Oleh: M. Islahuddin
Seratus tahun lebih setelah KH Ahmad Dahlan menyalakan obor pembaruan Islam, Muhammadiyah kini dihadapkan pada ujian paling mendasar: masihkah ia menjadi gerakan dakwah sosial, atau sekadar korporasi berjubah amal?
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”
Kalimat emas KH Ahmad Dahlan ini kini kerap terdengar seperti suara jauh yang menggema di dinding kantor, namun kehilangan denyut dalam hati sebagian para penggeraknya. Pesan sederhana, namun tajam itu bukan sekadar slogan, melainkan seruan moral agar Muhammadiyah menjadi jalan perjuangan, bukan jalan penghidupan kelompok, apalagi pribadi.
Namun kini, pertanyaan getir itu muncul di banyak ruang: apakah ruh perjuangan Kiai Dahlan masih bersemayam di tubuh Muhammadiyah? Ataukah organisasi besar ini perlahan menjelma menjadi korporasi yang sibuk mengelola aset, tetapi kehilangan empati pada umat kecil yang dulu menjadi alasan kelahirannya?
Dari Pertolongan Menjadi Perdagangan
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah lahir dari cita-cita luhur: “Pertolongan Kesehatan Umat.” Dahulu, KH A. Dahlan dan Nyai Walidah merawat fakir miskin dengan penuh kasih, tanpa tarif, tanpa memandang status. Ia pernah berpesan kepada murid-muridnya, “Jangan hanya mengajar agama di masjid, tapi ajarkan agama dengan perbuatan, dengan menolong sesama.”
Kini, rumah sakit-rumah sakit Muhammadiyah berdiri megah di berbagai kota. Namun, bagi banyak rakyat kecil, gedung megah itu justru menimbulkan rasa gentar, biayanya sering lebih tinggi daripada rumah sakit swasta lainnya. Jika PKU dulu menjadi simbol kasih sosial, kini ia justru dicap sebagai “bisnis kesehatan”.
Apakah ini masih layak sebagai pertolongan? Ataukah amal usaha yang lahir dari pengabdian telah berubah menjadi mesin ekonomi yang hanya ramah bagi dompet tebal?
Sekolah Elit, Bukan Sekolah Umat
Kiai Dahlan mendirikan sekolah agar anak-anak fakir tak kalah oleh anak-anak Belanda. Pendidikan adalah jalan untuk memerdekakan pikiran, bukan untuk memisahkan kelas sosial. Namun hari ini, biaya pendidikan di sekolah dan universitas Muhammadiyah kerap tak terjangkau oleh rakyat kecil yang berpenghasilan pas-pasan.
Universitas dan sekolah muhammadiyah dikenal sebagai kampus dan sekolah berprestise. Namun, berapa banyak anak tukang becak, nelayan, atau buruh tani yang bisa kuliah dan sekolah di sana tanpa beasiswa? Hampir tak ada!
Padahal, Kiai Dahlan pernah menegaskan, “Ilmu itu untuk amal, amal itu untuk kemaslahatan manusia.” Pendidikan Muhammadiyah seharusnya bukan alat menaikkan status sosial, tetapi tangga bagi kaum lemah untuk naik derajat. Bila kini pendidikan menjadi industri, maka ruh amal usaha telah berubah arah.
Korporatisasi Dakwah
Di laporan tahunan, Muhammadiyah nampak menakjubkan. Hotel, percetakan, supermarket, dan aset wakaf seluas puluhan hektare menjadi kebanggaan organisasi. Namun Pro. Syafiq A. Mughni dalam salah satu refleksinya mengingatkan, “Kekuatan Muhammadiyah bukan pada besarnya aset, tapi pada makna sosialnya. Jika amal usaha tidak lagi mengabdi pada masyarakat, maka di situlah awal kemundurannya.”
Aset yang sejatinya ditujukan untuk pemberdayaan umat kini lebih sering tampil sebagai simbol prestise. Rakyat kecil jarang merasakan manfaat langsung dari kekayaan lembaga. Muhammadiyah tampak sibuk mengelola gedung dan neraca keuangan, namun sering abai terhadap “jiwa” yang dulu menyalakannya: dakwah sosial yang memihak kaum mustadh’afin.
Padahal, Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pernah mengingatkan dalam Muktamar ke-48 Surakarta (2022):
“Jangan biarkan Muhammadiyah menjadi organisasi besar yang kehilangan jiwa. Amal usaha boleh berkembang, tapi ruh sosial dan dakwah kemanusiaan jangan pernah padam.”
Pesan itu sejatinya bukan kritik dari luar, melainkan renungan dari dalam rumah sendiri.
Kritik yang Mencintai
Kritik terhadap Muhammadiyah bukanlah kebencian, melainkan jeritan cinta dari mereka yang masih percaya pada warisan suci Kiai Dahlan. Ini suara umat kecil yang merasa ditinggalkan oleh organisasi yang dulu menjadi sandaran.
KH A. Dahlan mengajarkan, bahwa dakwah bukan sekadar ceramah, tapi tindakan nyata. “Jangan hanya mengajarkan agama dengan lidah, tapi tunjukkan agama dengan amal,” demikian nasihatnya yang kini terasa semakin relevan.
Maka, wajar jika muncul pertanyaan yang tajam namun jujur: apakah para pemimpin Muhammadiyah hari ini benar-benar menghidupi Muhammadiyah, atau justru mencari hidup di Muhammadiyah?
Ketika pidato-pidato berbicara tentang Islam berkemajuan, tetapi di lapangan rakyat miskin tetap terpinggirkan, bukankah itu pengkhianatan terhadap amanah sang pendiri?
Kembali atau Mati
Muhammadiyah kini berada di persimpangan sejarah. Ia bisa memilih untuk kembali ke ruh perjuangan awal membumikan dakwah kemanusiaan dan menegakkan keadilan sosial atau perlahan mati sebagai organisasi besar yang kehilangan jiwanya.
Rumah sakit Muhammadiyah harus kembali menjadi tempat rakyat kecil mencari harapan, bukan tempat yang mereka hindari. Sekolah Muhammadiyah harus kembali menjadi wadah bagi anak-anak fakir bermimpi, bukan sekadar simbol prestise keluarga mampu.
Aset wakaf harus kembali untuk kesejahteraan umat, bukan sekadar kebanggaan korporasi. Sebab, seperti diingatkan kembali oleh Haedar Nashir, “Kekayaan Muhammadiyah bukan untuk ditumpuk, tapi untuk menolong sesama.”
Ingatlah, kebesaran Muhammadiyah tidak diukur dari jumlah hotel, luasnya tanah, atau nilai asetnya, melainkan dari sejauh mana ia menolong yang lemah, mengangkat yang miskin, dan menghidupi umat sebagaimana dipesankan oleh pendirinya.
Kiai Dahlan menutup banyak nasihatnya dengan kalimat yang sederhana namun mengguncang, “Jadilah manusia yang berguna bagi manusia lain.” Itulah jantung dakwahnya: menolong, bukan memerintah; melayani, bukan menikmati.
Jika semangat itu kembali dihidupkan, Muhammadiyah tak akan kehilangan arah meski zaman berubah. Namun jika dibiarkan padam, organisasi sebesar apa pun hanya akan menjadi bayang-bayang dari kemegahannya sendiri.
Seruan untuk Bangkit
Refleksi ini bukan ajakan untuk menuding apalagi menghakimi, melainkan seruan untuk kembali merenung. Muhammadiyah masih memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan moral bangsa, pelita di tengah gelapnya pragmatisme sosial dan politik.
Seperti kata Syafiq A. Mughni, “Kita tidak boleh puas dengan amal usaha yang megah, sementara di luar sana masih banyak yang lapar dan buta huruf. Dakwah itu bukan tentang mengelola lembaga, tapi tentang menyentuh hati manusia.”
Dan di situlah tantangan terbesar Muhammadiyah hari ini: menyeimbangkan kemajuan dengan kepedulian, keberhasilan dengan keikhlasan, dan kebesaran dengan kesederhanaan. Sebab pada akhirnya, seperti pernah diucapkan KH A. Dahlan, “Jangan takut miskin karena memberi, takutlah kaya tapi melupakan sesama.”
Di sanalah sejatinya letak hidupnya Muhammadiyah bukan di angka laporan keuangan, tapi di denyut nadi umat yang kembali merasakan kasih sayang dan keadilan dari amal perbuatan. (*)
*) M. Islahuddin, aktivis muda Muhammadiyah, tinggal di Gresik, Jawa Timur.
