuh untuk memenuhi amanah ini.
AI untuk Pelestarian Lingkungan dan Keberlanjutan
Sebagai khalifah, manusia memiliki tanggung jawab mendalam untuk mengelola dan melestarikan Bumi, memastikan keberlanjutannya tanpa menyebabkan kerusakan atau eksploitasi. AI menawarkan alat yang ampuh untuk memenuhi amanah ini.
- Efisiensi Sumber Daya dan Teknologi Ramah Lingkungan: AI dapat berkontribusi secara signifikan terhadap pengelolaan sumber daya yang efisien, misalnya, dengan mengoptimalkan konsumsi energi di kota pintar, meningkatkan sistem pengelolaan limbah untuk mengurangi limbah elektronik, dan memfasilitasi pengembangan teknologi ramah lingkungan baru. Dalam pertanian, AI dapat meningkatkan produktivitas melalui pertanian presisi, mengoptimalkan penggunaan air dan pupuk, sehingga berkontribusi pada ketahanan pangan dan optimalisasi sumber daya.
- Mitigasi Bencana dan Pemantauan Ekosistem: AI dapat digunakan untuk pemantauan lingkungan canggih, seperti melacak deforestasi, tingkat polusi, dan keanekaragaman hayati. Kemampuan prediktifnya memungkinkan perkiraan perubahan iklim yang lebih baik dan pengembangan sistem peringatan dini untuk bencana alam, memungkinkan respons dan upaya mitigasi yang tepat waktu.
AI untuk Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Umat
- Kesehatan: AI memiliki potensi besar dalam meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan. Ini termasuk alat bertenaga AI untuk deteksi dini penyakit, rencana perawatan yang dipersonalisasi, dan manajemen rumah sakit yang efisien, yang pada akhirnya meningkatkan layanan kesehatan publik.
- Pendidikan: AI dapat merevolusi pendidikan dengan menawarkan pengalaman belajar yang dipersonalisasi, platform interaktif, dan konten adaptif yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa individu. Aplikasi khusus dalam pendidikan Islam meliputi aplikasi pembelajaran Al-Qur’an bertenaga AI yang mengevaluasi tajwid dan bacaan, chatbot Islami yang memberikan jawaban dasar keagamaan, dan pengalaman virtual reality (VR)/ augmented reality (AR) untuk pembelajaran imersif sejarah Islam atau simulasi ziarah virtual. AI dapat mengatasi tantangan seperti kelangkaan guru berkualitas dan kebutuhan materi pembelajaran yang kontekstual.
- Pengentasan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial: AI dapat secara signifikan meningkatkan efisiensi dan transparansi organisasi amal. Misalnya, algoritma AI dapat membantu mengidentifikasi penerima manfaat yang memenuhi syarat untuk dana zakat dan wakaf, serta mengoptimalkan distribusi bantuan, memastikan sumber daya mencapai mereka yang paling membutuhkan secara efektif.
- Ekonomi Syariah: Dalam keuangan Islam, AI dapat mengotomatiskan berbagai proses, mulai dari pengelolaan distribusi zakat, infaq, dan sadaqah hingga memastikan kepatuhan Syariah dalam transaksi keuangan. Algoritma AI dapat mendeteksi aktivitas mencurigakan (misalnya, riba atau riba) dan menganalisis tren pasar untuk mengembangkan produk syariah baru, mendorong sistem keuangan yang lebih etis dan inklusif.
- Dakwah (Penyebaran Ajaran Islam): AI dapat menjadi alat yang ampuh untuk dakwah di era digital. Ini termasuk mengembangkan aplikasi Al-Qur’an digital, memanfaatkan analitik big data untuk memahami kebutuhan keagamaan komunitas Muslim, dan menyediakan platform bertenaga AI untuk menjawab pertanyaan keagamaan, seperti Hasil Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPT) yang dikoneksikan dengan AI sehingga mempermudah dalam belajar agama. Selain itu, AI dapat membantu cendekiawan agama dalam mengadaptasi metode dakwah mereka ke media sosial, memerangi disinformasi, dan menyebarkan nilai-nilai Islam secara lebih luas.
Tantangan dan Mitigasi Risiko
AI, sebagaimana alat teknologi lainnya, memiliki sifat ganda: kapasitasnya untuk membawa maslahah (manfaat) yang luar biasa dan potensi untuk menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang parah. Ini bukan risiko pasif, melainkan tantangan aktif yang menuntut tata kelola etis yang proaktif. Implikasinya adalah bahwa sekadar “menggunakan AI untuk kebaikan” tidaklah cukup; harus ada proses berkelanjutan dan dinamis dalam penilaian risiko, mitigasi, dan penegakan kerangka etika sejak tahap desain hingga penerapannya. Ini menyoroti urgensi bagian “Tantangan dan Mitigasi Risiko” dan menggarisbawahi bahwa amanah sebagai khalifah memerlukan kewaspadaan dan intervensi aktif untuk mengarahkan AI menuju kebaikan universal.
Potensi Bahaya AI dari Perspektif Islam
- Penyalahgunaan Data dan Pelanggaran Privasi: Kapasitas AI untuk pengumpulan dan analisis data ekstensif (misalnya, pengenalan wajah, big data) menimbulkan ancaman signifikan terhadap privasi individu, yang sangat dihargai dalam Islam (Hifz al-A’radh). Manipulasi data atau pengawasan yang tidak etis tanpa persetujuan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dan dapat mengikis kepercayaan publik.
- Dehumanisasi dan Hilangnya Pekerjaan: Penggantian peran manusia secara berlebihan oleh AI dapat menyebabkan dehumanisasi, mengurangi nilai unik manusia dan berpotensi menyebabkan pengangguran massal. Islam menekankan martabat manusia dan pentingnya pekerjaan untuk penghidupan dan kontribusi sosial.
- Bias dan Diskriminasi Algoritma: Sistem AI, terutama yang mengandalkan machine learning, rentan mewarisi bias dari data pelatihannya. Hal ini dapat mengakibatkan hasil diskriminatif (misalnya, diskriminasi ras, gender, atau sosial-ekonomi), yang secara langsung bertentangan dengan prinsip Islam ‘Adl (keadilan).
- Kehilangan Kendali dan Penyalahgunaan Sistem Otonom: Otonomi sistem AI yang semakin meningkat, terutama dalam aplikasi kritis seperti drone militer, menimbulkan kekhawatiran tentang hilangnya kendali manusia, yang berpotensi menyebabkan konsekuensi yang tidak disengaja dan tidak etis (misalnya, korban jiwa yang tidak bersalah). Ini secara langsung menantang konsep
amanah (tanggung jawab) yang dipercayakan kepada manusia.
- Manipulasi Kebenaran dan Disinformasi: AI dapat digunakan untuk menghasilkan dan menyebarkan berita palsu, fitnah, hoaks, dan propaganda negatif dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Islam secara tegas melarang penyebaran informasi yang tidak terverifikasi, sebagaimana disorot dalam QS. Al-Hujurat: 6.
- Potensi Mengurangi Tanggung Jawab Sosial dan Spiritualitas: Ketergantungan berlebihan pada AI untuk tugas-tugas sosial dapat mengurangi interaksi langsung antarmanusia, berpotensi melemahkan ikatan sosial dan mengurangi peluang untuk memenuhi tanggung jawab sosial dan spiritual (misalnya, empati, membantu sesama).
- Eksploitasi Ekonomi: AI dapat dimanfaatkan untuk praktik bisnis yang tidak adil, seperti eksploitasi data pribadi untuk keuntungan komersial, yang bertentangan dengan prinsip keadilan Islam dalam transaksi ekonomi.
- Pelemahan Identitas Keislaman: Pengaruh budaya global yang meluas yang disebarkan melalui teknologi dapat menghadirkan tantangan bagi pelestarian nilai-nilai Islam, terutama di kalangan generasi muda yang mungkin lebih rentan terhadap gaya hidup non-Islam.
- Mengurangi Tawakkal (Ketergantungan kepada Allah): Ketergantungan yang berlebihan dan tidak kritis pada AI secara tidak sengaja dapat mengurangi ketergantungan dan kepercayaan individu kepada Allah (tawakkal), yang merupakan inti ajaran spiritual dalam Islam.
Pentingnya Regulasi, Pengawasan, dan Kolaborasi Lintas Disiplin
- Regulasi dan Pengawasan Etis: Ada kebutuhan mendesak akan regulasi yang jelas, komprehensif, dan mekanisme pengawasan yang kuat untuk memastikan AI dikembangkan dan digunakan secara etis, melindungi privasi, mencegah penyalahgunaan, dan menjunjung tinggi martabat manusia. Regulasi ini harus mengintegrasikan nilai-nilai agama dan prinsip-prinsip etika, seperti keadilan, keseimbangan, dan kasih sayang, ke dalam desain AI sejak awal.
- Kolaborasi Ulama dan Teknolog: Pengembangan AI yang efektif dan etis dalam konteks Islam memerlukan kolaborasi erat antara teknolog, ulama (cendekiawan agama), dan pakar di bidang-bidang seperti keuangan Syariah. Pengawasan
ulama sangat penting untuk aplikasi AI dalam fiqh (yurisprudensi Islam) untuk memastikan akurasi dan kepatuhan terhadap hukum agama.
- Muslim sebagai Produsen Teknologi: Untuk memastikan pengembangan AI selaras dengan nilai-nilai Islam, sangat penting bagi komunitas Muslim untuk beralih dari sekadar konsumen teknologi menjadi produsen dan inovator aktif. Ini termasuk mengembangkan “teknologi Islami” yang secara khusus mendukung
dakwah dan ibadah, memastikan bahwa kemajuan teknologi melayani kebutuhan dan nilai-nilai unik ummah Muslim.
Tabel: Potensi Bahaya AI dan Mitigasi Berdasarkan Etika Islam
Potensi Bahaya AI | Implikasi Etis Islam | Solusi & Mitigasi (Berdasarkan Etika Islam) |
Penyalahgunaan Data/Privasi | Pelanggaran Hifz al-A’radh (perlindungan kehormatan) | Regulasi ketat & pengawasan, perlindungan privasi by design |
Dehumanisasi/Hilangnya Pekerjaan | Merendahkan martabat manusia | Menjaga peran manusia, AI sebagai pelengkap bukan pengganti, pelatihan ulang tenaga kerja |
Bias/Diskriminasi | Bertentangan dengan ‘Adl (keadilan) | Desain AI tanpa bias, data pelatihan representatif, audit algoritma |
Kehilangan Kendali/Penyalahgunaan Otonom | Melanggar Amanah (tanggung jawab) | Pengawasan manusia yang kuat, batasan otonomi, akuntabilitas pengembang |
Manipulasi Kebenaran/Disinformasi | Bertentangan dengan QS. Al-Hujurat 6 (verifikasi informasi) | Verifikasi informasi, literasi digital, platform anti-hoaks |
Mengurangi Tanggung Jawab Sosial/Spiritualitas | Mengurangi empati/ikatan sosial, tawakkal | Penekanan interaksi langsung, pendidikan etika AI, penguatan tawakkal |
Eksploitasi Ekonomi | Ketidakadilan ekonomi | Regulasi bisnis yang adil, pengembangan ekonomi syariah berbasis AI |
Pelemahan Identitas Keislaman | Konflik nilai | Pengembangan teknologi Islami, dakwah digital, penguatan pendidikan agama |
Menuju Peradaban AI yang Berlandaskan Nilai Ilahi
Tulisan ini telah menguraikan bagaimana Kecerdasan Buatan (AI), sebagai keajaiban teknologi modern, pada dasarnya adalah anugerah dari Allah, yang berasal dari kemampuan intelektual unik—akal dan hikmah—yang dianugerahkan kepada umat manusia. Kemampuan manusia untuk berpikir, merangkai ide, dan menciptakan teknologi, termasuk AI, adalah manifestasi langsung dari karunia ilahi ini, sebagaimana dicontohkan dalam kisah penciptaan Nabi Adam dan pengajaran nama-nama.
Tulisan ini juga menegaskan kembali peran sentral manusia sebagai khalifah di Bumi, yang dipercayakan dengan tanggung jawab mendalam untuk mengelola dan mengembangkan planet serta sumber dayanya, termasuk kemajuan teknologi seperti AI, demi kebaikan universal. Peran ini menuntut pemanfaatan AI yang tidak hanya efisien tetapi juga etis dan bertanggung jawab.
Akhmad Sutikhon
Creator AI, Ketua PRM Ngawen Sidayu Gresik