OLEH SUDARMAN SUPRIYADI — Peminat Literasi dan Sosial-kegamaan
BANDUNGMU.COM – Bagi sebagian besar orang Sunda, menonton wayang golek merupakan sesuatu hal yang dinanti–setidaknya medio 1990-an ketika wayang golek masih berjaya.
Apalagi kalau dalangnya Ki Asep Sunandar Sunarya, dipastikan penonton akan membludak karena nama dalang asal Kampung Giriharja, Baleendah, Kabupaten Bandung, ini jaminan kualitas pagelaran wayang golek yang sesungguhnya.
Terlepas dari adanya sebagian kecil orang tidak suka wayang, bahkan ada yang sampai mengharamkannya, tetapi wayang tetap saja menjadi media atau corong untuk mengkampanyekan sesuatu hal, termasuk dakwah Islam, yang terbilang efektif.
Kenapa? Karena dalam pertunjukan wayang, sekali lagi, ambil contoh dalang Asep Sunandar Sunarya, selalu ada muatan dan pesan dakwah.
Ki dalang Asep sangat ciamik mengemas pesan-pesan agama dengan tentu saja menggunakan bahasa Sunda yang merakyat dan mudah dipahami. Namun, kadang-kadang juga tegas blak-blakan kalau menyangkut satu isu yang berkaitan dengan masyarakat.
Satu soal yang menarik yakni dalam pertunjukan wayang, biasanya lewat tokoh punakawan seperti si cepot, Asep menyampaikan pesan-pesan dakwah yang pas di kalangan masyarakat. Prinsipnya wayang itu harus menjadi tuntuan di samping tontonan bagi masyarakat.
“Anjing paéh ngan saukur bilatungan, tapi mun jelema nu paéh, salian ti bilatungan, ogé bakal papanggih jeung balitungan.”
Artinya kurang lebih: “Anjing mati hanya sampai dikerubungi belatung, tapi saat manusia meninggal, selain dikerubuti belatung, juga akan bertemu dengan hari perhitungan.”
Pesan seperti itu sangat dalam maknanya bagi seorang muslim, khususnya, karena memang manusia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya selama di dunia.
Bukan sekadar meninggal kemudian dimakan belatung. Tidak berhenti di situ. Itulah yang harus disadari dan dipahami seorang muslim.
Ki Asep Sunandar Sunarya yang pernah menjadi dosen terbang di Perancis dan negara Eropa lainnya, sangat piawai menyampaikan pesan-pesan kebaikan dengan sempurna.
Bahkan dalam pesan-pesan agama bentuk lain, Ki Asep lebih sufistik. Padahal hal disampaikannnya materi kebaikan biasa, tetapi dikemas dengan bahasa yang baik dan populer–tentu saja diselingi canda.
Itulah salah satu yang membedakan Asep dan dalang-dalang yang lain. Oleh karena itu, tidak salah kalau dalam satu pertunjukan, Ki Asep mengatakan bahwa antara ”ngawayang” dan ”ngadalang” itu beda. Dua hal yang berbeda, tetapi dalam satu acara.
”Ngawayang” itu artinya dalang menjalankan kurikulum wayang yang di dalamnya ada antawancana, sabet, dan sebagainya. Di dalam wayang juga ada negara. Di dalam negara itu tentu saja ada sistem politik, ekonomi, agama, dan sebagainya.
Sementara ”ngadalang” itu artinya dalang harus berperan sebagai sutradara, sebagai aktor, sebagai penceramah, dan sebagai-sebagai yang lainnya. Artinya, pesan-pesan agama juga menjadi sesuatu hal yang “wajib” disampaikan oleh dalang kepada penonton.
Kalau dilihat dari sisi tersebut, lalu di mana letaknya wayang itu haram dan harus dimusnakan?
Seandainya wayang dimusnakan, maka akan ada beberapa hal yang akan ikut hilang juga. Misalnya sinden akan hilang, rakyat akan kehilangan media hiburan, pedagang asongan yang biasa mangkal di lokasi pertunjukan akan hilang, begitu juga dengan perajin wayang.
Kembali lagi ke pesan agama dalam pertunjukan wayang golek. Pesan-pesan kebaikan dan nilai-nilai agama bisa disampaikan lewat media mana saja, termasuk melalui wayang.
Wayang menjadi media yang ideal untuk menyampaikan sesuatu kebaikan melalui lisan dalang dengan karakter tokoh yang dimainkan—bisa dengan si cepot atau punakawan lain.
Inspirasi Wali Songo
Bahkan Ki Asep sering melalukan improvisasi dalam pertunjukannya sebagai upaya adaptasi dan apresiasi terhadap perkembangan zaman. Termasuk juga di dalamnya cara menyampaikan pesan-pesan kebaikan.
Jadi, antara wayang dan dakwah, bisa dipadukan dan saling bantu. Budaya dan kesenian bisa menjadi media untuk transfer pesan-pesan kebaikan. Apa pasal? Wali Songo saja memakai media wayang untuk berdakwah.
Kalau memang kita tidak suka terhadap wayang golek, misalnya, ya jangan ditonton saja. Biarkan wayang berjalan sendiri dalam rel budaya dan kesenian. Tidak perlu divonis dengan macam-macam jenis vonis yang membuat kontroversial.
Namun satu yang pasti bahwa pertunjukan wayang golek, sekali lagi, bisa menjadi salah satu media yang tepat untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai sesuatu hal, termasuk pesan-pesan agama.***