Siswa Menulis : Pengalamanku – Infomu

Pengalamanku

Oleh : Riska Deviana

Hai, namaku Misyel Laurensi Novita. Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Kakakku bernama Akni laurelia dan adikku bernama Natasya Wilyanka. Kami tinggal bersama kedua orang tua  kami di kota. Papaku bernama Prapto dan mamaku bernama Prisca Syefira. Papaku mempunyai perusahaan ternama di kota itu. Aku sangat bersyukur karena memiliki keluarga yang sayang dan perhatian kepadaku. Meskipun dikenal sebagai keluarga kaya, kami tidak lupa bersedekah kepada anak yatim dan orang-orang yang kurang mampu. Jangan kalian kira kami ini orang yang sombong ya hahahha.
Pagi itu aku bangun untuk sholat subuh. Setelah selesai sholat subuh aku pergi mandi lalu ke dapur membuat sarapan.
“Eh, Non, mau ke mana?” tanya Bik Surti. Dia pembantu di rumahku.
“Mau ke dapur, Bik, bikin sarapan,” ucapku.
“Bibik sudah siapkan sarapannya di meja makan, Non,” ucap Bik Surti.
“Yah Bibik kebiasaan deh,” ucapku.
“Ini kan sudah jadi tugas Bibik, Non, nggak usah repot-repot lagi, sekarang Non makan ya,” ucap Bik Surti.
“Ya udah, Bik, makasih,” ucapku. Aku pergi ke meja makan lalu sarapan.
“Misyel, Natasya mana?” tanya mamaku.
“Enggak tahu, Ma, mungkin masih  tidur kali. Nanti biar Misyel bangunin siap sarapan.  Sekalian kakak. Dia juga belum kelihatan dari tadi,” ucapku.
“Kakak kamu sudah pergi sama kawannya entah ke mana. Nanti kamu berangkat  sekolahnya diantar sopir saja, enggak usah bawa mobil dan enggak usah banyak tanya,” ucap Mama.
“Ya udah, Ma,” jawabku dengan pasrah.
Setelah selesai  sarapan aku pergi ke atas ke kamarnya Natasya.
“Nat, Natasya, bangun! Udah jam tujuh ni, ayo bangun! Nanti telat sekolah,” ucapku.
“Lima menit lagi, Kak,” ucap Natasya.
“Langit, bisakah engkau tolong aku? Kenapa aku harus punya adik yang susah banget  dibangunin?!” suaraku cukup keras, sampai-sampai  papaku yang sedang sarapan di bawah mendengarnya.
“Ada apa, Misyel?” tanya Papa.
“Ini, Pa, Natasya susah banget dibangunin,” ucapku.
Natasha langsung bangun dari tempat tidurnya dan pergi ke kamar mandi setelah mendengar suara Papa.
“Memang suara Papa itu obat bangun tidurnya Natasya,” ucapku. Mama dan Bibik yang mendengar ucapanku tadi tertawa.

Setelah Natasya selesai  mandi dan sarapan kami pun berangkat ke sekolah diantar oleh supir. Pertama kami menuju sekolahnya Natasya. Dia sekolah di SMP Nusa Bangsa kelas VII. Setelah itu barulah supir mengantarku ke SMA 5, sekolahku. Sekarang aku duduk di kelas X. Setelah sampai di sekolah aku pun masuk ke kelas.
“Hai, Gaes, apa kabar?” tanyaku ke teman-teman.
“Hai juga, Misyel, kabarku baik. Bagaimana denganmu?” tanya Farel kembali. Dia temanku dari kecil.
“Aku baik,” ucapku. Tak lama kemudian bel pun berbunyi waktunya masuk untuk belajar.

Sekarang sudah pukul 10.35. Bel pun berbunyi ‘treeet … treeet …’ waktunya untuk istirahat. Aku pergi ke taman belakang sekolah. Aku duduk dan bersantai sebentar di sana. Tak lama kemudian bel pun berbunyi lagi ‘treeet’ tanda masuk kelas. Aku masuk dan belajar sampai pulang sekolah.

Setelah pulang sekolah dan sampai di rumah aku mengganti pakaianku. Aku pergi ke ruang keluarga, duduk di sofa sambil menonton TV.
“ Misyel udah pulang sekolah, ya?” ucap Mama.
“Iya, Ma,” ucapku.
“Adik kamu mana?” tanya Mama.
“Ada di kamar, Ma,” jawabku.
“Eh, kamu ada liat kakak kamu, nggak? Soalnya Mama punya feeling yang buruk tentang kakak kamu,” ucap Mama.
“Enggak, Ma, mungkin itu cuma perasaan Mama aja,” ucapku  sambil menonton TV. Mama pun  pergi tanpa berkata apa-apa.
Malam harinya  kakakku belum juga pulang. Mama menunggu kakak pulang  di teras depan rumah sambil berjalan bolak-balik karena khawatir dengan kakak.
“Nat, kamu telpon Papa, suruh pulang.  Kasihan Mama tuh,” ucapku.
“Kakak Akni ke mana sih belum pulang-pulang?” ucapnya Natasya.
“Iya, kalau kakak tahu Kak Akni di mana pasti bakalan kakak cari dan enggak diam di sini. Sudah, kamu telpon Papa aja sana!” ucapku dengan wajah yang khawatir.
“Iya, kakak Misyel yang cerewet,“ ucap Natasya.
Tak lama kemudian Papa pun pulang
“Akni belum pulang juga sampai sekarang?” tanya Papa.
“Belum, Pa, aku juga udah menelpon hapenya tadi. Enggak aktif, Pa,” jawabku.
Papa langsung memanggil anak buahnya dan pergi mencari Kak Akni. Aku, Mama, dan Natasya menunggu di rumah. Setelah sekian lama kami menunggu Papa pun pulang, dan membawa kabar bahwa tadi siang ada pencurian gadis usia remaja di sekolah. Salah satu pencuri itu sempat ditangkap oleh warga, namun sayangnya berhasil melarikan diri. Teman Kak Akni yang berhasil  kabur dari penculikan itu yang memberi tahu Papa. Mama yang mendengar kabar itu langsung  pingsan. Kami membawa Mama ke rumah sakit.
“Dokter, bagaimana keadaan Mama?” tanyaku ke Bu Dokter.
“Mama kamu baik-baik saja,  cuma perlu istirahat dan enggak boleh terlalu banyak  pikiran. Sekarang  sudah bisa pulang, tapi tunggu saya bikin resep obatnya dulu,” ucap Bu Dokter.
“Baik, Bu Dokter, terima kasih,” ucapku.
Akhirnya Mama pun bisa pulang ke rumah.
“Misyel, Natasya, kalian jaga Mama, ya, Papa mau  pergi ke kantor polisi,” ucap Papa.
“Baik, Pa,” jawabku dan Natasya  dengan serentak.

Seminggu kemudian  kakakku belum juga ditemukan.  Papa bilang setahun yang lalu juga ada penculikan  gadis. Mereka mencuri anak-anak usia remaja untuk dijual ke luar kota. Penculiknya berhasil ditangkap di Desa Ciloka. Di desa itu ada saudaraku yang bernama Tante Heny. Papa berencana mencari kakak di sana dan aku juga ikut. Natasya tidak ikut karena menjaga Mama.
Aku pergi ke Desa Ciloka bersama Farel karena sebelumnya aku bertemu Farel. Dia juga mau pulang kampung untuk menemui neneknya.
Sesampainya di sana aku langsung pergi ke rumah Tante Heny, sementara Farel pergi ke rumah neneknya. Aku bertemu Om Juan. Dia suaminya Tante Heny.
“Eh, kamu anaknya Pak Prapto yang punya perusahaan di kota itu kan? “ tanya Om Juan.
“Iya, Om, aku Misyel, Om. Masih ingat aku kan?” ucapku.
“Oh iya, Misyel, papa sama mama kamu mana? Kamu sendiri?”
“Nanti papa menyusul, Om. Tadi aku pergi sama Farel.”
“Oh, masuk dulu.”
“Eh, Misyel, keponakannya Tante tumben ke sini?” tanya Tante Heny.
“Jadi begini, Om, Tante,” aku menceritakan apa yang terjadi. Kemudian, aku dan Papa tinggal di desa untuk beberapa saat.
Keesokan harinya aku dan Farel diajak Rifki mengelilingi desa. Rifki adalah anak Tante Heny. Aku melihat ada sawah, aku pun berjalan ke sana. Di sana aku tergelincir jatuh ke sawah. Kakiku masuk ke dalam lumpur, pakaianku jadi kotor, bahkan wajahku juga terkena lumpur.
“Ihhh jorok!” teriakku karena tidak tahan dengan lumpur. Ada seorang cewek seusiaku yang menertawakanku. Karena kesal, aku langsung pergi pulang ke rumah Tante Heny untuk mandi. Sementara itu Papa pulang kembali ke kota karena ada pekerjaan yang sangat penting dan harus diselesaikan secepatnya.
Keesokan harinya, Rifki mengajakku pergi ke sungai. Saat kami sedang berjalan Rifki  memegang tanganku agar tidak terjatuh lagi. Tiba-tiba ada cewek yang kemarin menertawakanku datang dan menjauhkanku dari Rifki.
“Kamu siapa? Enggak usah deket-deket Rifki!” ucap cewek itu.
“Dia keponakannya mamaku,”ucap Rifki.
“Dia siapa?” tanyaku  kepada Rifki.
“Dia anak kepala desa sini, namanya Gledis. Udahlah, nggak usah diladenin. Ayo, kita pergi!” ucap Rifki sambil menarik tanganku.
“Rifki!” teriak Gledis.
Aku dan Rifki langsung pergi ke sungai tanpa berkata apa-apa.
Sampai di sungai, aku melihat pemandangan yang sangat indah. Airnya mengalir dan sangat jernih. Udaranya juga sangat segar. Aku tidak pernah melihat pemandangan seindah ini dan udara yang sangat segar rasanya. Aku ingin tinggal di sini. Aku duduk di pinggir sungai dan memasukkan kedua kakiku ke dalam air sungai. Di saat aku sedang menikmati pemandangan, tiba-tiba Farel datang.
“Misyel, kamu lupa tujuan kamu ke sini untuk apa,” ucap Farel.
“Enggak, Farel, aku nggak lupa. Aku mengelilingi desa ini sekalian mencari tahu keberadaan kakak Akni. Kamu kok bisa tahu aku di sini?”
“Aku yang memberitahu Farel” ucap Gledis yang tiba-tiba muncul.
“Rifki, Gledis!” ucap seorang cewek yang berjalan mendekati kami bersama seorang cowok.
“Kalian!” ucap Gledis.
“Mereka berdua siapa?” tanya cowok itu.
“Mereka orang asing yang bikin keributan,” ucap Gledis.
“Dia keponakan mamaku dan yang satu lagi itu temannya. Mereka berasal dari kota” ucap Rifki.
“Oh anak kota, kenalin namaku Citra,” ucap cewek itu.
“Hai, kenalin namaku Roni,” ucap cowok itu.
“Iya, salam kenal, namaku Misyel,” ucapku.
“Dan aku Farel, temannya Misyel,” ucap Farel.
Di saat sedang berbicara kami mendengar suara orang berteriak minta tolong di kejauhan. Suara itu terdengar dari dalam hutan.
“Eh, ada suara dari sana, ayo kita lihat!” ucap Roni.
“Eh jangan, itu hutan bahaya loh!” ucapku.
“Udah, tenang aja,” ucap Rifki.
Mereka berjalan ke arah hutan.
“Heii tunggu!!” ucapku sambil berjalan bersama Farel.
“Hei, orang kota, ini bukan rumah kamu ya! Kamu bukan siapa-siapa di sini, jadi kalian nggak usah ikut campur. Kalian enggak punya hak untuk mencegah Rifki, Citra, dan Roni. Ngerti?!” ucap Gledis.
“Heh, cewek kampung, kamu siapa sih? Ganggu tahu nggak!” ucapku dengan nada yang sedikit tinggi.
“Anak kepala desa, pemimpin Desa Ciloka ini!” ucap Gledis dengan wajah yang tampak sombong.
“O yah? Kamu kira aku bakal takut? Enggak ya! Aku, aku Misya. Kenalin, aku keponakannya Tante Heny yang kaya raya. Besok aku bakal beli jabatan orang tua kamu!” ucapku.
Gledis pergi meninggalkan kami tanpa berkata apa-apa. Aku dan Farel juga pergi mengejar Rifki dan teman-temannya.
Di saat kami sedang berjalan, kami melihat Rifki dan teman-temannya bersembunyi di balik semak-samak, dan di depan mereka ada lima orang laki-laki bertopeng, dan ada juga enam orang cewek dengan wajah ditutup pakai kain dan tangan mereka diikat dengan tali. Aku dan Farel langsung bersembunyi di balik pohon.
“Rifki, Rifki, kalian ngapain?” ucapku dengan suara yang pelan.
Rifki melihatku dan berkata, “Jangan berisik, sembunyi saja di situ.”
“Eh, lihat, salah satu cewek itu memakai tas. Tas itu bukannya kayak tas Kak Akni ya?” ucap Farel.
“Oh iya, aku yakin itu Kak Akni,” ucapku.
Aku langsung menelpon Papa. Aku memberi tahu kalau aku melihat penculik dan sepertinya Kak Akni juga ada di situ.
“Kita tunggu papaku datang bersama anak buahnya,” ucapku.
“Dasar bego, telpon polisi!” ucap Gledis yang tiba-tiba muncul.
“Jangan berisik!” ucap Roni.
“Siapa di sana?” ucap salah satu laki-laki yang memakai topeng.
Laki-laki itu mendekati kami. Kami bertiga diam-diam  pindah dari tempat itu, dan pergi ke tempat yang lebih aman.
“Hei, kalian bertiga, ngapain di situ?!” ucap laki-laki bertopeng yang mendekati tempat kami tadi.
“Kita ketahuan!” ucapku.
“Bukan kita, tapi Citra, Roni, sama Rifki,” ucap Farel.
Laki-laki bertopeng itu langsung menangkap mereka, tapi mereka melawannya, sehingga terjadi perkelahian.
“Farel, kamu pandai silat kan?” ucapku.
Farel langsung datang menolong mereka, sementara itu aku dan Gledis  diam-diam berjalan ke arah cewek-cewek itu. Kami membuka tali dan penutup muka mereka.
“Kak Akni!” ucapku saat melihat Kak Akni.
“Misyel!” ucap kak Akni dan langsung memelukku.
“Hei, kalian, berani sekali kalian” ucap si laki-laki bertopeng.
Aku melihat Rifki, Farel, Roni, dan Citra sudah diikat pakai tali.
Tiba-tiba Papa datang bersama anak buahnya dan juga polisi. Para pencuri itu kabur, namun berhasil ditangkap oleh polisi. Semua sandera selamat. Untung Papa dan polisi datangnya tepat waktu. Kalau tidak, entah apa yang terjadi.
“Oh, jadi ini kakak kamu? Maaf ya, tadi aku sempat mencegah kalian,” ucap Gledis.
“Iya, ini kakakku. Soal yang tadi enggak apa-apa. Aku juga minta maaf,” ucapku.
“Farel, Rifki, semuanya makasih ya, sudah membantu menyelamatkan Akni,” ucap Papa.
“Iya, Om, sama-sama,” ucap Rifki, Roni, dan Citra serentak.
“Pah, Papa dan Kak Akni pulang saja duluan ke kota. Aku masih ingin tinggal di sini. Semakin hari aku semakin suka dengan desa ini,” ucapku.
“Eh jangan, nanti kamu jatuh dan kena lumpur lagi hahaha …,” ucap Farel sambil tertawa.
“Iya, entar kena lumpur lagi loh haha …,” ucap Gledis sambil tertawa.
“Enggak kok, itu kan kemarin,” ucapku dengan tersenyum.
“Kakak sudah kangen banget sama Mama dan Natasya,” ucap Kak Akni.
“Mama juga kangen sama kakak, oiyah mereka siapa?” tanyaku.
“Mereka teman-teman kakak. Ya udah, kakak dan teman-teman kakak kembali ke kota dulu ya. Kamu jaga diri di sini,” ucap Kak Akni.
“Siap, Bos,” ucapku.
Akhirnya kasus tentang penculikan itu selesai. Aku, Kak Akni, dan keluargaku berkumpul bersama lagi. Ternyata desa itu lebih menyenangkan dibanding kota. Di desa aku belajar bagaimana caranya hidup sederhana dan tidak sombong. Aku juga bisa bermain dengan teman-teman  baru di desa. (***)

*** Riska Deviana, Siswa MTsN 1 Sabang

sumber berita dari infomu.co

Author