Lembaga Wakaf di Dunia Islam Sebelum Kolonialisme Barat

MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Demolish and replace mungkin menjadi dua kosa kata yang dapat mewakili aktivitas kolonialisme di negeri jajahan mereka. Sejak munculnya kolonialisme di dunia Islam pada abad ke-19, ajaran dan praktik keseharian umat Islam mengalami pergeseran dari berbasis jamaah ke aturan birokrasi pemerintah khas negara-bangsa. Kolonialisme memperkenalkan sistem pengadilan hukum Eropa dan undang-undang yang asing bagi habitat umat Islam, dan semua institusi tradisional secara sistematis dibongkar.

“Zaman pra modern semua institusi keislaman berbasis jamaah, kemudian masuk modern lokus ajaran Islam menjadi berbasis penguasa/ruler. Tadinya diselenggarakan secara sukarela oleh masyarakat, sekarang semuanya diatur secara top-down. Ini menimbulkan banyak dampak bagi dunia Islam,” ucap Muhamad Rofiq Muzakkir dalam kajian buku Reforming Modernity karya Wael Hallaq pada Sabtu (28/01).

Penjajah tidak hanya membunuh orang. Tetapi juga menghancurkan lanskap moral, sosial, hukum, dan epistemik. Munculnya kolonialisme bukan hanya dominasi fisik dunia Islam oleh kekuatan kolonial, tetapi juga, yang lebih penting, pembongkaran institusi Islam tradisional secara sistematis. Pertama-tama kolonialisme menghancurkan lembaga wakaf yang secara tradisional selama 1200 tahun telah menjadi tumpuan peradaban Islam.

Sebelum adanya kolonialisme, wakaf merupakan institusi yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat. Secara otonomi, wakaf menjadi tempat di mana semua orang miskin, yatim piatu, janda, dan orang-orang tertindas diurus oleh jamaah. Meski tanpa intervensi penguasa, wakaf juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan masjid, tarekat sufi, rumah sakit, jembatan, air mancur umum, dapur umum, penginapan para musafir, penerangan jalan, dan berbagai pekerjaan umum.

Sebagian besar dana amal wakaf ini diarahkan ke madrasah. Madrasah dalam dunia Islam merupakan tempat terbaik untuk menanamkan apa yang Hallaq sebut sebagai pengembangan teknologi diri (technologies of the self). Maksudnya, pendidikan tidak hanya diorientasikan untuk memperoleh pekerjaan, namun juga sebagai ajang pengabdian dan kesalehan seorang hamba. Karenanya, dari penghancuran lembaga wakaf ini kemudian melahirkan efek domino yang merambat ke penghancuran madrasah.

Sejak adanya kolonialisme, wakaf menjadi lembaga yang sangat tersentralisasi. Tidak lagi diurus jamaah, wakaf menjadi ladang subur bagi kepentingan-kepentingan para penguasa yang diatur “middle man”: Kementerian negara. Bahkan uang wakaf banyak digunakan untuk pengeluaran militer. Peran militer dalam konsepsi negara-bangsa memang begitu kuat. Selain itu, berubahnya institusi wakaf secara dramatis merobohkan serentetan hukum Islam dan praktik adat dengan cepat digantikan oleh Undang-undang dan institusi khas Eropa. Hal ini menjadikan syariat Islam tidak lebih dari sekadar kenangan yang memudar.

Institusi yang tadinya diduduki oleh para pakar syariah, praktisi tasawuf, dan lain-lain digantikan dengan gaya Eropa. Dalih yang mereka gunakan ialah reformasi—sebuah istilah yang menuntun pada satu pemahaman bahwa kolonialisme Eropa membawa sesuatu yang baik, unggul, dan maju. Setiap institusi yang tidak sejalan dengan gaya Eropa, dianggap tertinggal, kacau, tidak relevan, dan sederet sumpah serapah kolonial lainnya. Pada akhirnya, secara praktis peran para ulama sebagai penyuluh hukum bagi masyarakat tergantingkan oleh hakim-hakim di pengadilan khas Eropa.

“Qadhi (hakim) pada masa pra-modern hanya bertugas sebagai pelaksana hukum hasil ijtihad para ulama. Status mereka tidak lebih tinggi dari para mujtahid. Karena para mujtahid berpikir menulis buku, sementara qadhi hanya bertugas sebagai pemutus perkara. Hirarki mujtahid-qadhi ini kemudian hilang dan tenggelam di era modern,” terang Rofiq.

Penghancuran lembaga-lembaga Islam begitu kolosal dan total sehingga Wael Hallaq menyebut fenomena ini sebagai genosida struktural (structural genocide). Genosida struktural merupakan ungkapan untuk menggambarkan kematian bentuk-bentuk pengetahuan dan epistemologi tradisional yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan subjek baru (new subject). Subyektivitas baru ini tercipta dalam kerangka warga negara-bangsa sehingga ada pergeseran cara pandang dalam melihat diri dan dunia.

Institusi negara, baik itu pendidikan, kantor pemerintahan, penjara, media massa, lingkungan perusahaan, kompleks kesehatan, dan status quo adalah aparatur negara modern untuk secara sistematis menghancurkan dan kemudian menciptakan kembali individu. Tidaklah salah untuk mengatakan bahwa jenis kontrol yang dipegang oleh negara-bangsa atas rakyatnya belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Tidak ada sultan atau raja yang mencapai dominasi dan kendali atas rakyatnya seperti negara modern.

sumber Ilustrasi : theneweuropean.co.uk

Hits: 13

sumber berita ini dari muhammadiyah.or.id

Author