Kajian Ahad Pagi di GDM Gresik Beber Keteladanan Perjuangan Pahlawan Muhammadiyah

GIRIMU.COM — Pengajian Ahad Pagi yang diselenggarakan Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik pada had (3/8/2025) atau 9 Shafar 1447 H mengambil tema “Meneladani Spirit Perjuangan dan Pengabdian Pahlawan Muhammadiyah”. Bertempat di Gedung Dakwah Muhammadiyah (GDM) Gresik, ratusan jamaah antusias mengikuti kajian yang disampaikan Dr M. Sulthon Amien, MM, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhmmadityah (PWM)  Jawa Timur ini.

Di bulan kemerdekaan ini, Ustadz Sulthon memaparkan kiprah dan dedikasi tokoh-tokoh Muhammadiyah bagi bangsa Indonesia, yang pada akhirnya negara menganugerahi kepada mereka anugerah Pahlawan Nasional.

“Terdapat 23 tokoh Muhammadiyah dari 206 Pahlawan Nasional atau sekitar 11% yang mendarmabaktikan hidupnya untuk Indonesia. Pertanyaan awal yang kemudian muncul adalah, apakah tokoh-tokoh Muhammadiyah itu dapat diteladani?” ujar  Ustadz Sulthon.

Ia kemudian mengulas satu persatu tokoh-tokoh Muhammadiyah yang berjuang untuk Indonesia dan kini dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional itu. Selain KH Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah Ahmad Dahlan, terdapat Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal dengan Buya Hamka. Dikaatakan, dalam tulisannya yang terbit di Harian Abadi, Judulnya cukup hangat: “Maka Pecahlah Muhammadiyah.” Dalam tulisannya di harian itu, tokoh berdarah Minangkabau tersebut menyatakan dengan tegas, ada dua golongan dalam PP Muhammadiyah akibat masuknya Moeljadi ke dalam kabinet Bung Karno. Kedua kelompok yang bertolak belakang itu: golongan istana dan luar istana.

Hamka juga menyebut, bahwa Farid Ma’ruf termasuk golongan yang pertama, karena berupaya membawa Muhammadiyah ke dalam Istana. Akibatnya, sesudah artikel itu terbit, sebagian warga Muhammadiyah menyudutkan nama Mayjend (Purn) KH Farid Ma’ruf dan tentunya Moeljadi Djojomartono yang ditunjuk masuk sebagai Menko Kesra.

Kisah mengharukan dan penuh keteladanan pascaterbitnya tulisan di Harian Abadi pada 1960 itu, tak lama kemudian, dalam sidang Tanwir Muhammadiyah yang digelar di Gedung Muhammadiyah Yogyakarta, secara tersirat Hamka dipersilakan untuk memberikan hak jawab atau klarifikasi tentang tulisannya di Harian Abadi, “Maka Pecahlah Muhammadiyah.” Di atas mimbar, Hamka berdiri dengan tenang. Untuk sesaat, Hamka tidak mengucapkan sepatah kata pun sesudah mengucap salam pembuka.

Tiba-tiba, Hamka berurai air mata. Dengan suara tersendat menahan sedih, ia mengakui, bahwa perasaannya tersentuh dan haru. Segera, tangannya mencari-cari bulpoin, lalu ia pun menulis di atas secarik kertas. Katanya, semua yang ditulisnya dalam Harian Abadi itu bermaksud baik, didorong niatan semata-mata cintanya kepada Persyarikatan Muhammadiyah. Namun, lanjutnya, jika tulisan yang terbit itu menyinggung perasaan Farid Ma’ruf yang sangat dicintainya, Hamka menyatakan sangat menyesal. Di hadapan hadirin itu, ia meminta maaf dan kepada Farid Ma’ruf.

Setelah moderator mempersilakan Farid Ma’ruf naik ke atas mimbar, sebenarnya Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) itu telah mempersiapkan berkas-berkas dalam map sebagai “senjata” untuk melawan dan mendebat tulisan Hamka. Semula dikiranya, penulis “Maka Pecahlah Muhammadiyah” itu akan menyerangnya bertubi-tubi di hadapan peserta sidang. Ternyata, Hamka justru secara terbuka dan tulus meminta maaf kepadanya. Maka di atas podium, cukup lama Farid Ma’ruf pun terdiam.

Lalu, dengan tenang dijelaskannya, bahwa Moeljadi pernah menyatakan kepadanya, kesediaan untuk menerima jabatan menteri didasari perenungan mendalam dan seksama. Moeljadi menilai, dengan jabatan itu dirinya dapat menyokong dan mendukung amal-amal sosial Muhammadiyah. Pertimbangan lainnya adalah, dalam kondisi sekarang tetap perlu adanya kerja sama antara Muhammadiyah dan pemerintah pusat.

Farid mengatakan, perbedaan pandangan antara dirinya dan Hamka sebenarnya sama-sama didorong atas niat baik. Namun, apabila ia dikhawatirkan membawa Persyarikatan Muhammadiyah pada istana, ia pun bersedia diberhentikan dari jabatan struktur PP Muhammadiyah. “Dengan ikhlas saya mengundurkan diri dari Pimpinan Pusat,” katanya.

Belum selesai kalimat itu diucapkan Farid, Hamka segera berdiri dan mengacungkan tangan. “Pimpinan!” katanya berseru. “Jangan Saudara Farid mundur. Kita sangat membutuhkan dia. Saya, Hamka, yang harus mundur!”

Belum selesai kalimat itu disampaikan Hamka, Farid kemudian turun dari mimbar. Ia lalu berjalan menuju Hamka, hendak memeluknya. Hamka pun menyongsong Farid. Kedua tokoh Muhammadiyah ini berpelukan dengan air mata keduanya bercucuran.

Semua hadirin di dalam Gedung Muhammadiyah Yogya tertegun. Lalu menyusul ucapan hamdalah dan tepuk tangan. Sesekali terdengar pekik takbir tanda syukur. Lantas, sidang Tanwir beranjak kepada topik lainnya hingga selesainya seluruh agenda. Keesokan harinya, berita di Harian Abadi memuat laporan berjudul: “Muhammadiyah Tidak Pecah!”

Ustadz Sulthon lantas menampilkan beberapa profil Pahlawan Nasional dari Muhammadiyah, melalui tampilan slide yang menggugah tanda tanya jamaah pengajian. Selalu muncul di awal slide-nya: Siapakah aku? Separagraf kalimat dimunculkan untuk mendeskripsikan perjuangan tokoh tersebut bagi negara. Hadirin diminta menebak, baru kemudian dimunculkan nama Pahlawan Nasional yang sempat memantik tanda tanya jamaah itu.

Di antara Pahlawan Nasional itu adalah KH Mas Mansur, Dr Soetomo, Ki Bagus Hadikusumo, Jenderal Soedirman, KH Faqih Usman, juga Ir Djuanda Kartawidjaja.

Ustadz Sulthon juga mengungkap permasalahan bangsa saat ini, yaitu krisis keteladanan, hedonisme, integritas, krisis moral dan korupsi. Ia pun lanta mengungkapkan nilai- nilai yang diajarkan para pahlawan tersebut, di antaranya, keikhlasan dalam pengabdian, keberanian moral dan keteguhan prinsip, kecintaan terhadap ilmu, pemberdayaan perempuan, nasionalisme dan cinta tanah air, ketangguhan, tajdid dan ijtihad, serta spiritual leadership.

Sebagai penutup, Ustadz Sulthon mengutip QS Al Baqarah ayat 154: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (*)

Kontributor: Mahfudz Efendi

Author