Kolaborasi, Makna Silaturahmi Sejati – bandungmu.com

Oleh: Ace Somantri, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung

BANDUNGMU.COM — Manusia hidup di dunia sejak lahir hingga tumbuh dewasa menjadi salah satu yang diciptakan oleh Allah SWT dikenal dalam literatur sebagai zoon politicon begitu kata Jhon Lock.

Di mana pun manusia hidup sudah pasti saling membutuhkan satu dengan yang lainnya atau dalam bahasa lain manusia sebagai mahluk sosial yaitu seorang manusia akan membutuhkan manusia lainnya.

Berangkat dari dasar pemikiran tersebut, siapa dan sehebat apa pun kita, tidak akan ada seorang pun yang mampu hidup sendiri.

Sekalipun dia seorang raja diraja, pengusaha paling kaya di dunia, atau seorang presiden sebuah bangsa dan negara adidaya, tetap saja dalam hidup sudah dipastikan membutuhkan orang lain.

Mustahil seorang manusia dapat hidup sendiri. Tidak ada sejarahnya di muka bumi ini. Walaupun dalam cerita fiksi sekalipun seperti tarzan tetap saja dia hidup akan dengan makhluk lain.

Ego kesombongan

Terlebih manusia, sangat sombong bagi dirinya di muka bumi ini berujar, “Saya tidak butuh siapa pun, saya bisa sendiri tanpa bantuan siapa pun”.

Kalimat tersebut bentuk sikap kesombongan dan keangkuhan manusia. Padahal, dia pasti dilahirkan ibunya. Sejak kecil mulai dari makan, minum, main, belajar, dan lain-lain, dia melibatkan orang lain selain dirinya.

Apa lagi dalam paham Islam, meyakini dirinya yang berbuat dan tidak mengakui akan peran Sang Pencipta, maka akan menjadi bunga-bunga ketakaburan dan kekufuran.

Sehingga dalam Islam itu diajarkan tentang tiga hal, yaitu tawasul (saling bertemu), ta’aruf (saling mengenal), dan ta’awun (saling tolong).

Oleh karena itu, seseorang menjalin satu kesatuan utuh dalam bingkai al ‘amal aljama’i (kebersamaan) dan ukhwah (persaudaraan) dengan aplikasi yang saling terikat emosi yang baik dan penuh ketulusan.

Ikatan emosi sesama yang baik dan benar ada dalam ajaran Islam yaitu konsep ash shilah ar rahim (silaturahmi), di mana seseorang satu dengan yang lain bertemu dan bercengkerama dalam balutan saling kasih dan menyangi.

Sekelas nabi pun dalam membangun kekuatan untuk mencapai tujuan mengikat emosi penuh dengan pancaran cahaya kasih dan sayang pada sesama.

Allah menjelaskan: “Tidak Aku utus engkau Muhammad ke muka bumi ini melainkan hanya untuk pembawa risalah kasih sayang di alam semesta dan isinya.”

Silaturahmi yang sejati

Penegasan syari tersebut memberikan ajaran pada manusia hingga hari ini bahwa silaturahmi adalah bagian dari syariat Islam yang memiliki makna sangat dalam dan banyak makna lain yang harus diungkap menjadi sebuah produk dari hasil olah nalar dan pikir.

Silaturahmi bukan sekedar dimaknai muwajahah (tatap muka) langsung, saling kenal, dan menyangi, melainkan harus memiliki tujuan dan maksud yang berorientasi pada peningkatan kualitas hidup, baik untuk diri sendiri dan juga orang lain.

Bahkan membentuk sebuah bangunan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan bagi alam semesta.

Konsep pembangunan tersebut benar-benar sudah dijalankan Rasulullah SAW sejak diangkat nabi dan rasul hingga diambil kembali oleh Allah SWT. Beliau banyak meninggalkan harta pusaka yang tak ternilai harganya.

Karena kita semua menjadi pewarisnya, konsekuensi yang diterima menjadi sebuah keharusan dari harta pusaka yang diwariskan, bukan harta dalam wujud kekayaan material, melainkan harta pusaka dalam bentuk produk gagasan dan pemikiran yang nilainya melebihi dari gunung emas.

Bagi Rasulullah SAW, kala hijrah boleh dikatakan tidak peduli dengan harta yang tidak terbawa, yang paling berharga kala itu bagaimana membuat kekuatan bersilatirahmi dengan masyarakat Yatsrib (Madinah) untuk berkolaborasi.

Kekuatan silaturahmi yakni membentuk performa kehidupan lebih berarti dan bernilai tinggi jika dipahami benar dan berpikir jeli. Era hari ini makna silaturahmi lebih dikenal dengan istilah kolaborasi.

Padahal Islam sudah 14 abad yang lalu mengajarkan sekaligus dengan role model yang sangat mudah dipahami. Masalahnya, kesadaran kita selalu berhenti hanya karena tidak memiliki kemauan keras dalam berkreasi dan berinovasi.

Maunya terima jadi dengan lontaran kata “Ngapain produksi sendiri cape-cape, mending cari yang sudah jadi nanti kita beli” atau ada ungkapan di lingkungan komunitas tertentu, “Ngapain juga kita kerja cape-cape membuat ini dan itu, nanti kita duduki setelah jadi” .

Dua kalimat di atas, fakta sosial banyak terjadi dan menjadi sikap yang sering muncul dalam perbincangan orang, dan parahnya disampaikan oleh orang-orang terdidik.

Bersama mengungkap kembali makna silaturahmi, kekuatannya bukan sekedar memanjangkan usia dan rezeki. Melainkan membangun peradaban alam semesta yang sudah diwarisi oleh para nabi.

Satukan jiwa, raga, dan hati nurani menjadi tubuh tangguh menghadapi berbagai hambatan dan rintangan yang selalu menghampiri dalam berbagai situasi.

Tidak boleh berhenti berinovasi untuk diri dan institusi, terus berjalan dengan kedua kaki sekalipun penuh duri. Mari bersilaturahmi mengikat visi, misi, serta tujuan dengan strategi-strategi untuk akselerasi mencapai pada rida Ilahi Rabbi.***




sumber berita ini dari bandungmu.com

Author