Oleh: Hilmi Shuhaibur Romyi*
BANDUNGMU.COM — Agama yang dibawa oleh Rasulallah SAW mengajarkan kebahagiaan, ketenteraman, dan kenyamanan hidup. Tak jarang kita temui dalam Al-Quran dan Hadis memberikan arahan bagaimana caranya hidup bahagia dan sentosa. Kebahagiaan adalah soal rasa kita untuk menikmati harta, makanan, pendidikan, dan pikiran. Merasakan itu semua tentunya membutuhkan proses yang sangat panjang, edukasi, dan tahapan yang diperlukan.
Pada titik inilah yang manusia sangat inginkan. Terkadang setiap insan memiliki ketenangan yang dicapai dengan cara merusak tubuhnya. Seperti halnya mabuk, “cutting”, dan hal negatif lainnya. Mereka tahu hal semacam itu bisa membahayakan dirinya. Namun, itulah cara mereka mencari ketenangan dan konteks tersebut pastinya tidak dibenarkan secara agama dan kemanusiaan.
Istilah stoa atau stoikisme ada yang berpendapat sebuah paham dan ada yang berpendapat juga sebagai cara untuk mencapai kehidupan yang lebih bahagia. Menurut pandangan saya, istilah tersebut sebagai bentuk paham dalam mencapai ketenangan untuk menjalani kehidupan yang bahagia. Stoa muncul tahun 300 SM sebelum agama-agama hadir. Stoikisme awal mulanya hadir karena dunia berubah, yang mana kode etik dan cara pandang yang sudah terbukti tidak sesuai dengan zaman.
Stoa diambil dari nama seorang nelayan yang bernama Zeno dari Citium, yang menemukan area di daerah Athena yang bernama stoa poikile, yakni bangunan yang terdiri atas beberapa barisan tiang. Pada waktu itu, Zeno melihat masyarakat banyak yang kebingungan, mulai dari situ Zeno mengajak orang-orang sekitar untuk berdiskusi dengan para pedagang atau pejalan kaki tentang filosofi kehidupan tenang.
Waktu terus berjalan sehingga dari diskursus tersebut masyarakat mulai membentuk kelompok untuk melanjutkan diskusi mengenai filosofi kehidupan. Selain filosofi kehidupan, Zeno dan orang-orang sekitarnya juga mendiskusikan taksonomi kebahagiaan sehingga terumuskan pemahaman stoikisme atau kebajikan hidup yang diimplementasikan pada kaum stoa (kaum yang menerapkan paham stoa). Dari diskusi itu menghasilkan rumusan-rumusan untuk mencapai hidup bahagia.
Dalam stoa, menerima takdir merupakan bentuk pertama dari kebahagiaan, dengan kata lain tidak mempersalahkan hal-hal yang tidak dapat kita ubah dengan menerima segala cobaan dan masalah yang datang pada kehidupannya. Cara menerima itu semua dengan punya rasa bahagia, tenang, dan tidak memikirkan apa yang tidak bisa kita ubah seperti kematian. Kematian salah satu contoh takdir yang tidak bisa kita lawan karena itu urusan Tuhan dan tidak tahu kapan Sang Maha Kuasa akan memanggil. Dengan kerelaan dan rasa tenang sebagai kunci untuk menerima takdir.
Belajar mengontrol keinginan merupakan bentuk kedua dari stoa, yakni mengembangkan potensi yang kita punya dalam meraih kebijaksanaan. Mengendalikan nafsu terhadap sesuatu adalah hal yang paling sulit. Pasalnya, manusia akan dihadapkan oleh dua realitas, yakni pertama menahan dan yang kedua mencari cara untuk mendapatkan apa pun itu bentuknya, baik-buruk akan dilakukan. Hal ini yang mestinya selalu ditekankan pada diri seseorang. Memanglah sulit, tetapi tidak lain belajar adalah kunci utamannya.
Menggunakan logika dan nalar kritis merupakan bentuk ketiga dalam meraih kebahagiaan. Tuhan telah memberikan kita akal untuk memikirkan hal-hal yang ada di alam semesta. Korelasinya dengan stoa dalam bertindak seharusnya orang tersebut berpikir panjang terlebih dahulu. Tindakan yang dilakukan terkadang bisa menyakiti perasaan, begitupun dengan ucapan, baik kepada yang lebih tua, sesama, maupun yang lebih muda. Metode itu harus dilakukan dengan baik agar terhindar dari omongan yang kurang enak sehingga menyebabkan “overthingking” terhadap omongan yang dilontarkan tersebut.
Bersikap adil pada diri sendiri dan orang lain adalah bentuk keempat untuk meraih kebahagiaan. Sikap yang diterapkan oleh diri sendiri haruslah dilakukan juga kepada orang lain. Pasalnya, adil sendiri sebuah persoalan yang selalu dituntut dalam kemasyarakatan dan kenegaraan atau sebaliknya. Menuntut keadilan untuk orang lain, sedangkan diri sendiri belum mendapatkan keadilan, itu menimbulkan kerancuan pada logika kita. Bagaimana mungkin adil untuk orang lain, sedangkan diri sendiri masih butuh keadilan. Maka dari itu, adil tidak harus sama akan, tetapi sama-sama mendapatkan haknya masing-masing.
Selanjutnya, dalam perspektif Al-Quran dan Hadis ada yang berkaitan dengan stoa. Islam adalah agama yang universal, mengajarkan banyak hal, mulai dari tidur sampai tidur kembali, termasuk makan-minum juga, bahkan dalam urusan perpolitikan pun telah diatur oleh Islam. Terlepas dari itu, dalam mencari atau mencapai kebahagiaan, Islam juga memiliki konsep dasar dalam persoalan ini.
Surah Al-An’am ayat 59, “dan pada sisi Allahlah kunci dari semua yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (lauhul mahfudz).”
Ayat tersebut memiliki makna yakni semua tentang kehidupan bahagia atau tidaknya manusia telah diatur. Namun, manusia diharuskan berikhtiar dalam mencapai kebahagiaan yang ia inginkan tanpa menyalahkan takdir ketika ia tidak bisa mencapai keinginannya.
Surah Al-Baqarah ayat 269, “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki, barang siapa yang diberi hikmah maka akan diberi kebaikan banyak, dan tidaklah mengambil pelajaran kecuali orang yang mempunyai akal.” Ayat ini memiliki maksud tersendiri bahwa semua manusia diberi kebijaksaan yang Allah telah kehendaki. Ketika telah diberi hikmah, orang tersebut harus menjaganya dengan baik agar kebaikan pada dirinya terus berkembang dan mendapat kebahagiaan dari sikap kebijaksaannya.
Surah An-Nahl ayat 12, “dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum berakal.” Supaya akal dapat digunakan sesuai fungsinya, dibutuhkan pembimbing yang menjadi pengarah atau perkembangan akal kita. Tanpa adanya arahan dari Al-Quran dan Hadis, kita tidak akan dapat menggunakan akal kita dengan baik dan tidak bisa memahami teks dan konteks pada Al-Quran dan Hadis.
Dari beberapa penjelasan di atas menjadi edukasi bagi kita semua bahwa mencari kebahagiaan bukanlah jalannya. Namun, kebahagiaan adalah tentang rasa dan dibentuk oleh diri kita sendiri dalam menyikapi segala aspek kehidupan dan alam sekitar. Wallahu a’alam.
*Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam UM Bandung