Penjelasan Muhammadiyah Soal Hukum Merayakan HUT Republik Indonesia

BANDUNGMU.COM, Bandung — Apa hukum merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia dalam hukum Islam, terutama upacara dan sejumlah hal lainnya? Ada yang berpendapat bidah tapi ada yang mengatakan itu hanya adat. Bagaimana Muhammadiyah dan kita yang sebagai tokoh masyarakat menjelaskan itu kepada masyarakat luas, khususnya muslim?

Pertanyaan dari Danu Aris (danuaris07@gmail.com)

Jawaban

Dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, ada empat hal mendasar dalam ajaran Islam yang perlu dipahami, yaitu akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah duniawiah.

Akidah adalah pokok-pokok ajaran agama yang harus diyakini oleh umat Islam sebagai konsekuensi atas keimanannya. Secara ringkas, persoalan akidah ini terangkum dalam rukun iman yang berjumlah enam.

Dalam hal ini, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bidah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.

Sementara itu, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang dari sifat tersebut timbul suatu perbuatan dengan mudah atau gampang tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan.

Dalam hal ini, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia.

Adapun ibadah ialah ber-taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dengan jalan menaati segala perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah.

Dalam hal ini ibadah terbagi menjadi dua macam, yaitu ibadah umum dan ibadah khusus (mahdhah). Ibadah umum adalah segala amalan yang diizinkan oleh Allah. Adapun ibadah khusus (mahdhah) adalah jenis ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah secara rinci, baik tata cara maupun formatnya.

Majelis Tarjih dan Tajdid meyakini bahwa bidah dapat terjadi pada dua bidang, yaitu akidah dan juga ibadah khusus (mahdhah) sehingga segala hal yang berhubungan dengan akidah dan ibadah khususharus berdasarkan kepada dalil yang maqbul.

Ini didasarkan pada beberapa dalil, baik dari Al-Quran maupun Sunnah Rasulullah SAW di antaranya:

“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran [3]: 31).

Dari Aisyah RA (diriwayatkan) yang ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang mengada-adakan dalam perkara agama kami yang tidak ada perintahnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR Al-Bukhari).

Dalam persoalan ibadah khusus bahkan terdapat kaidah fikih yang menyebutkan: “Hukum asal ibadah adalah haram (sampai ada dalil yang memerintahkannya).”

Adapun dalam hal muamalah, istilah bidah ini tidak berlaku. Muamalah sendiri adalah segala hal atau perkara yang berhubungan dengan urusan duniawi.

Merayakan hari ulang tahun kemerdekaan dalam hal ini dapat dikategorikan ke dalam bidang muamalah sehingga pada dasarnya ia diperbolehkan asalkan di dalam media yang digunakan untuk merayakan tidak melanggar aturan agama dan norma sosial.

Sebagaimana Hadis Nabi SAW:

Dari Anas (diriwayatkan), ia berkata: Pada masa Rasulullah baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di hari itu mereka bersenang-senang. Rasulullah kemudian bertanya, “Perayaan apakah yang dirayakan dalam dua hari ini?” Warga Madinah menjawab, “Pada dua hari raya ini, dahulu di masa jahiliah kami biasa merayakannya dengan bersenang-senang.” Maka Rasulullah bersabda, “Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR Abu Dawud).

Dalam memahami hadis tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah berpendapat bahwa larangan Nabi SAW untuk membuat perayaan hari raya pada hari tertentu berlaku pada perayaan-perayaan yang terkait dan atau diyakini sebagai ibadah.

Apabila perayaan tersebut tidak terkait dengan ibadah, kami memandang itu sebagai bagian dari muamalah sehingga hukum asalnya adalah boleh, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Kaidah fikih menyebutkan: “Hukum asal dalam permasalahan muamalah adalah mubah (boleh), tidak dilarang kecuali yang diharamkan oleh Allah.”

Ada juga kaidah: “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang menunjukkan ketidakbolehannya.” Kemudian ada hadis: “Segala perkara bergantung pada niatnya.”

Termasuk yang dibolehkan dalam hal ini adalah pelaksanaan upacara sebagai salah satu bentuk refleksi atas perjuangan para pahlawan yang telah mampu mengibarkan merah putih sebagai tanda kemerdekaan.

Dengan demikian, menurut kami hormat kepada bendera ketika melaksanakan upacara juga bukan merupakan bentuk penyembahan (li al-ta‘abbud), melainkan sekadar wujud penghormatan (li al-ihtiram) kepada jasa para pahlawan yang telah mengorbankan seluruh jiwa raga demi kemerdekaan Indonesia.

Atas dasar itulah kami berpendapat bahwa hormat kepada bendera bukan termasuk sesuatu yang dilarang dalam agama.

Namun, hal yang perlu diperhatikan terkait upacara bendera dalam rangka merayakan kemerdekaan secara umum atau dalam upacara-upacara lain secara umum antara lain adalah pakaian yang dikenakan para petugas upacara seperti paskibra (pasukan pengibar bendera). Para paskibra ini hendaknya memakai busana yang sopan dan menutup aurat.

Hal-hal lain yang diperbolehkan juga berlaku pada tradisi atau adat-adat yang dilakukan di tengah masyarakat menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia, dalam bentuk perayaan yang sifatnya mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur membela tanah air.

Apalagi jika dalam acara tersebut diisi dengan kegiatan-kegiatan positif dan bermanfaat, seperti pengajian, ceramah kebangsaan, dan penanaman nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme kepada para pemuda.

Namun, apabila dalam perayaan kemerdekaan diisi dengan acara yang tidak selaras atau bertentangan dengan syariat dan juga norma sosial, perayaan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang sia-sia atau bahkan dilarang.

Dalam hal ini Rasulullah SAW memperingatkan umatnya agar meninggalkan perbuatan yang sia-sia:

Dari Abu Hurairah RA (diriwayatkan), ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara ciri baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna (sia-sia).” (HR Ibnu Hibban, Syuaib Al-Arna’uth menilai hadis ini hasan lighairih).

Bahkan Al-Quran menyebut salah satu ciri mukmin yang sesungguhnya adalah mereka yang mampu menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak berguna.

“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS Al-Mu’minun [23]: 3).

Selain itu, hal yang juga perlu diingat adalah jangan sampai perayaan HUT RI yang dilakukan terjerumus pada perilaku israf (berlebih-lebihan) dan mubazir yang justru akan menodai makna kemerdekaan itu sendiri.

Dalam al-Quran, Allah SWT telah melarang perilaku-perilaku tersebut:

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-A’raf [7]: 31).

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS Al-Isra [17]: 27).

Di sinilah peran saudara sebagai tokoh masyarakat untuk melakukan edukasi kepada masyarakat di tempat anda tinggal bahwa perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia seyogyanya diisi dengan acara-acara yang positif dan edukatif agar komitmen dan rasa nasionalisme warga masyarakat sekitar anda dapat meningkat.

Hal yang perlu diperhatikan juga bagi saudara dan tokoh masyarakat yang lain di antaranya adalah tentang pemilihan jenis lomba yang diadakan dalam menyambut perayaan hari kemerdekaan. Perlombaan yang diselenggarakan harus dijauhkan dari hal-hal yang dilarang dalam agama, seperti judi dan taruhan.

Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Maidah [5]: 90).

Selain itu, hal yang tidak kalah penting, perlombaan yang diadakan seyogyanya adalah lomba-lomba yang secara esensi dapat membentuk generasi muda agar menjadi manusia yang berkarakter.

Bukan mengadakan lomba yang sekadar bersifat hura-hura, tidak mendidik dan jauh dari nilai-nilai luhur bangsa maupun agama.***



sumber berita ini dari bandungmu.com

Author