Dataisme dan Indikator Kinerja Dakwah Muhammadiyah

banner 468x60

Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah akan berlangsung akhir pekan ini. Jutaan penggembira dan ribuan peserta akan—meminjam frase dalam Theme Song—“Menjalin Ukhuwah” di Surakarta. Mengoptimalkan waktu sekaligus pembuktian “kemajuan” yang diusung dalam tagline muktamar, tahap sidang-sidang telah dilakukan terlebih dahulu dengan format hybrid.

“Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta”, demikian begitu tinggi visi ke depan gerakan persyarikatan yang didirikan tahun 1912 ini. Bukan hal yang mustahil, karena sebagian besar energi dan usia organisasi ini telah benar-benar dicurahkan untuk memajukan Indonesia. Mencerahkan semesta, akan menjadi tantangan selanjutnya. Meski sudah ada 24 cabang Muhammadiyah Istimewa di luar negeri, tentu agenda pencerahan semesta dalam konsep internasionalisasi bukan hal yang ringan.

Kita percaya, Muhammadiyah adalah gudangnya pakar. Dan kita yakin bahwa “pencerahan semesta” nantinya akan diformulasikan dengan baik oleh para pakar yang bakal menjadi pimpinan baru nantinya. Saya hanya ingin menitipkan pesan sederhana: data dan manajemen dakwah. Mungkin hal ini bisa menjadi poin rekomendasi dalam sidang nantinya.

Harari dalam Homo Deus secara provokatif menyebut bahwa Dataisme akan menjadi “agama baru”. Istilah dataisme yang mula digagaskan David Brooks mengacu pada peran penting data dalam pengorgansiasian kehidupan. Melalui kecerdasan artifisial, manusia yang memiliki dan mampu mengelola data akan menjadi pengendali bukan hanya pada dirinya sendiri tapi juga komunitas secara luas.

Soal data ini di persyarikatan adalah problem klise tapi faktual. Berapa anggota Muhammadiyah di suatu daerah? Belum tentu pimpinan bisa menjawab secara valid. Apalagi pertanyaan yang lebih spesifik seperti dari jumlah anggota yang terdaftar berapa jumlah yang menjadi pimpinan di level tertentu.

Beberapa majelis agaknya punya sistem data relatif mapan. MPKU dan LAZISMU agaknya punya sistem data yang lebih baik dari yang lain. Majelis Pendidikan dan Dikti juga punya tapi belum tersistem baik. Majelis Pustaka yang mestinya menjadi Wali Data juga belum punya sistem data, masih berupa jejaring sistem informasi kegiatan. Sedangkan majelis lain relatif tidak punya data apalagi sistem data.

Kedua, soal manajemen. Manajemen yang saya maksud tentu juga masih terkait dengan data. Bagaimana kebijakan organisasi direncanakan, dijalankan, dan dievaluasi berdasarkan data. Seberapa SMART: specific, measurable (terukur), achievable (dapat dicapai), relevant, dan time-based (tenggat waktu) itu berbasis data. Seberapa berhasil kinerja dakwah Muhammadiyah di satu tempat di waktu tertentu? Kita masih belum bisa menjawab. Mengapa? Karena tidak ada indikator kinerja yang bisa sama-sama kita pegang sebagai acuan.

Ke depan, data dan manajemen dakwah berbasis data ini wajib dimiliki Muhammadiyah. Pimpinan Pusat yang baru beserta Majelis dan Lembaga tingkat pusat perlu merumuskan indikator kinerja dakwah yang bersifat global. Indikator itu kemudian diturunkan sampai tingkat ranting, di semua jejaring baik di dalam maupun luar negeri. Semua data dakwah itu harus terintegrasi. Kecerdasan buatan yang ditanamkan dalam algoritma sistem data dakwah itu kemudian bisa memberikan informasi ke mana kemudi organisasi di satu tempat di satu waktu perlu diarahkan dan ke mana diarahkan.

Dalam tingkat operasional, saya kira itulah perwujudan teknis menuju tercapainya tagline “Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta”. Jika kebijakan dakwah kita masih berbasis asumsi, saya ragu kemajuan dan pencerahan yang kita tawarkan kepada dunia masih sebatas kegiatan yang belum terkoneksi serta bangunan fisik semata.[]

 

Ahmad Faizin Karimi

Penulis, Peneliti, Analis Data

Author