BANDUNGMU.COM, Bandung — Burhanuddin Mohammad Diah atau beken dengan nama BM Diah yang lahir pada 07 April 1917 merupakan seorang tokoh pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha Indonesia.
Mengutip Wikipedia, nama asli BM Diah yang sesungguhnya hanyalah Burhanuddin. Nama ayahnya adalah Mohammad Diah yang berasal dari Barus, Sumatra Utara. Ayahnya merupakan seorang pegawai pabean di Aceh Barat yang kemudian menjadi penerjemah. Burhanuddin kemudian menambahkan nama ayahnya kepada namanya sendiri.
Ibunya, Siti Saidah (istri pertama Diah), merupakan wanita Aceh yang menjadi ibu rumah tangga. Burhanuddin, anak bungsu dari delapan bersaudara, juga mempunyai dua orang saudara tiri dari istri kedua ayahnya.
Mohammad Diah adalah seorang yang terpandang dan kaya di lingkungannya. Namun, hidupnya boros sehingga ketika ia lahir Burhanuddin tidak dapat menikmati kekayaan ayahnya. Ditambah lagi karena seminggu setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia. Ibunya kemudian mengambil alih tanggung jawab memelihara keluarganya.
Untuk itu ia terjun ke dunia usaha berjualan emas, intan, dan pakaian. Namun, delapan tahun kemudian Siti Saidah pun berpulang sehingga Burhanuddin diasuh oleh kakak perempuannya yang bernama Siti Hafsyah.
Belajar kewartawanan
Burhanuddin belajar di HIS, kemudian melanjutkan ke Taman Siswa di Medan. Keputusan ini diambilnya karena ia tidak ingin belajar di bawah asuhan guru-guru Belanda.
Pada usia 17 tahun, Burhanuddin berangkat ke Jakarta dan belajar di Ksatriaan Instituut (sekarang Sekolah Ksatrian) yang dipimpin oleh Dr EE Douwes Dekker. Burhanuddin memilih jurusan jurnalistik, tetapi ia banyak belajar tentang dunia kewartawanan dari pribadi Douwes Dekker.
Burhanuddin sesungguhnya tidak mampu membayar biaya sekolah. Namun melihat tekadnya untuk belajar, Dekker mengizinkannya terus belajar dan bahkan memberikan kesempatan kepadanya menjadi sekretaris di sekolah itu.
Setelah tamat belajar, Burhanuddin kembali ke Medan dan menjadi redaktur harian “Sinar Deli”. Ia tidak lama bekerja di sana karena satu setengah tahun kemudian ia kembali ke Jakarta dan bekerja di harian “Sin Po” sebagai tenaga honorer.
Tidak lama kemudian ia pindah ke “Warta Harian”. Tujuh bulan kemudian, koran itu dibubarkan karena dianggap membahayakan keamanan. Burhanuddin kemudian mendirikan usahanya sendiri yakni bulanan “Pertjatoeran Doenia”.
Setelah tentara Jepang datang dan menjajah Indonesia, Burhanuddin bekerja di Radio Hosokyoku sebagai penyiar siaran bahasa Inggris. Namun, pada saat yang sama ia pun merangkap bekerja di “Asia Raja” sebagai pembantu editor. Ketika ketahuan bahwa ia bekerja juga di tempat lain, Burhanuddin pun dijebloskan ke penjara selama empat hari.
Pada Mei 1945 diadakan Kongres Pemuda di Villa Isola di Bandung untuk membentuk Angkatan Baroe, yakni sebuah federasi kelompok pemuda untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia, BM Diah terpilih menjadi salah satu pemimpin utamanya.
Ketika bekerja di Radio Hosokyoku itulah Burhanuddin bertemu dengan Herawati, seorang penyiar lulusan jurnalistik dan sosiologi di Amerika Serikat. Mereka berpacaran dan tak lama kemudian pada 18 Agustus 1942 mereka menikah. Pesta pernikahan mereka ini dihadiri pula oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Pada akhir September 1945, setelah diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, BM Diah bersama sejumlah rekannya seperti Joesoef Isak dan Rosihan Anwar, mengangkat senjata dan berusaha merebut percetakan Jepang “Djawa Shimbun” yang menerbitkan harian “Asia Raja”.
Meskipun Jepang telah menyerah kalah, teman-teman BM Diah ragu-ragu karena Jepang masih memegang senjata. Namun, kenyataannya malah sebaliknya. Tentara Jepang yang menjaga percetakan tidak melawan, bahkan menyerah. Percetakan pun jatuh ke tangan BM Diah dan rekan-rekannya.
Pada 1 Oktober 1945 BM Diah mendirikan “Merdeka”. BM Diah menjadi pemimpin redaksi, Joesoef Isak menjadi wakilnya, dan Rosihan Anwar menjadi redaktur. BM Diah memimpin surat kabar ini hingga akhir hayatnya, meskipun belakangan ia lebih banyak menangani PT Masa Merdeka, penerbit harian “Merdeka”.
Ketika baru berdiri, BM Diah menjadi Pemimpin Redaksi, Isak sebagai Wakil, dan Rosihan sebagai Redaktur. Belakangan Joesoef Isak, seorang Soekarnois, terpaksa diberhentikan atas desakan pemerintah Orde Baru. Sementara itu, Rosihan Anwar mendirikan surat kabarnya sendiri yakni harian “Pedoman”.
Pada April 1945, bersama istrinya, Herawati, BM Diah mendirikan koran berbahasa Inggris yakni “Indonesian Observer”. Ia dinilai sebagai penulis editorial yang baik, seorang nasional pro-Soekarno, dan menentang militerisme.
Ia pernah bertolak pandangan dengan pihak militer setelah peristiwa 17 Oktober sehingga ia terpaksa berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran petugas-petugas militer.
Ketika pemerintah Orde Baru memutuskan untuk mengubah sebutan “Tionghoa” menjadi “Cina” dan “Republik Rakyat Tiongkok” menjadi “Republik Rakyat Cina”, harian “Merdeka”—bersama harian “Indonesia Raya”—dikenal sebagai satu-satunya pers yang gigih tetap mempertahankan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok”.
Menyelamatkan teks asli proklamasi
Jurnalis BM Diah turut menjadi saksi pada saat Soekarno-Hatta mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh PPKI di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Meiji Dori (kini Jalan Imam Bonjol Nomor 1). Pertemuan yang berlangsung pada 16 Agustus 1945 malam itu memiliki agenda menyusun naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada saat Soekarno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo menyusun draf proklamasi, BM Diah, para aktivis, dan para pemuda lain menunggu di ruang tengah rumah Laksamana Maeda. Kemudian, ketika draf tersebut telah disetujui para wakil pemuda dan anggota PPKI yang hadir, Soekarno meminta Sayuti Melik untuk mengetik naskah tersebut.
Soekarno awalnya menulis draf teks proklamasi pada selembar kertas putih berukuran panjang 25,8 sentimeter, lebar 21,3 sentimeter, dan tebal 0,5 milimeter. Kertas itu disobek dari sebuah buku kecil. Setelah diutak-atik oleh Soekarno-Hatta dan sejumlah tokoh PPKI, akhirnya jadilah sebuah draf teks proklamasi yang akan dibacakan keesokan harinya.
Soekarno menyerahkan secarik kertas tersebut ke Sayuti Melik untuk ditulis ulang menggunakan mesin ketik. Karena mereka telah memiliki teks proklamasi yang sudah rapih menggunakan mesin ketik, secarik kertas draf tadi dibuang ke keranjang sampah.
Setelah naskah tersebut selesai diketik dan ditandatangani Soekarno dan Hatta, Sayuti Melik membuang begitu saja draf proklamasi tersebut. Mengutip dari buku biografi BM Diah tertulis:
“Setelah naskah tersebut disalin oleh Sayuti Melik, naskah tersebut dibuang ke tempat sampah begitu saja,” ungkap BM Diah dalam buku biografi berjudul “Butir-butir Padi BM Diah: Tokoh Sejarah yang Menghati Zaman”.
Rupanya naluri jurnalistik BM Diah bekerja. Beberapa saat setelahnya, ia mengambil draf teks proklamasi itu dari keranjang sampah dan menyimpannya. Secarik kertas tersebut tampak sudah tidak bagus lagi kondisinya. Siapa sangka apa yang dilakukan BM Diah menjadi kunci bagi kelengkapan arsip tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Tidak hanya BM Diah yang berperan menyelamatkan arsip proklamasi kemerdekaan. Sejumlah tokoh juga berperan penting menyelamatkan Indonesia dari kegelapan identitas. Tanpa teks, foto, video, dan audio tentang acara itu, kita tidak memiliki bukti otentik bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia pernah diproklamasikan.
Duta besar
Setelah Indonesia merdeka, pada 1959 BM Diah diangkat menjadi duta besar untuk Cekoslowakia dan Hongaria. Dari sana kemudian ia dipindahkan ke Inggris, lalu ke Thailand, semuanya untuk jabatan yang sama. Pada 1968 ia diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi Menteri Penerangan. Belakangan BM Diah diangkat menjadi anggota DPR dan kemudian anggota DPA.
Pada usia tuanya, BM Diah mendirikan sebuah hotel di Jakarta, Hyatt Aryaduta, di tempat yang dulunya merupakan rumah orang tua Herawati. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah sebagai Presiden Direktur PT Masa Merdeka dan Wakil Pemimpin PT Hotel Prapatan-Jakarta.
BM Diah meninggalkan dua orang istri, yaitu Herawati Diah dan Julia binti Abdul Manaf yang dinikahinya diam-diam ketika ia bertugas di Bangkok, Thailand. Dari Herawati, ia memperoleh dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki yang bernama Norman Diah (mertua dari aktris Shelomita Diah). Sementara itu, dari istri keduanya ia memperoleh dua orang anak: laki-laki dan perempuan. Ia menghembuskan napas terkahirnya di Jakarta pada 10 Juni 1996 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata
Karena perjuangan dan jasa-jasanya bagi negara, BM Diah dianugerahi tanda-tanda penghargaan Bintang Mahaputera Utama dari Presiden Soeharto (10 Mei 1978) dan Piagam penghargaan dan Medali Perjuangan Angkatan ’45 dari Dewan Harian Nasional Angkatan ’45 (17 Agustus 1995).***
___
Sumber: diolah dari Wikipedia
Editor: FA