BANDUNGMU.COM – Memahami maksud dan kandungan satu hadis kadang-kadang butuh penjelasan lain agar pemahaman terhadap hadis tersebut utuh. Salah satu hal yang mesti dipahami terkait maksud dan kandungan hadis, yakni illat hadis.
Apa itu illat hadis? Lalu seperti apa memahami illat hadis mengenai pakaian yang melebih mata kaki? Berikut penjelasan almarhmum KH Ali Mustafa Yaqub yang dikutip dari bukunya yang berjudul “Kalau Sudah Istiqamah Nggak Bakal Nggak Bakal Sedih”.
Dijelaskan dalam hukum Islam, illat itu adalah sesuatu yang keberadaannya menjadi dasar penetapan hukum dan ketidakberadaannya meniadakan penetapan hukum.
Contohnya khamar itu diharamkan, apa illat-nya? Illat-nya adalah memabukan dan najis. Kalau dua illat ini tidak ada, khamar menjadi halal.
Jika khamar itu berubah menjadi cuka dan berubahnya secara alamiah, tanpa rekayasa, menurut mayoritas ulama, maka khamar itu tidak najis dan tidak memabukan alias halal.
Artinya barang najis itu bisa menjadi suci yang disebut dengan istilah istihaalah. Namun, tidak semua barang najis bisa menjadi suci.
Selain khamar, contoh barang najis yang bisa menjadi suci adalah darah. Darah itu najis dan bisa menjadi suci jika dari itu berubah menjadi air susu (asi) atau berubah menjadi telur (unggas) sehingga halal dikonsumsi.
Namun, tidak semua barang najis berubah menjadi suci. Misalnya, babi itu haram karena najis dan keharamannya itu bersifat kekal, tidak berubah meskipun sudah berubah bentuk.
Banyak hadis yang bisa kita pahami melalui illat-nya, baik illat itu bersifat manshushah, yaitu illat yang disebut oleh Rasulullah, maupun illat mustanbathah, illat yang digali oleh mujtahid.
Misalnya larangan memakai pakaian yang melebih mata kaki, biasa disebut isbaalul izaar. Dalam sebuah hadis Rasulullah memang tidak menyebut illat dari larangan itu, hadisnya berbunyi:
Maa tahta al ka’baini finnari (Pakaian yang melampaui dua mata kaki maka pelakukanya akan mask negera).
Hal itu sudah menunjukkan larangan karena ada sebuah ancaman dan menunjukkan perbuatan itu adalah perbuatam haram.
Di sinilah sebenarnya kita memakai metode pemahaman hadis yang lain, yakni menggabungkan atau mengumpulkan berbagai riwayat atau versi tentang satu topik hadis.
Jika seseorang hanya memakai satu hadis ini saja, orang itu akan berfatwa sesuai dengan isi hadis itu, yakni bahwa orang yang memakai pakaian melebihi dua mata kaki, dia akan masuk neraka.
Alhasil banyak orang yang pakaiannya cingkrang atau digulung melewati mata kaki, layaknya orang yang kebanjiran.
Mestinya kita harus menggabungkan riwayat-riwayat atau versi-versi yang lain. Mengapa kita harus mengumpulkan berbagai riwayat dalam satu topik dalam satu kasus?
Sebab Rasulullah terkadang menyampaikan hadis kepada beberapa orang sahabat, kemudian beberapa sahabat tersebut menyampaikan kepada murid-muridnya, yakni para tabiin.
Ketika menyampaikan riwayat itu tidak selamanya para sahabat menyampaikan persis redaksinya dengan redaksi yang diucapkan oleh Rasulullah. Apalagi pada periode kedua, yakni tabiin, bisa jadi redaksinya atau penuturannya sudah berubah.
Kita pun bisa menemukan banyak riwayat hadis yang isi dan maknanya sama, tetapi redaksinya berbeda-beda, bisa lebih pendek atau lebih panjang.
Hal itulah yang membuat disegerakannya pengumpulan beberapa riwayat hadis dalam satu topik. Inilah dahulu yang dikerjakan oleh Imam Muslim dan kitabnya “Shahih Muslim” yang merangkum beberapa versi riwayat dalam satu bab.
Demikian pula Imam Ibnul Jazari pada abad VII dalam kitabnya “Jami’ul Ushul min Ahadis Ar-Rasul” yang terdiri atas sebelas jilid. Kitab ini mengumpulkan hadis-hadis dari kitab enam, yaitu Bukhari-Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, dan Ibnu Majah dalam setiap topik yang disajikan.
Guru kami, mufti besar Saudi Arabia, Syekh Abdul Aziz bin Bazz, sering menyuruh muridnya untuk membaca kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, At Tirmidzi, dan Abu Dawud sekaligus dalam topik yang sama.
Apa faedahnya? Ketika seorang murid membaca hadis, langsung mendapat gambaran dari enam riwayat, enam versi kitab hadis. Metode inilah yang kemudian kami terangkan di Pesantren Darussunnah Ciputat.
Illat hadis pakaian melebihi mata kaki
Ternyata hadis yang menyatakan maa tahta al ka’baini finnari—pakaian yang berada atau melampaui dua mata kaki maka pelakunya akan masuk neraka—punya versi lain yang menyebutkan illat-nya, yakni riwayat dari Abu Bakar.
Dalam riwayat disebutkan bahwa Abu Bakar bertubuh kerempeng sehingga kalau berpakaian selalu “nglembreh” atau kedodoran sehingga menutupi mata kaki.
Lalu dia bertanya kepada Rasulullah, “Apakah aku ini termasuk orang yang akan masuk neraka?” Di sinilah Rasulullah menerangkan ilat hadis tadi, “Tidak, tetapi yang berpakaian melampaui mata kaki karena faktor sombong/khuyalaa.”
Jadi, hal yang menyebabkan orang masuk neraka itu bukan pakaiannya yang “nglembreh”, melainkan sifat sombongnya.
Oleh karena itu semua hadis yang berkaitan dengan isbaalul izaar, pakaian yang “nglembreh” (di bawah mata kaki), harus dipahami illat-nya. Larangan ini karena ada faktor kesombongan.
Jadi, orang zaman dulu kalau sombong mungkin dengan cara me-lembreh-kan atau memanjangkan pakaiannya hingga menutupi mata kaki.
Jika illat-nya adalah kesombongan, arogansi, “gumede”, maka setiap ada kesombongan, itu akan membawa ke neraka, meskipun pakaiannya tidak sampai mata kaki. Artinya, meski pakaiannya di atas mata kaki kalau sombong juga masuk neraka.
Ada seorang kawan yang bilang bahwa dulu yang sombong itu yang pakaiannya diseret ke bawah mata kaki, sekarang yang sombong justru yang pakaiannya cingkrang di atas mata kaki.
Sombongnya kenapa? Karena dia menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar dan dikira surga itu hanya milik orang yang pakaiannya cingkrang di atas mata kaki.
Pakaian apa saja yang membawa kepada sikap kesombongan akan membawanya masuk neraka. Jika kita pakai baju batik, pakai kerudung, pakai peci haji, pakai peci hitam, kalau ada faktor “khuyalaa”, takabur, pada dirinya, itulah yang akan membawa ke neraka. Ini adalah contoh hadis yang illat-nya disebut langsung oleh Rasulullah.****