Pernikahan-Pernikahan yang Dipersoalkan | PWMU.CO

banner 468x60
Moh. Sulthon Amien: Pernikahan yang Dipersoalkan (Istimewa/PWMU.CO)

Pernikahan-Pernikahan yang Dipersoalkan, merupakan bagian ke-9 dari buku Spiritualitas Pernikahan Meraih Kebahagiaan dengan Rahmat Ilahi karya Moh. Sulthon Amien.

Penulis adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Ketua Badan Pembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Ketua Dewan Pembina Yayasan Insan Mulia Surabaya, dan Direktur Utama Laboratorium Klinik Parahita Surabaya.

PWMU.CO – Raja Salman bin Abdulaziz tahun 2008, ketika masih menjadi Gubernur Riyadh, mensponsori perkawinan massal terbesar yang melibatkan 1.636 pasangan. Mereka tidak hanya dinikahkan tetapi juga mendapatkan bantuan sebesar 32.000 real (kisaran 127 juta rupiah).  Diberikan juga konseling, kursus, pelatihan, dan layanan lainnya (Al-Hzami, 2008).

Pemerintah Arab Saudi hampir setiap tahun mengadakan pernikahan massal seperti ini untuk meningkatkan angka pernikahan di usia ideal. Di tahun 2019, pemerintah Arab Saudi menyelenggarakan pernikahan massa yang melibatkan 1.440 pasangan dan membagikan hadiah senilai hampir SR 3,5 juta, setara dengan Rp. 14 milyar (Filipinotimes.net., 2019).

Saudi General Authority for Statistics melakukan research perihal status lajang. Hasilnya memperlihatkan lebih dari 66 persen warga Arab Saudi usia 15-34 tahun berstatus jomblo di tahun 2020. Kaum Adam mendominasi jumlah total lajang dibandingkan dengan kaum Hawa. Kisaran 75,6 persen laki-laki dan 56 persen perempuan memilih menunda berkeluarga (Sekarwati, 2020).

Tingginya biaya hidup dan mahalnya biaya pernikahan menjadi alasan utama penundaan pernikahan. Keinginan untuk menyelesaikan pendidikan menjadi alasan kedua. Hal lain karena rata-rata orang tua telah menjodohkan anak perempuannya sejak usia remaja dengan pria yang usianya tidak beda jauh. 

Jadi, ketika seorang pria menunda menikah di waktu muda, ia akan kesulitan menemukan jodoh. Faktor lainnya adalah semakin longgarnya kebijakan Arab Saudi yang memperbolehkan wanita dewasa, baik yang belum menikah maupun cerai, untuk hidup sendiri tanpa wali. 

Wajar kiranya jika mahalnya biaya pernikahan di Arab Saudi menjadi salah satu alasan utama penundaan pernikahan. Bayangkan saja, untuk resepsi pernikahan dan mahar calon suami harus merogoh dompet SR 80.000-100.000 (Rp 325 juta sampai Rp 407 juta). Rata-rata mahar di keluarga kelas menengah adalah SR 30.000 (sekitar Rp 122 juta), tetapi bisa mencapai ratusan ribu riyal untuk orang kaya (Saudigazette.com.sa., 2018).

Rencana pernikahan menjadi terhambat, ketika biaya tingginya pernikahan dan mahar sulit ditembus khalayak yang tak mampu memenuhinya. Nubuah meringankan mahar karena tidak semua orang berlatar belakang keluarga berada. 

Ajaran agama yang mulia ini terhadang materialisme dan berhadapan dengan konstruksi budaya. Adat istiadat perlahan bergeser karena kurang kuatnya pegangan terhadap nilai-nilai utama pernikahan yang diajarkan Islam. Fenomena yang terjadi ibarat menambahkan ornamen bagian depan tetapi membuat sulit penghuninya untuk masuk dalam rumah.

Pro Kontra Mahar Tinggi

Tradisi pemberian maskawin yang tinggi di Arab Saudi ini menuai pro dan kontra. Pembantah tradisi ini mempunyai alasan yang sangat jelas. Hanya pria berduit yang leluasa menikahi wanita yang mematok harga selangit. 

Mereka yang pro berdalih kepala keluarga mesti siap secara finansial mengawali rumah tangga dan menjamin keluarganya berkecukupan, baik sandang, pangan, dan papan. Pihak keluarga pengantin wanita juga sering kali menggunakan uang mahar untuk menutupi biaya pernikahan atau untuk melengkapi rumah baru pasangan itu. Pengantin wanita juga bisa menggunakan mahar sebagai tabungan untuk masa depan keluarganya. 

Namun demikian, seserahan yang muluk juga bisa menyulut ketidakharmonisan. Bagi lelaki yang egois, mahar dianggap sebagai “alat beli” pasangannya. Karena sudah membayar mahal, ia seenaknya memperlakukan istrinya bagaikan barang. Martabat istri dinilai seperti mas kawinnya itu. Perjanjian sakral diinterpretasikan sebagai hubungan transaksional. Hal ini tentunya jauh dari nilai pernikahan yang diajarkan Rasulullah.

Fenomena penundaan pernikahan tidak hanya terjadi di Arab Saudi tetapi juga di Indonesia. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia mencatat, penduduk yang telah kawin di Indonesia sebanyak 133,03 juta orang pada tahun 2021

Penduduk yang belum kawin juga cukup banyak, yakni 125,58 juta orang. Angka tersebut termasuk 11,11 juta penduduk Indonesia memiliki status cerai mati. Sementara, ada 4,15 juta penduduk Indonesia yang berstatus cerai hidup (Karnadi, 2022).

Ada beberapa alasan yang menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia masih memilih untuk melajang. Pertama, keinginan perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan karir yang lebih tinggi (Himawan, 2020). Gerakan kesetaraan gender telah meningkatkan partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan dan dunia kerja. Hal ini menyebabkan mereka ingin fokus terhadap edukasi dan profesi.

Pada tahun 2000 misalnya, proporsi wanita Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang menamatkan pendidikan universitas hanya 3,24 persen. Angka ini meningkat tiga kali lipat di tahun 20 21 menjadi 10,06 persen. Angka tersebut lebih tinggi dari pria yang hanya 9,28 persen (Badan Pusat Statistik, 2021). Peningkatan partisipasi perempuan di bidang pendidikan secara logis berdampak pada semakin besarnya keterlibatan mereka dalam dunia kerja.

Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), partisipasi angkatan kerja kaum hawa berangsur-angsur meningkat mulai dari 32,65 persen pada tahun 1980 hingga 53,34 persen pada tahun 2021 (Badan Pusat Statistik, 2021). Kini semakin banyak dari mereka  yang mengambil peran dalam dunia kerja, termasuk wilayah manajerial.

Alasan kedua terkait dengan budaya di Indonesia yang mengidealisasikan hipergami. Menurut tradisi pernikahan hipergami, suami seharusnya memiliki status sosial, ekonomi, dan tingkat spiritualitas yang lebih tinggi daripada istri. 

Hal itu membuat tekanan tersendiri bagi lelaki yang secara normatif (oleh negara) diatur sebagai kepala rumah tangga. Sebagai kepala rumah tangga, mereka harus mendapatkan penghasilan dan status sosial yang lebih tinggi dari bini. Mereka perlu waktu mempersiapkan itu semua sehingga keputusan menunda pernikahan menjadi opsi. 

Alasan ketiga adalah kesulitan bagi wanita untuk mewujudkan pernikahan menurut tradisi hipergami. Tingginya jenjang pendidikan, karier, serta status sosial ekonominya, maka  perempuan saat ini membuat diri mereka sendiri sulit menemukan pasangan yang ideal. Semakin tinggi kariernya, semakin kecil peluangnya untuk mendapatkan pasangan dengan atribut yang lebih tinggi darinya.

Penikahan Jalan Pintas

Dikenal dengan kawin mut’ah, pernikahan ini menjadi perdebatan panjang tak kunjung usai. Pendapat ahli fikih beragam  terkait pernikahan ini. Kalangan Suni mengunci mati pelaksanaan pernikahan model ini, bahkan mengharamkannya. Menilik sejarah, Nabi awalnya mengizinkan pernikahan ini, kemudian menghentikannya, lalu membolehkannya kembali, dan pada akhirnya melarangnya sampai kapan pun.

Sungguh singkat pintu ke dua mut’ah dibuka oleh Nabi pada saat Fatkhul Makkah, penaklukan kota Makkah. Tiga hari setelah mengizinkan, beliau melarangnya kembali. Ada kalangan yang memaknai pelarangan Nabi terhadap pernikahan ini bukan pembatalan terhadap hukum, melainkan penyesuaian terhadap kondisi mendesak atau darurat. Sahabat Rasulullah, Abdullah bin Abbas, menyampaikan bahwa kehalalan mut’ah hanya untuk keadaan darurat. 

Dalam suatu kesempatan, Abdullah bin Abbas mendengar banyak orang melakukan mut’ah berdasarkan fatwanya. Dia sangat terkejut dan menyampaikan: 

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun! Bukan seperti itu yang kumaksud dalam fatwaku. Sungguh aku tidak menghalalkannya kecuali sebagaimana Allah Swt. menghalalkan bangkai, darah, dan daging babi yang tidak dihalalkan kecuali bagi orang dalam keadaan darurat.”

Berbeda dengan ulama Suni, ulama Syiah menghalalkan pernikahan mut’ah dengan catatan negara ikut hadir. Menurut mereka, Nabi dulu membenarkan dan ini sebuah kebutuhan. Terkait dalam perjalanannya, beliau memutus yang pernah disetujuinya, itu soal lain. Payung legalitas itu pernah ada, kilah mereka.  Mereka tidak terima kawin mut’ah dipersamakan dengan melegalkan perzinaan yang dibungkus dengan syariah. 

Fenomena di Puncak

Sepulang umrah sekitar tahun 2010, saya dan jamaah turun dari pesawat, ganti naik bus sambil berdiri menuju Bandara Soetta, Jakarta. Dalam bus tersebut ada orang Arab masih muda mengenakan gamis lengkap dengan kopiah putihnya. Saya tersenyum kepadanya dan dibalas dengan keramahan pula. Saya tanya, “Mau pergi ke mana di Indonesia?” Ia menjawab dengan cepat, “Mau pergi ke Puncak.”

Ada salah seorang ibu yang melihat saya bercakap dengan pemuda tersebut bertanya ke saya, “Bicara apa tadi, Pak?”

Saya jawab, “Ia mau pergi ke Puncak, Bogor yang viral itu.”

Spontan seperti dikomando dalam paduan suara, jamaah ibu-ibu yang mendengarkan jawaban itu serentak berkata, “Haram! Haram!”

Jawaban ibu-ibu itu mirip teriakan petugas Masjidil Haram ketika mereka melihat laki-laki dan perempuan bergandengan tangan memasuki pintu masjid yang menjadi kiblat umat Islam itu. Padahal itu bisa jadi gandengan tangan antara suami dan istri, bapak dengan anak gadisnya, atau ibu dengan putranya. 

Mendengarkan jawaban “Pergi ke Puncak, Bogor”, ibu-ibu jamaah seolah-olah mendapatkan kesempatan mempraktikkan teriakan “Haram! Haram!”, yang tersimpan di memorinya dari petugas Masjidil Haram. Lelaki yang mendapatkan pekikan itu hanya tersenyum kecut.  

Kawasan Puncak, Bogor memang sempat menarik wisatawan mancanegara memburu kesenangan (mut’ah).  Berbekal duit cukup, mereka bisa menikahi wanita yang diinginkan. Konon pernikahan dilegalkan secara syar’i oleh aparat setempat. Hal yang menarik, para pencari istri sesaat ini kebanyakan bukan dari Iran, negeri para mullah yang menghalalkan mut’ah, tapi dari negara Arab yang lain. 

Akibat dari kondisi tersebut, kita bisa melihat secara kasat mata banyak anak-anak balita yang lahir dengan rambut keriting, hidung mancung, dan wajah ala Timur Tengah. Syukurlah sekarang telah terbit Peraturan Daerah Kabupaten Bogor yang melarang nikah jangka pendek tersebut. 

Beda Lagi dengan Nikah Siri

Nikah siri, seperti makna asal katanya “sirrun”, dilakukan dengan diam-diam dengan harapan beritanya tidak tersebar. Biasanya, praktik ini dilakukan ketika seorang laki-laki menikahi istri kedua untuk istri ketiga atau keempat. Berdasarkan aturan yang berlaku, pernikahan ini tidak mungkin dilegalkan pejabat KUA karena pernikahan kedua dan seterusnya harus mendapatkan izin dari istri sebelumnya.

Meskipun pernikahan siri tidak diizinkan secara legal fomal, namun saya menemukan di suatu daerah, pernikahan ini jamak dilakukan dan bukan menjadi sesuatu yang tabu. Meski istri pertama tahu dan berkonflik dengan suami, biasanya mereka akur kembali dalam waktu tertentu. Masalah serius yang yang muncul adalah anak yang lahir dari pernikahan ini tidak bisa mendapatkan akta kelahiran dan hak perlindungan.

Kasus di Pengadilan Agama (PA) banyak menyisakan cerita memprihatikan. Para hakim tidak berkutik menerima aduan para istri bersama anak-anaknya yang masih kecil ketika mereka ditinggal lari suami sirinya.

Para yuris tidak mampu berbuat apa-apa untuk membantu mediasi karena sang ibu tidak punya secarik kertas pun terkait legalitas perkawinannya. Dan secara tegas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) termaktub, bahwa anak sah hanya atas perkawinan yang sah. Anak hasil hubungan gelap hanya dinisbahkan kepada ibu (Pasal 100).

Nasib bocak-bocah itu menjadi yatim meski secara saintifik dapat dibuktikan dengan tes DNA (Deoxyribonucleic Acid) bahwa si kecil tersebut adalah keturunan biologis lelaki yang keseharian dipanggil ayah. 

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal anak jadah yakni anak hasil hubungan perzinaan dianggap sah sebagai anak lelaki yang menghamili. Keputusan ini sangat berani dan sungguh luar biasa, menyulut pro kontra. Namun sampai kini belum mempunyai kekuatan mengikat.

Sebelum Keputusan MK berlaku, negara perlu eksis melindungi warganya dari laki-laki yang lalai dari kewajibannya. Memang terkait waris pembagiannya berdasarkan dokumen resmi seperti akta nikah. Paling tidak pemerintah seharusnya memintakan hak terkait biaya hidup dan pendidikan Si buyung sampai remaja. 

Ijab Kabul Mudah

Peristiwa ijab qabul umumnya berlangsung dengan menegangkan. Seakan ada tuntunan yang mengharuskan mempelai laki-laki mesti sigap tatkala menjawab dari yang menikahkan. Ketika mengakhiri kalimat ijab, “Kunikahkan Ananda X bin Y dengan putriku yang bernama Z  dengan maskawin seperangkat alat shalat dan uang sebesar sekian rupiah dibayar tunai,” yang menikahkan langsung ditarik tangannya seraya dijawab secara cepat, “Kuterima nikahnya putri Bapak bernama Z  dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang sebesar sekian rupiah dibayar tunai.”

Mirip lomba cerdas cermat, pesertanya harus bisa menjawab pertanyaan dengan cepat. Apakah memang begitu tuntunannya? Apakah jawaban mempelai harus selengkap itu? Bahkan saya pernah mendengar ada yang bertanya, “Apakah jawaban mempelai laki-laki harus dalam satu tarikan nafas?”

Saya termasuk orang yang serius ketika ikut hadir menyaksikan akad nikah, berlangsung. Setelah mempelai laki-laki menjawab, “Saya terima nikahnya bla bla …” dan naib atau orang tua yang menikahkan bertanya, “Bagaimana? Sah?” saya biasanya langsung menyahut lebih dulu dengan berkata, “Sah!”

Bukan tanpa alasan saya melakukan kebiasaan itu. Saya teringat pengalaman saya pada waktu nikah dulu, ijab kabul diulang sampai tiga kali. Barangkali itu sudah maksimal atau naib (penghulu) yang menikahkan saya sudah menyerah dalam memberi kesempatan. 

Masalahnya, bukan saya kurang cepat sigap menarik tangan si naib dan menjawab penerimaan ijab, melainkan jawaban saya yang terasa singkat. 

Hal itu terjadi karena memang sejak awal saya tidak memakai bahasa Arab. Saya ingin memakai bahasa kita sendiri saja. Itu pun sudah saya sampaikan sebelumnya kepada naib tatkala beliau bertanya tentang bahasa yang digunakan dalam ijab kabul. 

Saya menjawab singkat, “Bahasa Indonesia saja.” Tak tahunya ketika ijab, naib langsung memakai bahasa Arab tanpa diterjemahkan lebih dahulu. Saya saat itu jadi gelagapan dan tidak mempersiapkan diri spontan menjawab singkat saja, “Qabiltu nikahaha” yang artinya, “Saya telah terima nikahnya.” Ya, cuma sependek itu. Mungkin sang naib tidak puas lantas diulang sampai tiga kali. Tetapi, jawaban saya tak kunjung bertambah panjang.

Di sela hening itu, pembawa acara sekaligus teman senior saya sendiri menimpali bahwa saya ini mubalig, jadi hanya pura-pura saja tak bisa menjawab dengan sigap.

Apakah sah jawaban saya yang pendek itu? Saya sempat ragu juga. Saya pernah mendengar cerita teman yang ketika menikahkan putrinya terkesan tidak serius. Sang bapak tersebut melontarkan pertanyaan kepada calon menantunya, “Apakah benar kamu mencintai anak saya?” 

“Benar, Pak!” jawab calon menantunya. 

“Ya, sudah, kamu ambil sebagai istri,” kata bapak itu. Singkat dan tuntas.

Pernikahan juga merupakan ibadah yang tidak ruwet, bahkan sangat sederhana. Walaupun gampang  tidak berarti meremehkan konsekuensinya. Menikah memiliki fungsi penting dalam Islam, dalam sebuah hadis  mengilustrasikan, menikah berarti seseorang telah menyempurnakan separuh agama. Dan hendaklah seseorang itu bertakwa kepada Allah pada separuh sisanya.

Mengingat pentingnya itu, Abdullah Ibn Mas’ud pernah berkata, “Andaikan waktu yang tersisa bagiku hanya satu malam maka satu hal yang ingin Aku lakukan pada malam itu ialah menikah.” 

Patut disayangkan saat ini masih banyak kebiasaan seputar pernikahan yang membuat ibadah ini terlihat ribet dan sulit, bahkan menyebabkan banyak pemuda memilih menundanya. Karena itu, membangun konstruksi budaya yang memudahkan ritual ini menjadi vital.

Kemudahan dalam pelaksanaan pernikahan ini seyogyanya juga perlu diimbangi dengan kuatnya pegangan dalam menuju sakinah, mawaddah, wa rahmah dalam pernikahan. Ada nilai tanggung jawab, saling menghargai, dan kerja sama (sinergi) dalam menjalani.

Perlindungan terhadap semua elemen yang dihasilkan melalui pernikahan ini juga perlu diperhatikan baik dalam lingkup komunitas tempat tinggal maupun legal formal dari negara, tak terkecuali anak yang nantinya akan melanjutkan estafet regenerasi dakwah. Semua itu untuk semakin memperkuat dalam beribadah kepada Allah dan memperlebar langkah menebar kebermanfaatan. (*)

sumber berita by [pwmu.co]

Author