Refleksi Hari Santri Nasional 2025, Santri Madinatul Ilmi SMA Muhammadiyah 1 Gresik ‘Muncak’ ke Puthuk Gragal, Siapkan Pemikir Merdeka

Featured2 Dilihat

GIRIMU.COM — Pagi itu, sinar matahari menembus lembah Puthuk Gragal di Desa Cembor, Kecamatan. Pacet, Mojokerto, Jawa Timur. Di puncaknya, puluhan santri berdiri tegak memegang spanduk bertuliskan “Ekspedisi Puthuk Gragal, MBS Madinatul Ilmi Putra SMA Muhammadiyah 1 Gresik.” Nafas mereka tersengal, namun mata mereka berbinar. Di ketinggian itu, mereka tak hanya menaklukkan alam, tapi sedang menapaki makna dari sebuah kata besar: santri!

Setiap 22 Oktober, gema takbir dan sholawat menggema dari bilik-bilik pesantren di seluruh negeri. Hari Santri Nasional (HSN) bukan sekadar peringatan, melainkan perenungan: sejauh mana pesantren menunaikan misinya sebagai rahim lahirnya penjaga moral bangsa, pembawa cahaya ilmu, dan pelanjut perjuangan ulama. Namun, di tengah semangat itu, ada pertanyaan yang perlu dibisikkan ke hati masing-masing: sudahkah kita benar-benar membebaskan pikiran santri dari ikatan feodalisme kultural?

Filosofi Gunungan dan Pendakian Santri
Gunungan yang menjulang di belakang para santri pada foto ekspedisi itu seolah menghadirkan simbol perenungan. Dalam filosofi Jawa, gunungan melambangkan perjalanan hidup manusia menuju puncak kesempurnaan dari lembah keraguan menuju puncak pengetahuan dan kebijaksanaan.

Pendakian bukan hanya soal fisik, tetapi perjalanan batin. Setiap langkah adalah tafsir dari perjuangan seorang santri: menapaki jalan ilmu dengan sabar, menahan diri dari godaan dunia, hingga akhirnya menemukan makna di puncak kesadaran. Gunungan juga menggambarkan harmoni antara bumi dan langit, antara ilmu yang membumi dan iman yang meninggi. Di sanalah pesantren memosisikan diri menjadi jembatan antara akal dan spiritualitas, antara realitas sosial dan nilai-nilai ketuhanan.

Maka, ekspedisi santri ke Puthuk Gragal bukan sekadar kegiatan alam. Ia adalah ziarah makna. Pendakian itu adalah metafora dari pencarian ilmu dan kemandirian berpikir, bahwa untuk sampai ke puncak, setiap santri harus berani melangkah, jatuh, bangkit, dan terus mencari arah.

Sejarah mencatat, bahwa pesantren adalah institusi pendidikan tertua dan asli milik Nusantara, lahir jauh sebelum republik ini berdiri. Ia menjadi benteng nilai dan moral, tempat ilmu agama bertaut dengan perjuangan kemerdekaan. Dari rahim pesantren lahir tokoh-tokoh besar, seperti Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Wahid Hasyim, ulama sekaligus pembaharu yang menembus sekat tradisi tanpa meninggalkan akar iman.

Namun, pesantren juga hidup dalam paradoks. Di satu sisi ia simbol pembebasan, di sisi lain masih menyimpan jejak feodalisme kultural. Pola kepatuhan yang nyaris absolut terhadap kiai sering  mematikan daya kritis santri. Padahal keimanan dan kepatuhan tidak semestinya menjadi alasan untuk membungkam nalar.

Feodalisme yang membeku dalam relasi guru dan murid bisa menjadi penjara halus bagi akal. Ia membuat santri takut berbeda pendapat, ragu bertanya, dan akhirnya tumbuh sebagai generasi penurut, bukan pencari. Padahal, pesantren sejatinya adalah taman tempat ilmu diperdebatkan dengan adab bukan tempat kebenaran dijaga dengan takut.

Akar Sejarah Hari Santri: Dari Resolusi Jihad ke Revolusi Akal
Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri bukanlah keputusan administratif semata. Ia berakar dari peristiwa monumental pada 22 Oktober 1945, ketika KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama mengeluarkan Resolusi Jihad.

Fatwa itu menyeru kepada seluruh santri dan umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan, melawan kembalinya penjajah Belanda. Seruan jihad fi sabilillah yang disuarakan dari pesantren-pesantren di Jawa Timur menjadi bara semangat pertempuran Surabaya 10 November.

Artinya, santri bukan hanya sosok yang duduk bersila di serambi mushala, tetapi juga pejuang yang menggenggam kitab di satu tangan dan bambu runcing di tangan lain. Semangat jihad itu bukan sekadar perang fisik, melainkan perlawanan terhadap penindasan dan ketertinggalan termasuk penindasan terhadap akal.

Maka, Hari Santri sejatinya adalah momentum untuk melanjutkan jihad intelektual: melawan kebodohan, kemalasan berpikir, dan kejumudan tradisi yang membungkam kreativitas.

Hari Santri seharusnya menjadi momen untuk menegaskan kembali makna santri itu sendiri. Santri bukan sekadar penghafal kitab kuning atau peniru nasihat kiai. Santri sejati adalah mereka yang mampu membaca zaman, menafsirkan realitas, dan menawarkan solusi berbasis nilai-nilai Qurani.

Merdeka berpikir bukan berarti bebas tanpa batas. Ia adalah keberanian untuk bertanya, menggugat, dan memperbaiki tanpa kehilangan adab. Santri yang kritis tetap tunduk pada hormat, tapi tidak menyerah pada kebodohan. Ia menghargai ulama, tetapi sadar bahwa ilmu Tuhan tidak berhenti pada satu kitab atau satu suara.

Bayangkan jika pesantren-pesantren di seluruh negeri menjadikan kemandirian berpikir sebagai kurikulum tersembunyi. Santri bukan lagi subjek yang diajar, tapi mitra dialog dalam pencarian makna. Diskusi tafsir dan fikih tidak berhenti di hafalan, tapi menembus ruang sosial membahas isu kemanusiaan, keadilan, teknologi, dan lingkungan. Di sanalah pesantren benar-benar hidup menjadi laboratorium kebangsaan yang memadukan iman dan nalar.

Dari Pesantren untuk Peradaban
Hari Santri Nasional 2025 adalah panggilan untuk menatap masa depan. Di tangan santri, masa depan bangsa ini bisa lebih beradab jika mereka tumbuh sebagai pemikir merdeka, bukan sekadar penghafal yang patuh. Dari pesantren, harus lahir pemimpin yang berani menimbang ulang sistem sosial yang timpang, bukan hanya mengaminkan status quo. Merdeka berpikir bukan bentuk pembangkangan terhadap tradisi, tapi jalan untuk menghidupkannya kembali. Sebab tradisi yang berhenti berpikir hanyalah fosil budaya.

Pesantren harus menjadi ruang di mana akal dan iman berdialog; di mana kitab klasik dibaca bersama data modern; di mana ulama dan ilmuwan duduk satu majelis. Dari situ lahir generasi santri yang mampu menulis kitab baru tentang kemanusiaan, keadilan, dan masa depan Indonesia.

Maka, di Hari Santri Nasional 2025 ini, mari kita rayakan bukan hanya dengan parade sarung dan nyanyian mars, tetapi dengan tekad membangun pesantren yang mencerahkan pesantren yang melahirkan pemikir, bukan sekadar pengikut. Pesantren yang menumbuhkan iman sekaligus keberanian berpikir.

Karena bangsa ini tak hanya butuh santri yang saleh, tetapi juga santri yang sadar yang mampu menyalakan obor akal di tengah gelapnya zaman. Dari pesantren, semoga benar-benar lahir pemikir merdeka, bukan sekadar santri yang patuh. (M. Islahuddin)

Author