Lingkungan Hidup Itu Menghidupkan, Bukan Mematikan

Oleh: Ace Somantri, Wakil Ketua PWM Jabar dan Dosen UM Bandung

BANDUNGMU.COM — Bicara mengenai lingkungan menjadi topik menarik untuk didiskusikan karena lingkungan merupakan aspek yang erat dengan alam semesta, menjadi rumah bagi beragam makhluk hidup, baik yang mendiami daratan, lautan, maupun udara. Ada jutaan spesies yang hidup sesuai dengan habitat dan ekosistemnya.

Di tengah keragaman hayati ini, manusia memiliki kedudukan istimewa. Manusia adalah makhluk yang diberikan keistimewaan di antara semua spesies lainnya.

Kehadirannya di alam semesta ini diberkahi dengan nilai-nilai insani yang luhur dan mulia.

Sebagai konsekuensi dari pemahaman ini, penting bagi manusia untuk menghargai dan menghormati keberadaan lingkungan dengan bersyukur, merenung, dan berintrospeksi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Karena manusia adalah bagian dari lingkungan, ia memiliki tanggung jawab untuk mengendalikan diri serta memberikan teladan yang baik dan menginspirasi.

Lingkungan hidup mencakup berbagai bentuk kehidupan yang berkembang sesuai dengan pola alam masing-masing.

Namun, ketika ekosistem dan habitatnya dirusak atas nama kepentingan makhluk lain, padahal nyatanya merusak ekosistem, hal ini tidak bisa lagi disebut sebagai lingkungan hidup, tetapi lebih tepat disebut sebagai lingkungan mati.

Lingkungan hidup seharusnya tetap hidup dan berkontribusi dalam mendukung kehidupan makhluk lain. Sebaliknya, jika lingkungan dirusak demi kebijakan dan kepentingan semu makhluk lain, ini hanya akan merugikan dan mengakhiri lingkungan dengan alasan yang sering kali pragmatis dan materiil.

Lingkungan hidup memiliki peran strategis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan multidisiplin, seperti sosial, ekonomi, teknologi, dan ilmu lain yang relevan.

Meskipun berbagai konsep telah dikembangkan, sikap dan komitmen masyarakat masih sering kali tidak konsisten. Ini terlihat dalam dialog rapat kerja nasional Majelis Lingkungan Hidup (MLH) PP Muhammadiyah, di mana peserta dari Pimpinan Wilayah Riau mengungkapkan kritik mengenai inkonsistensi dalam persyarikatan.

Salah satu contoh yang diangkat adalah ketika sebuah perusahaan yang dikenal merusak lingkungan menjadi salah satu sponsor dalam acara tersebut.

Hal ini menciptakan ambiguitas dalam gerakan dakwah lingkungan, yang seharusnya menjadi inspirasi untuk sikap dan perilaku yang baik terhadap krisis lingkungan.

Tantangan mendasar dalam mempromosikan gerakan dakwah lingkungan yang konsisten dalam kehidupan adalah ketidakseimbangan dalam berbagai cara dan strategi untuk mengurangi polusi di darat, laut, dan udara.

Gerakan dari komunitas sosial, termasuk ormas Islam dan NGO yang peduli pada isu lingkungan, masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Pembahasan mengenai isu lingkungan masih belum mendapat ruang yang memadai, baik dalam hal detail, implementasi, maupun jangkauan yang luas.

Masalah seperti lahan gambut yang terdegradasi selama bertahun-tahun dan eksploitasi penebangan pohon serta tambang yang merusak lingkungan, menunjukkan kepedulian yang masih minim.

Respons terhadap jeritan ekosistem makhluk hidup di berbagai habitat sering kali tampak terbatas atau bahkan tidak ada. Keterlibatan pemerintah juga belum optimal, padahal mereka memiliki peran sebagai regulator kebijakan lingkungan melalui kementerian terkait.

Lingkungan hidup diciptakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup semua makhluk. Interaksi antar makhluk di dalamnya seharusnya saling mendukung.

Tidak ada makhluk yang awalnya diciptakan untuk berbuat jahat. Keburukan berasal dari nafsu dan keinginan manusia yang terpengaruh oleh dorongan negatif dalam hati mereka.

Ini menghasilkan perilaku buruk seperti kejahatan, kezaliman, iri hati, dendam, pembunuhan, korupsi, penyembahan berhala, dan perilaku buruk lainnya.

Bahkan keburukan ini dapat mempengaruhi makhluk lain di lingkungan sehingga berdampak negatif pada ekosistem. Oleh karena itu, menjaga keberlanjutan lingkungan adalah kunci penting.

Contohnya, kita tahu bahwa sampah dari aktivitas manusia, hewan, dan makhluk lain adalah hal yang merusak dan dapat menimbulkan penyakit.

Namun, dengan pengetahuan yang tepat, sampah ini dapat diolah menjadi sumber nilai, seperti pupuk organik untuk pertumbuhan tanaman, pakan ikan, pakan ternak, dan bahkan sumber energi terbarukan.

Makhluk hidup satu sama lain mempertahankan kehidupan melalui interaksi yang kompleks, di mana kehidupan yang berkelanjutan hanya mungkin terjadi jika setiap makhluk hidup saling mendukung.

Sebaliknya, jika interaksi ini bersifat merugikan atau merusak, maka kehidupan akan menjadi tidak berkelanjutan.

Oleh karena itu, pemahaman bahwa lingkungan hidup adalah sarana untuk menjalankan peran kemanusiaan yang seimbang perlu ditekankan.

Memiliki kesadaran akan tanggung jawab kita sebagai khalifah di bumi untuk menjaga dan memelihara lingkungan adalah suatu keharusan. Kita tidak boleh merusaknya karena konsekuensinya bisa sangat buruk, baik bagi kita di dunia maupun di akhirat.

Mengambil inspirasi dari prinsip tauhid, kita harus hidup dalam harmoni dengan lingkungan, saling menjaga, dan menghindari tindakan merusak.

Ketika makhluk hidup saling mendukung, kehidupan berkelanjutan akan terwujud. Namun, jika saling merusak, dampaknya bisa merugikan kehidupan secara keseluruhan.

Sejarah telah membuktikan bahwa banyak ekosistem telah punah akibat perbuatan manusia yang merusak lingkungan. Kita sebagai manusia memiliki kesempatan untuk belajar dari kesalahan ini dan mengambil tindakan yang lebih bijaksana.

Apakah kita akan mengulangi kesalahan yang sama? Ataukah kita akan mengambil langkah-langkah yang mendukung kehidupan yang berkelanjutan?

Lingkungan adalah rumah kita bersama dan keselamatan kita bergantung pada bagaimana kita merawatnya. Wallahu’alam.***



sumber berita ini dari bandungmu.com

Author