Adakah Kesenian Kita: Memaknai Peristiwa dalam Pertemuan
Oleh : Hafidz Ta’adi
(Festival Teater Se Sumatera Utara I : Catatan penutup; “Festival Teater Anak Durhaka” – Di Teater Keong Taman Budaya Sumut 25 – 26 – 27 Feb 2022)
Tak ada peran yang kecil, kecuali aktor yang kerdil ! (Film Sejuta sayang Untukmu). Makna dan pertikaian kalimat tertulis miring itu dimaknai secara bijaksana. Kalimat itu juga mempertanyakan tentang kredibilitas. Yang harus dilakukan secara sungguh-sungguh dalam perlakuan merawat pikiran (Technical), Rasa yang bersentuhan dengan batiniah (Intuitif).
Persoalan kedua kubu itu bila tidak mampu diselesaikan secara baik oleh aktor akan menjadi sebuah Bumerang. Senjata yang akan membunuh para tuannya sendiri, para (aktor – aktris) diatas panggung. Persoalan tersebut juga menjadi tanggung jawab yang besar bagi para Sutradara. Aktor dan Sutradara secara bersama-sama akan menghadapi ‘gelanggang pertempuran’nya itu.
Gelanggang itu juga akan bertambah ramai dengan kehadiran para penata (artistik, tata cahaya, penata musik, make-up dan element pendukung lainnya selama proses dimulai dan berlangsung.) Kehadiran seluruh elemen yang ada bukan sebatas penguat terhadap konsep-konsep para Sutradara dan para Aktor saja. Tetapi elemen yang ada ikut dan melebur dalam konsep dibalik panggung. Tidak sebagai hanya pendamping. Tetapi Ikut bermain serta kawin dengan konsep memperkuat pergelaran. Tidak hanya sebagai hiasan dan pelengkap belaka.
Ego dan Super Ego seluruh pekerja akan menjadi musuh utama yang paling berbahaya. Memiliki kemampuan yang sangat besar m e n j u n g k i r k a n
p a n g g u n g yang kokoh dan misterius itu. Jangan pernah ber-harap Dewi Fortuna datang menghampiri.
Selanjutnya perkembangan seni teater Nusantara sangat di pengaruhi oleh keadaan situasi politik, pergerakan, ideologis, kritik, dan peristiwa-peristiwa lainnya menjadi gagasan-gagasan yang membentuk bangunan cerita atau naskah yang diusung keatas panggung-panggung teater.
Teater Kontemporer Indonesia Perkembangannya, memungkinkan diekspresikan dan nilai-nilai artistiknya diperkuat oleh unsur-unsur kekuatan lokalitas budaya di wilayah masing-masing dengan gaya dan kekhasan masing-masing konsep senimannya. Perwujudan ekspresi itu kemudian direkayasa serta dibalut secara artistik, logika, imajinasi para kreator yang ber-kolaborasi dibalik layar panggung-panggung teater dengan keunikannya masing-masing.
Sejak tahun 1980-an di Sumatera Utara hingga Panggung Besar Teater Indonesia . Konsep-konsep dan gaya yang dianggap baru bermunculan.(Dalam berbagai tema. Dengan berbagai pencaharian bentuk.) Seni teater konvensional tidak pernah mati dan teater eksperimental terus tumbuh dan berkembang mencari jati dirinya.
Bahkan ciri-ciri ke-modern-an-nya ; alurnya terkadang tak membutuhkan konflik lagi. Bahkan para penggagas dan para aktornya melakukan ekspansi, keluar dari frame panggung-panggung Prosenium. Panggung tak harus digedung pertunjukan. Terbentuk dimana ia suka dalam penyesuaian konsep. Boleh di pasar induk, taman dengan segala kebutuhan dan sentuhan artistik. (Perwujudan Konsep “Baru”, yang perlahan meninggalkan atribut konvensional. Semangat mewujudkan bentuk kekinian. Memerdekan ‘diri’nya dari struktur atau aturan-aturan logika konvensi).
Bila dicermati secara seksama. Pola tersebut sudah terbentuk di teater tradisional kita. Tata-cara itu telah lebih dulu digunakan di mana teater tradisional lahir di lingkungan yang sangat dekat dengan masyarakatnya. Hadir ditengah-tengah masyarakat. Dimana ruang-ruang yang terbentuk memiliki kemerdekaannya sendiri. Tanpa terbebani oleh segala macam teori yang berkaitan dengan hukum-hukum panggung.
Pertunjukan serta gaya yang dianggap memiliki nilai kekinian yang dipuja itu punya kemiripan, seolah-olah kembali kemasa lalu dan telah dilakukan oleh teater tradisional Indonesia, seperti; wayang kulit, wayang wong, ludruk, lenongan, randai, drama gong, arja, ubrug, atau ketoprak Dor. (Bermain di wilayah keramaian masyarakat. Berfungsi sebagai hiburan.Kedua poros itu saling membutuhkan. (Penggagas dan masyarakat penonton.)
Teater Modern, menjadi sebuah penamaan atas kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan (transisi) karena pengaruh kebudayaan lain yang ter-adopsi dari masyarakat urban atau kebudayaan global masyarakat dunia.
Sementara kelompok teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater barat, dinamakan teater bangsawan (bergulir pada zamannya.). (Kebutuhan tontonan kaum feodal, berbatas sangat kontras dengan sebutan untuk rakyat jelata yang tak memiliki kasta itu).
Unsur Cerita untuk pertunjukan sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud cerita ringkas (dibentuk dalam narasi atau plot) atau outline story (garis besar cerita per adegan). Cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi akan mengingatkan kita kepada teater-teater yang menjadi tontonan para kaum bangsawan (Zaman Elisabhetan).
Pertunjukan-pertunjukan yang digelar mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan.(Konsep-konsep Scenography, tata cahaya, pola dasar pembagian hukum-hukum panggung, serta unsur pendukung lainnya.)
Pada periode transisi inilah, teater tradisional yang bermula sangat dekat dengan kehidupan masyarakatnya, mulai berkenalan dengan teater non-tradisi.
Dengan sendirinya perkembangan itu tetap memiliki titik lonjak terhadap sebuah perkembangan dan keinginan-keinginan zaman. Kecerdasan tentu akan terus berkawan dengan kreatifitas. Hal itu berlaku menjadi hukum alam dan kebutuhan zaman. Kemasyuran Yunani yang kemudian ber-alih atas melejitnya pemikiran akan sebuah perubahan.
Kiblat kebudayaan ber-ubah, menyerahkan estafet terhadap kemolekan yang baru terhadap poros seni Romawi. Jejak-jejak itu kemudian memjadi pola dan terbentuknya gerakan Humanisme. Periode itu bergerak karena tuntutan zaman dan peradaban atas pertumbuhan pesatnya kecerdasan melahirkan kebudayaan baru. Seperti halnya dua tokoh yang berbeda aliran dipanggung teater dunia;
(Jerzy Grotowski dengan pola konsep “Teater Miskinnya”, Tak pernah Menyebal terhadap realisme dari konsep-konsep Stanislavsky). Masing-masing bergerak sendiri dengan integritasnya dan saling menghormati atas konsep yang dilahirkan begitu cepat dan pesat.
Stanislavsky, memusatkan diri pada metode pelatihan akting dengan pencarian laku secara psikologis. Dalam tulisannya yang terkenal The Method, ia berusaha menemukan akting realis yang mampu meyakinkan penonton bahwa apa yang dilakukan aktor adalah yang sebenarnya terjadi.
Pada prinsipnya aktor harus memiliki kondisi fisik yang prima, fleksibel, aktor harus mampu mengobservasi kehidupan, aktor harus menguasai kekuatan psikisnya, aktor harus mengetahui dan memahami tentang naskah lakon, aktor harus berkonsentrasi pada imaji, suasana, dan intensitas panggung, dan aktor harus bersedia bekerja secara terus menerus serta serius mendalami pelatihan demi kesempurnaan diri dan penampilan perannya.
Sementara Jerzy Grotowski, melonjak dan melakukan sebuah lompatan dari sudut konsep dan pemikirannya yang lain. Jerzy muncul terlebih ketika kehadiran teknologi lewat media film dan televisi yang kemudian juga merambah ke dalam dunia teater, terutama melalui penataan cahaya, penataan musik, juga tata setting, justru menciptakan kemegahan artistik yang berlebihan. Penyatuan antara aktor dan penonton dalam sebuah peristiwa teater yang diyakininya sebagai jantung teater tidak terjadi secara alami. Grotowski berpendapat ini awal dari keruntuhan teater.
Melalui kerja-kerja riset artistik yang mendalam (Jerzy) merevitalisasi kaidah-kaidah dasar teater melalui kekuatan para aktor-aktornya. Yang membuat pementasan teaternya sangat berbeda dengan menonton televisi adalah pertemuan langsung antara aktor dan penonton.
Ketika pertemuan ini terjadi, seorang aktor melalui media otot-otot wajah dan tubuhnya harus mampu menunjukkan ekspresi kemanusiaannya yang paling dalam. Menurutnya, teater tidak mengenal batas antara aktor sebagai individu dengan penonton yang kolektif.
Proses adalah pembentukan diri keduanya terjadi. Proses ini dapat terjadi apabila aktor mampu mentransformasikan naskah atau maksud dari peristiwa, sehingga yang terjadi bukan hanya pikiran, tetapi terkait dengan tubuh dan reaksi fisik serta visual memori untuk melakukan tindakan konkret.
Proses ini dikatakan berhasil, apabila penonton dapat merefleksikan, secara imajinatif merasakan, apa yang dialami oleh para aktor diatas panggung. Mampu mengalirkan kekuatan imajinasi. (Persoalan ‘Panggung’ adalah wilayah tanggung jawab para sutradara, aktor-aktris dan para penata yang bekerja mengumpulkan konsep serta imajinya yang saling kait-mengait seperti mata rantai yang tak dapat diputus oleh benda ‘pemotong’ apapun.) Menjadi pertanggungjawaban moral bersama. Di karenakan kubu-kubu itu masing-masing sedang menciptakan karya atas kecerdasan imajinasinya.
Dalam proses laboratorium itu, Grotowsky menggunakan teknik via negativa, dimana teknik ini lebih memfokuskan seluruh otoritas pada aktor. Yang kemudian disebutnya; (Via Negativa) dibuat untuk menghilangkan hal-hal yang berlebihan dari teater dan fokus pada inti dari bentuk seni, yaitu aktor.
Proses kedalaman ekspresi jiwa dari seluruh perangkat yang dimiliki para aktor (self-penetration), mau mengorbankan dirinya dan tidak untuk dipopulerkan, para aktor punya keharusan mengalami proses kedalaman ekspresi jiwa aktor yang melibatkan teknik via negativa.
Teknik via negativa ini adalah sebuah teknik penghilangan jiwa dari keberadaannya dalam proses psiko-fisik ketika bermain (memainkan) sebuah perannya diatas panggung teater yang banyak menyimpan ‘ranjau-ranjau’, ruang-ruang gelap misterius yang mau tidak mau harus ‘dimasuki, dikuasai’ secara detail, dengan kesadaran intensif dan dibersihkan ketika seluruh pekerja panggung itu berada diatas pundak panggung.
(Tentu persoalan-persoalan diatas menjadi PR bagi seluruh pekerja panggung dalam melakukan pendekatan kearah konsep yang ditawarkan. Konsep-konsep dan persoalan lainpun akan juga muncul dengan ‘Kiblat’ atau gaya teater yang akan dihadirkan dihadapan para penontonnya.)
“Festival Teater Anak Durhaka”, (FTAD) 2022 untuk sementara waktu menabur sebuah sinyal terhadap iklim yang akan disuburkan kembali. Menawarkan sebuah konvensi teater yang dianggap sudah uzur bahkan ada yang ber-anggapan usang. Sebagai penggagas (Festival Teater Se-Sumatera utara I). Medan Teatertronic yang didukung secara penuh oleh Upt. Taman Budaya Sumatera Utara sebagai fasilitator yang masih mendukung kehidupan teater Sumatera Utara. Kami anggap menjadi penting sebagai nilai apresiatif. Dengan menyandingkan sebuah tematik “Kedurhakaan”.(Penafsiran itu dikutip dari legenda masa lalu dan juga penafsiran tentang kedurhakaan zaman modern yang terus bergulir).
Ya, fenomena itupun dianggap terbilang usang. Tetapi bagi kami, tidak. Medan Teatertronic justru menyaksikan gejala “Kedurhakaan” menggelinding dengan gaya dan kedurhakaan zaman yang super Edan. Individualis menyeruak seperti spora, melepaskan peluru-peluru tajamnya. Kedurhakaan yang begitu masif. Udara dan tabung android dipenuhi peradaban yang mengarah kepada penghancuran adab dan peradaban itu sendiri. Bila kesenian difungsikan untuk menghalau hal itu, maka ia akan dikembalikan kepada fitrahnya. Sebagai alat penyadaran. Baju anti peluru (wajib dikenakan) atas kedurhakaan, kegilaan peradaban zaman serta perilaku yang begitu kejam terjadi kembali. Hadir didepan mata.
Tafsir itu kemudian diramu menjadi sebuah tematik dalam perhelatan pertama festival teater se Sumatera Utara I.
Fenomena yang ada (Menyeruduk hingga meja makan yang sangat sakral atas kebudayaan keberadaban yang begitu lembut. Hampir-hampir kehilangan marwahnya. Manusia atau zamankah yang edan? Sebuah peristiwa kekejaman lain ikut tak beradab; Seorang Ayah sanggup memperkosa kehormatan anaknya. Banyak lagi kekejaman lain yang terjadi).” Kekeliruan ” yang berdiri tegak dihadapan kita. Siap memangsa seperti zombie.
Pemotretan FTAD 2022 ; Festival Teater Se – Sumatera Utara I, menggiring tematik tersebut menjadi pembelajaran terhadap kesadaran. Mengembalikan bentuk kesenian yang dijadikan sebagai nilai propaganda untuk tujuan kebaikan. Adab dan Peradaban itu senantiasa harus dirawat dan diruwat. Dengan konvensi Legenda yang ada – cerita-cerita baru yang dibalut lokalitas budaya tradisional Sumatera Utara. Dengan pola sederhana FTAD berjalan dan digagas Medan Teatertronic, nalurinya yang lain kembali menyodok iklim per-teateran di wilayah Sumatera Utara. Kurasi bagi kelompok terhadap kemutlakan proses pemanggungan menuju k u a l i t a s harapan teater Indonesia. (Harapan klise itu adalah kesederhanaan dan harus juga kami ucapkan sebagai sinyal yang penting. Mungkin juga tak penting!).
Hafiztaadi, Fest. conceptor – ketua Medan Teatertronic North Sumatra – Indonesia &