Oleh M. Islahuddin
GIRIMU.COM — Penghapusan Ujian Nasional (UN) beberapa tahun lalu menjadi tonggak penting dalam sejarah pendidikan Indonesia. Keputusan ini disambut dengan beragam tanggapan. Ada yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk kemerdekaan belajar, namun tak sedikit yang menganggapnya meninggalkan kekosongan dalam sistem evaluasi nasional.
Tanpa UN, sekolah kini memiliki kewenangan lebih luas untuk menilai capaian siswanya. Namun, di sisi lain, absennya standar nasional menimbulkan tantangan baru. Setiap sekolah menetapkan ukuran keberhasilan yang berbeda-beda, sehingga hasilnya sering tidak seimbang.
Hal ini juga berdampak secara internasional. Beberapa universitas di luar negeri, seperti di Belanda dan Jerman, mengaku kesulitan menilai kemampuan akademik siswa Indonesia, karena ketiadaan tolok ukur yang seragam. Alhasil, banyak lulusan SMA dari Indonesia harus mengikuti kelas persiapan tambahan sebelum diterima di perguruan tinggi luar negeri.
“Bukan karena siswa kita kurang pintar, tetapi karena sistem kita belum memiliki ukuran yang benar-benar bisa dipercaya,” ujar salah satu pengamat pendidikan yang penulis kutip dari Malaka Projek.
Tes Kemampuan Akademik: Upaya Menata Ukuran Baru
Untuk menjawab kebutuhan tersebut, pemerintah berencana menerapkan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai salah satu syarat dalam Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) mulai tahun 2026. TKA diharapkan menjadi instrumen baru yang lebih adil dan kredibel dalam menilai kemampuan siswa secara nasional.
Ide dasarnya sederhana: seleksi masuk perguruan tinggi tidak lagi semata bergantung pada nilai rapor, yang belum tentu sebanding antarsekolah. Dengan TKA, siswa dinilai berdasarkan kemampuan berpikir kritis, penalaran, dan literasi yang lebih objektif.
Namun, sebagaimana diingatkan banyak praktisi pendidikan, pembenahan sistem tidak cukup berhenti pada penambahan tes baru. Yang perlu dibenahi bukan hanya cara menguji, tetapi juga cara belajar dan cara mendidik.
SMA Muhammadiyah 1 Gresik Adaptif Menyambut TKA
Menyikapi arah kebijakan baru ini, SMA Muhammadiyah 1 Gresik (Smamsatu) menunjukkan langkah proaktif dengan mengintegrasikan Tes Kemampuan Akademik internal dalam sistem evaluasinya.
Pelaksanaan TKA di Smamsatu tidak hanya bertujuan mengukur kemampuan akademik siswa, tetapi juga membentuk pola pikir analitis dan kritis. Soal-soal yang digunakan menuntut penalaran, pemahaman konsep, serta kemampuan memecahkan masalah kontekstual sejalan dengan semangat Merdeka Belajar yang digagas pemerintah.
Kepala Sekolah Smamsatu, Nurul Ilmiyah, dalam wawancaranya, menyampaikan, Tes Kemampuan Akademik ini bukan sekadar ujian. Ia adalah bagian dari pembiasaan berpikir logis dan kreatif.
“Kami ingin murid tidak hanya siap menghadapi TKA nasional, tetapi juga siap menghadapi tantangan zaman dengan akhlak dan kecerdasan,” ujarnya.
Selain aspek akademik, Smamsatu tetap menekankan pembinaan spiritual dan karakter melalui kegiatan sholat Dhuha berjamaah sebelum mengerjakan TKA, mentoring, serta penguatan nilai-nilai Al-Islam dan Ke-Muhammadiyahan. Dengan demikian, pendidikan di Smamsatu tidak hanya melahirkan siswa cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara moral dan sosial.
Pendidikan Berkemajuan: Antara Ukuran dan Nilai
Ketiadaan Ujian Nasional sesungguhnya membuka peluang baru untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih manusiawi dan adaptif. Namun, keadilan pendidikan tidak akan tercapai hanya dengan mengganti sistem ujian. Ia memerlukan perubahan paradigma: dari sekadar mengukur hasil belajar menuju menumbuhkan cara berpikir dan karakter belajar yang berkelanjutan.
Apa yang dilakukan SMA Muhammadiyah 1 Gresik menjadi contoh nyata semangat pendidikan berkemajuan yang diusung Muhammadiyah yakni pendidikan yang memadukan ilmu, iman, dan amal.
“Pendidikan tidak hanya soal skor, tapi soal membentuk manusia yang berilmu dan berakhlak,” tutup Kepala Sekolah Smamsatu.
Dengan hadirnya TKA sebagai ukuran baru, dan dengan kesiapan sekolah-sekolah seperti Smamsatu yang berinovasi, harapan untuk membangun pendidikan nasional yang adil, kredibel, dan berkarakter semakin terbuka lebar. (*)
*) M. Islahuddin, Guru di SMA Muhammadiyah 1 Gresik.







