Oleh: M. Islahuddin
Sebuah babak baru tercipta dalam sejarah pendidikan di SMA Muhammadiyah 1 Gresik (Smamsatu). Untuk kali pertama, sekolah Islam berkemajuan ini menerima seorang siswa beragama Kristen sebagai bagian dari keluarga besar sekolah. Peristiwa ini menjadi titik awal lahirnya sebuah fenomena yang menginspirasi: Krismuha, yang kini menjadi simbol jalan baru moderasi beragama di dunia pendidikan.
Terma ‘Krismuha’ yang merupakan akronim dari Kristen Muhammadiyah, telah membuat jagat media sosial heboh. Sebagian warganet berspekulasi dengan menyimpulkan adanya cabang Muhammadiyah di kalangan Kristen atau Katolik. Sebagian netizen lainnya juga mengasosiasikan istilah Krismuha dengan munculnya varian baru bercorak sinkretis dalam tubuh persyarikatan Muhammadiyah. Varian itu diasumsikan sebagai tipologi kelompok yang memadukan aspek ajaran Islam dan Kristen.
Semua asumsi itu jauh dari realitas yang sesungguhnya. Seperti dijelaskan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang kini juga menjabat Mendikdasmen RI, Prof Abdul Mu’ti, terma Krismuha tidak boleh hanya dipahami secara teologis-normatif. Krismuha, katanya, harus dilihat dalam perspektif sosiologis-historis.
Pada awalnya, terma Krismuha diperkenalkan Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ul Haq dalam karya berjudul “Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan (2009)”. Edisi revisi buku itu terbit pada 2023. Tentu dengan pemutakhiran data dan konteks pemahaman yang lebih kekinian. Buku Kristen Muhammadiyah memaparkan praktik-praktik baik tentang kehidupan yang toleran dan saling menghargai antara minoritas Islam dengan mayoritas Kristen melalui lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Keberanian yang Membuka Jalan
Langkah awal itu dimulai pada tahun ajaran 2025/2026. Di antara ratusan pendaftar, terdapat seorang siswa non-Muslim yang mendaftarkan diri ke SMA Muhammadiyah 1 Gresik. Awalnya, banyak yang mengira ini adalah kesalahan administratif. Namun, setelah dilakukan klarifikasi dan verifikasi, niat sang siswa dan keluarganya sangat jelas: mereka ingin mendapatkan pendidikan unggul, berbasis disiplin dan nilai-nilai moral, di sekolah Muhammadiyah.
Salah satu pendidik di SMAM Satu (julukan SMA Muhammadiyah 1 Gresik) mengenang momen itu sebagai sesuatu yang sangat membekas. “Kami sempat terdiam ketika mendengar, bahwa SMAM menerima murid non-Islam. Tapi kemudian kami tersadar, inilah wujud nyata dari Islam rahmatan lil ‘alamin. Kami membuka pintu, bukan menutupnya,” ungkapnya.
Murid tersebut, si Fulan (nama disamarkan demi perlindungan) kini menjalani hari-harinya di SMA Muhammadiyah 1 Gresik seperti murid-murid lainnya. Ia mengikuti seluruh kegiatan sekolah, termasuk mata pelajaran khas Muhammadiyah, seperti Al-Islam, Ke-Muhammadiyahan, dan Bahasa Arab (ISMUBA), tanpa paksaan. Alih-alih merasa terasing, dia pun merasa nyaman, aman, dan diterima sepenuhnya.
“Saya tidak pernah merasa dihakimi. Teman-teman dan guru justru mengajak saya berdiskusi, bukan menggurui. Mereka tahu saya Kristen, tapi tidak pernah mempermalukan saya,” ujarnya dalam sebuah testimoni dari guru ISMUBA.
Pengajar ISMUBA di kelasnya pun menyampaikan, bahwa kehadiran dirinya justru memperkaya suasana kelas. Ia diberi ruang untuk belajar secara kontekstual, dan dalam banyak kesempatan, perbedaan itu menjadi titik dialog, bukan sumber konflik.
Krismuha: Dari Kasus Unik Menjadi Inspirasi
Perjalanan Fulan memicu refleksi luas di lingkungan sekolah. Dari sana lalu lahir istilah “Krismuha” di SMAM Satu Gresik, sebagai simbol perjumpaan damai antara Kristen dan Muhammadiyah dalam dunia pendidikan.
M. Islahuddin, MPd, guru Pendidikan ISMUBA yang mengemban tugas pembina keagamaan sekaligus pendamping siswa lintas iman, menyampaikan, bahwa Krismuha adalah cermin nyata dari Islam wasathiyah.
“Kami tidak mengajarkan Islam sebagai doktrin kosong, tapi sebagai etika hidup. Dia tidak kami Islamkan, tapi kami ajarkan nilai-nilai Islam secara ilmiah, adil, dan bermartabat,” jelasnya.
Fenomena Krismuha di SMA Muhammadiyah 1 Gresik menjadi bukti, bahwa moderasi beragama bukan hanya retorika pemerintah atau ceramah seminar, tapi bisa dijalankan dalam keseharian. Moderasi itu hadir ketika perbedaan tidak menjadi alasan untuk menjauh, tetapi justru mengundang untuk lebih mengenal satu sama lain.
“Ini bukan tentang Kristen belajar Islam, tapi tentang pelajar belajar menghargai,” ungkap Naila, teman sekelas Fulan.
Kisah Krismuha telah menyebar luas ke kalangan Majelis Dikdasmen Muhammadiyah, pengamat pendidikan, hingga tokoh lintas agama di Gresik. Banyak yang mengapresiasi langkah SMA Muhammadiyah 1 Gresik sebagai praktik terbaik (best practice) dalam pendidikan lintas iman di Indonesia. Ke depan, sekolah ini berharap dapat terus menjadi rumah bagi siapa saja yang ingin tumbuh dalam nilai-nilai akhlak, keilmuan, dan toleransi.
Islam Berkemajuan Bertemu Etika Kristiani
Dalam Krismuha tidak ada niat untuk menyamakan teologi, melainkan menguatkan akhlak saling menghargai, yang berakar dari dua tradisi besar: Islam berkemajuan ala Muhammadiyah, dan kasih dalam tradisi Kristiani.
Menurut M. Islahuddin, fenomena Krismuha justru memperkuat identitas keagamaan siswa. “Kita justru lebih matang dalam keimanan ketika kita mengenal orang yang berbeda dengan penuh rasa hormat. Krismuha membentuk pribadi yang kokoh, bukan fanatik,” jelasnya.
Dari Gresik untuk Indonesia
Fenomena Krismuha bukan sekadar cerita satu siswa Kristen yang sekolah di SMA Muhammadiyah. Ia adalah narasi besar tentang keberanian membuka hati, tentang iman yang kuat tanpa fanatisme, dan tentang Indonesia yang damai di tengah keragaman. Dari Gresik, lahir harapan: bahwa perbedaan tak harus jadi tembok, melainkan jembatan untuk saling memahami dan mencintai.
Dalam realitas sosial yang kerap memicu polarisasi, Krismuha hadir sebagai tawaran jalan baru jalan yang menghindari ekstremisme, menolak eksklusivisme, dan mempromosikan perjumpaan damai lintas iman. SMA Muhammadiyah 1 Gresik membuktikan, bahwa dengan landasan akidah yang kuat dan akhlak yang mulia, Islam dapat hadir bukan sebagai tembok, melainkan sebagai jembatan dari Muhammadiyah, untuk semua. SMAM Satu: Be the First. (*)
*) M. Islahuddin, Guru Pendidikan ISMUBA SMA Muhammadiyah 1 Gresik.