Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah mengecam kebijakan pemerintah yang memberikan izin pertambangan khusus kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Menurut mereka, langkah ini melanggar Undang-undang Administrasi Pemerintahan. Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, menyatakan bahwa wewenang Menteri Investasi/Kepala BKPM dalam memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada ormas tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga menyuarakan keprihatinan serupa, menilai bahwa kebijakan ini berpotensi meningkatkan konflik horizontal di masyarakat². Sementara itu, Gerindra melalui Dasco menyebutkan bahwa pengelolaan tambang harus terbuka untuk semua pihak selama tidak melanggar hukum³.
Presiden Jokowi sebelumnya telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang memungkinkan ormas keagamaan untuk mengelola izin usaha tambang⁴. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi, dengan kekhawatiran mengenai kemampuan ormas dalam mengelola bisnis pertambangan dan potensi penyalahgunaan izin untuk kepentingan tertentu⁵.
Kritik juga datang dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), yang mendesak pemerintah untuk mencabut aturan tersebut dan meminta ormas keagamaan untuk mempertimbangkan kembali penerimaan tawaran pemerintah⁷. Mereka mengkhawatirkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat akibat aktivitas pertambangan yang tidak terkontrol.
Dengan adanya berbagai pandangan ini, tampaknya kebijakan baru tentang izin tambang untuk ormas keagamaan akan terus menjadi topik diskusi yang hangat di Indonesia.