bandungmu • Aug 26 2022 • 25 Dilihat
Oleh: Lina Sellin, Penulis buku
BANDUNGMU.COM — Beberapa hari yang lalu, saya mengikuti sebuah pelatihan di salah satu hotel bintang 5 di Jakarta.
Dalam pelatihan tersebut, panitia membentuk beberapa kelompok untuk membuat suatu “karya” yang bisa diunggah di media sosial.
Karya itu, selain harus eye catching dan diterima khalayak dengan baik, tapi juga harus diselesaikan dalam hitungan menit.
Alhasil, saya pun memberi saran kepada kelompok saya untuk berbagi peran supaya pekerjaan cepat rampung.
Misalnya, siapa yang meracik teks, membuat gambar, membuat video, dan merancang semuanya untuk menjadi sebuah karya yang menarik, unik, dan layak jual.
Panitia, saat itu memberikan waktu 15 menit pada setiap kelompok untuk menyelesaikan karya itu. Maka, pembagian tugas itu rasanya efektif.
Namun, dari sepuluh anggota tim, ada dua orang yang “bersikeras” tidak menyetujui saran saya tersebut.
Bagi saya, ini hal yang wajar. Perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah. Jangankan antar orang yang baru kenal—yang kita tidak tahu latar belakangnya, antar anggota keluarga saja—antara adik dan kakak, istri dan suami, anak dan orangtua, perbedaan pendapat kerap terjadi.
Yang membuat saya heran, saat tujuh orang setuju untuk membagi peran, pada akhirnya memilih “diam” dan apatis dalam menghadapi dua orang tersebut yang lantang untuk mengambil alih semua beban tugas kelompok.
Alhasil, kami bertujuh pun mempersilakan kedua orang tersebut untuk “meracik” semuanya.
Sedangkan kami, alih-alih diam, tapi justru “penasaran” juga untuk membuat karya yang sama dengan metode pembagian beban kerja.
Pada pada waktu mengunggah karya, kami pun menjajarkan dua karya yang berbeda tersebut.
Lantaran hanya satu karya yang boleh diunggah, maka tentu karya mereka berdualah yang akhirnya dimasukkan dalam penilaian dewan juri, demi menghindari “konflik” berkepanjangan.
Sementara karya kami, yang sempat kami kirim dalam grup kelompok pun bahkan diutak-atik mereka berdua lagi, sehingga jadi tampak “jueleek” ?.
Tibalah saat penilaian. Karya kelompok kami tentu saja “dibantai” habis-habisan. Dan, pastilah jauh dari kata “lolos seleksi”.
Sepanjang perjalanan pulang, saya jadi teringat akan berbagai cerita tentang betapa bahayanya orang “awam” ini.
Mereka tidak tahu-menahu tentang desain, tapi mereka “bersikeras mendesain”.
Mereka belum “teruji” membuat suatu karya yang “laku” di pasaran, tapi keukeuh untuk mengambil tanggung jawab itu.
Saya merenung.
Bagaimana dengan orang-orang yang tidak tahu-menahu tentang apa saja, (contoh: agama), tapi begitu lantang di media sosial lalu membahas tentang agama.
Tak hanya itu, bahkan mereka membuat fatwa yang ngaco, kemudian menyebarluaskannya ke khalayak.
Pun, bagaimana dengan orang yang tidak mampu memikul tanggung jawab tertentu, tapi ia tetap memikulnya? Kata Nabi, tunggulah kehancurannya.
Dan, bagaimana dengan orang yang bersikeras dengan pendapatnya, lalu ia menyalahkan kelompok lain yang berseberangan dengan kelompoknya, kemudian dengan mudah menilai sesat? Sejarah membuktikan, sikap jumud hanya akan menciptakan kehancuran.
Pada akhirnya, saya jadi teringat akan nasihat ini: “Apabila berhadapan dengan orang awam, nasihatilah mereka dengan lembut. Namun bila tidak berhasil, hanya ada dua opsi: diam atau menghindar.”
Wallahu a’lam. **
sumber berita ini dari bandungmu.com
Suasana ceria menyelimuti halaman TK di sekitar MI ASSA’ADAH MIAS Bungah saat para siswa madrasah ...
SD Muhammadiyah 1 Wringinanom (SD Muwri) memperingati Isra’ Mi’raj 1446 H/2025 M dengan menggela...
Girimu.com – Kesalehan harus didasari dengan keimanan dan keikhlasan, bukan dijadikan alasan untuk...
SMP Muhammadiyah 14 Driyorejo (Spemia) memperingati Isra Miraj 1446 H pada Jumat (31/01/25). Acara i...
Girimu.com – Siswa MI ASSA’ADAH MIAS Bungah kembali menunjukkan semangat mereka dalam kegiatan P...
Kak Tatik Respati, dengan boneka Tole sebagai teman bercerita, memukau santri TPQ At Taqwa Pulopanci...
No comments yet.