Kolom Safrin Octora: Anjela, Anjeli dan Anjelo

Anjela, Anjeli dan Anjelo

Oleh : Safrin Octora

Ketika postingan saya tentang dinamika sekolah dan tugas orang tua untuk mengantar anaknya ke sekolah pada hari pertama muncul, seorang kawan yang umurnya jauh di bawah saya memberikan komentar bahwa tugas itu pada dirinya tidak hanya pada hari pertama, melainkan sepanjang hari sekolah, sehingga sekarang saya mejadi anggota komunitas ‘anjela”, katanya.

Mendengar kata “anjela” yang tidak saya ketahui maknanya, saya membalas japrian tersebut sambil bertanya.

“Apa itu anjela”, tanya saya ingin tahu.

“Antar jemput anak sekolah, pak”, jawabnya. Ha… ha….. Saya tertawa kecil membaca jawabannya itu.

“Lanjot. TTDJ waktu anjela ya”, balas saya.

***

Siang itu dengan beberapa teman alumni, saya menikmati makan siang dengan menu kepala kakap di kawasan Tangerang Selatan. Ketika selesai makan, seorang pelayannya datang ke meja kami. Suara-suara Medan kami menarik perhatian si pelayan tersebut, dan spontan bertanya.

“Bapak-bapak orang Medan ya”, tanyanya.

“Ya”, jawab kami serentak.

“Saya juga”, balasnya. “Nama saya Anjeli”, lanjutnya mengenalkan dirinya.

“Lho Anjeli ? Kayaknya bukan nama anak Medan la”, balas seorang kawan.

“Asli Medan lho Pak”, jawab Anjeli tersenyum. Manis.

“Saya lahir di Medan. Bapak Jawa. Ibu Deli. Diberi nama Anjeli. Anak Jawa Deli”, jawab si pelayan. Senyumnya semakin manis. Ada lesung pipit di pipinya.

Anjeli. Anak Jawa Deli, gumam saya dalam hati

***

Nafas saya sedikit memburu, ketika berjalan di kawasan wisata yang memiliki kontur jalan naik turun.

Kebiasaan jalan pagi selama ini di kota sendiri, mendorong saya menikmati pagi di tempat yang cocok untuk healing ini. Udaranya sejuk dan merangsang saya untuk menikmati pagi sambil berjalan kaki.

Namun usia ternyata tidak bisa kompromi. Baru satu kilo, nafas telah menderu, minta istirahat. Saya singgah di warung kopi yang disekitar situ. Segelas kopi dan sepiring pulut ketan, saya pesan untuk menikmati pagi sambil menetralisir nafas.

Ketika sedang asyik menyeruput kopi, seorang anak muda minta izin untuk duduk di depan saya. Karena kursi di depan memang kosong, saya membolehkan pria muda itu untuk menikmati kursi plastik itu. Tempat duduk saya memang cukup strategis. Terletak di luar warung, memungkinkan kita untuk menikmati udara pagi yang segar dan menebarkan pandangan ke arah bawah yang penuh dengan kebun sayuran dan bunga milik petani desa tersebut.

Saya menawarkan secangkir kopi kepada laki laki muda itu setelah kami berkenalan. Dia menolak dan meminta pengganti kopi. Segelas teh manis.

Namanya A. Dia bukan warga sekitar situ, tapi dulu bekerja sebagai karyawan di hotel sekitar kawasan itu. Namun pagebluk yang bernama lain pandemi datang, dia terpaksa keluar dari hotel tersebut. Berkurangnya wisatawan membuat pemilik hotel, harus melakukan tindakan tidak populer. PHK terhadap sejumlah karyawan, termasuk A.

“Jadi sekarang kerja apa”, tanya saya yang mulai tertarik dengan perjalanan hidup A di kawasan wisata itu.

A, menarik nafas pelan ketika akan menjawab pertanyaan itu. Setelah menghembuskan nafas dengan panjang, A menjawab pertanyaan saya.

“Anjelo….” jawabnya pelan, nyaris tidak terdengar.

“Anjelo”, unik benar nama pemuda ini, pikirku. Lalu aku beranikan bertanya.

“Anjelo” pasti nama itu punya makna khusus. Aku beranikan bertanya.

Pemuda kurus berambut kurang terurus ini tersenyum. Masih ada sisa semangat hari kemarin di wajahnya.

Kemudian, pemuda ini dengan suara enteng menjelaskan, nama itu diperolehnya setelah PHK kemarin. Diberikan teman-teman yang sama keluar dari hotel tadi. Anjelo, Antar Jeng Lo……, bang, kata A sambil melirik ku.

Oh, aku sedikit kaget, dan kemudian menyeruput kopiku yang nyaris dingin. (***)

sumber berita dari infomu.co

Author