Mencari Pemimpin Ideal – bandungmu.com

Oleh: Ace Somantri, UM Bandung

BANDUNGMU.COM — Isu dan narasi kepemimpinan tidak pernah berhenti diperbincangkan di mana pun dan dalam media apa pun.

Pendapat dari berbagai ahli dan pakar terlontar, mulai dari komentar mengkritisi situasi yang terjadi pada pemimpin negeri hari ini maupun mengingat dan bernostalgia dengan para pemimpin negeri masa di lampau.

Pun sama dalam waktu yang berbarengan berharap dengan penuh ekspektasi kepada siapa pun pemimpin negeri ini. Baik kepada para pemimpin eksekutif yang di bawah komando presiden, pemimpin legislatif atau perwakilan rakyat, dan pemimpin yudikatif pemegang kebijakan hukum di negeri ini yang sering mengatakan bahwa hukum sebagai panglima.

Pemimpin yang ideal selalu bisa menunjukkan sikap melayani, bukan dilayani. Selalu memberi, bukan berharap diberi. Senantiasa menasehati, bukan menampakkan diri yang harus dinasehati. Selalu memberi keadilan, bukan menjual keadilan. Pemimpin yang membahagiakan dan mensejahterakan, bukan malah menyengsarakan.

Menjadi pemimpin atau pejabat itu sangat berat karena memikul amanah yang luar biasa. Namun, ada kalanya orang sudah diangkat menjadi pemimpin malah petantang-petenteng merasa punya kekuasaan. Seolah-olah menjadi manusia paling terhormat dan terpandang.

Ada pemimpin yang nyatanya digaji dan dibayar oleh keringat dan harta negara yang pemiliknya adalah rakyat. Mereka ada yang bergelimpang harta, berkendaraan mewah, berumah lebih dari satu dan juga mewah.

Pertanyaan, apakah terbersit dalam hatinya bahwa yang dia gunakan dan makan hakikatnya berasal dari rakyat? Dengan baju besi jabatan itu, bukan untuk menakut-nakuti apalagi memeras rakyat pemilik sah bangsa dan negara.

Dalam sejarah masa lalu, banyak cerita para pemimpin negeri yang bisa jadi kita mengambil inspirasi dan ibrah. Misalnya kepemimpinan para nabi dan rasul, khalifah rasyidah (di antaranya Umayah dan Abasyiyah).

Kenangan dan romantisme negeri-negeri, baik yang tiran dan juga negeri ghafururrahiim, semuanya bisa menjadi ibrah manusia berikutnya, termasuk pada abad ini.

Kita menyadari bahwa pada peradaban bangsa dan negara abad ini para pemimpinnya nyaris tidak ada yang memiliki sifat dan karakter kepemimpinan yang memberi, melayani, menasehati, dan juga memberi keadilan dan kesejahteraan yang membahagiakan.

Bagi rakyat, dunia ini serasa neraka, sedangkan bagi pendusta agama dunia ini serasa surga. Apa pun yang dikehendaki semua disediakan. Tidak peduli dari mana. Yang penting harus ada.

Belajar kepada Umar

Jauh dari tanah ke langit. Jangankan dibandingkan dengan nabi dan rasul, dengan sahabat Nabi Muhammad SAW saja masih jauh. Umar ibnu Khattab menjadi sosok pemimpin yang melayani, tegas, dan adil dalam menegakan aturan.

Bahkan dia rela menahan perut hingga keroncongan demi rakyatnya. Dia tegas dan berani mengambil harta para gubernur dan wali kota yang melebihi dari yang seharusnya.

Ternukil dalam sejarah bahwa Umar ibnu Khattab pernah memberhentikan gubernur Thaif yakni Atabah bin Abu Sofyan karena ketahuan memiliki harta melebihi dari pendapatanya sebagai pejabat negara. Harta kelebihan itu lalu dimasukkan ke baitulmal.

Lain waktu, wali kota Utbah berkunjung ke Madinah membawa harta banyak. Khalifah Umar ibnu Khattab bertanya dari mana harta itu. Utbah menjawab bahwa harta tersebut dari hasil dagang di pasar.

Mendengar jawaban tersebut, dengan nada cukup menggetarkan, Umar berkata, “Aku tugaskan engkau untuk menjadi wali kota. Kalau engkau berdagang, lantas siapa yang mengurus rakyat?” Umar pun meminta wali kota tersebut memasukkan hartanya ke baitulmal.

Umar merupakan pemimpin melayani, berani, dan tegas dalam menegakkan aturan dalam sebuah bangsa dan negara. Dirinya rela memberikan waktu, harta, jasad, untuk pengabdian kepada negara dan rakyatnya.

Hartanya secukup yang dapat dengan kadar semesetinya dari kas negara tanpa minta ini dan itu. Bagi Umar, kepuasannya dalam memimpin adalah melayani dan memberikan keadilan kepada rakyatnya.

Adakah hari ini pemimpin bangsa yang peduli pada rakyat dan negara seperti halnya Umar ibnu Khattab? Nyata hari ini, demokrasi kita, ketika ada pemilihan dan pengangkatan pemimpin, syarat dengan perilaku transaksional. Fakta sosialnya perilaku seperti itu bak jual beli barang dan juga seolah-olah bentuk lain dari investasi.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa sejak demokrasi sebagai sistem dan mekanisme ketatanegaraan sebuah bangsa, siapa pun pemimpinnya, sulit untuk keluar dari tradisi demokrasi transaksional.

Pekerjaan besar bagi para moralis dan intelektualis bangsa untuk melakukan kajian radikal hal ihwal sistem ketatanegaraan yang benar-benar bisa melahirkan pemimpin bangsa yang merdeka dari budaya politik transaksional.

Berani, tegas, dan adil dalam memberikan dan melayani menjadi dambaan rakyat dari sosok pemimpin yang akan datang. Bukan hanya di Indonesia, melainkan di seluruh belahan dunia. Wallahu alam.***



sumber berita ini dari bandungmu.com

Author