Oleh M. Islahuddin
GIRIMU.COM — Muhammadiyah merupakan sebuah fenomena peradaban. Lahir dari kegelisahan intelektual dan spiritual KH Ahmad Dahlan di Kauman, Yogyakarta lebih dari satu abad silam, gerakan ini telah bermetamorfosis menjadi salah satu jejaring kekuatan sosial-keagamaan terbesar di dunia. Jika melihat dari udara, peta Indonesia bertabur ribuan titik sekolah Muhammadiyah, mulai dari KB-TK Aisyiyah yang riuh di pelosok desa hingga kampus-kampus megah yang menjulang di pusat kota.
Secara kuantitas, Muhammadiyah telah menang dibanding ormas keagamaan lainnya. Infrastruktur fisik telah berdiri kokoh, menjadi Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang membanggakan.
Namun, di tengah gemerlap fisik bangunan dan deretan angka akreditasi, terselip sebuah pertanyaan sunyi yang menuntut keberanian untuk dijawab: Apakah ruh gerakan masih berdenyut sama kuatnya di dalam ruang-ruang kelas itu?
Apakah sekolah-sekolah Muhammadiyah masih menjadi “kawah candradimuka” yang melahirkan kader umat dan bangsa, ataukah perlahan tergelincir menjadi sekadar pabrik lulusan yang kehilangan akar identitasnya? Dari konteks kegelisahan inilah, wacana mengenai sertifikasi Guru Kemuhammadiyahan dan Pembina Ekstrakurikuler harus diletakkan. Ini bukan sekadar urusan administrasi, bukan sekadar kertas bertanda tangan pejabat majelis pengampu pendidikan. Ini adalah urusan hidup-matinya ideologi persyarikatan di masa depan.
Anomali di Jantung Pendidikan
Pelajaran Ke-Muhammadiyahan (atau Al-Islam dan Ke-Muhammadiyahan/AIK) sering dianggap sebagai “pelajaran pelengkap” atau muatan lokal semata. Padahal, ini adalah core competence ( kompetensi inti) yang membedakan sekolah Muhammadiyah dengan sekolah umum lainnya.
Realitas di lapangan kerap memperlihatkan ironi. Tidak jarang ditemukan guru Ke-Muhammadiyahan yang mengajar hanya bermodalkan buku teks sejarah organisasi, tanpa penghayatan nilai. Lebih parah lagi, ada fenomena guru pengampu mata pelajaran ini dipilih “seadanya” untuk memenuhi jam mengajar, tanpa latar belakang pemahaman ideologi yang tuntas. Akibatnya, ke-Muhammadiyahan hanya sampai kepada siswa sebagai hafalan tahun berdiri, nama tokoh, dan struktur organisasi. Rasanya kering, membosankan, dan tidak menggerakkan.
Di sinilah letak urgensi sertifikasi guru Ke-Muhammadiyahan. Sertifikasi harus dimaknai sebagai mekanisme penjaminan mutu ideologis (ideological quality assurance). Seorang guru Ke-Muhammadiyahan besertifikat tidak boleh hanya hafal sejarah seputar KH Ahmad Dahlan, tetapi harus mampu menerjemahkan teologi Al-Ma’un dalam konteks kekinian. Ia harus menjadi representasi hidup dari konsep Islam Berkemajuan.
Tanpa sertifikasi yang ketat, kita membiarkan pintu gerbang ideologi sekolah dijaga oleh mereka yang mungkin tidak memahami peta jalan gerakan. Risikonya fatal: lahirnya alumni sekolah Muhammadiyah yang cerdas secara akademik, namun asing, garing, atau bahkan sinis terhadap persyarikatan yang telah membesarkannya. Sertifikasi merupakan filter untuk memastikan, bahwa sang guru bukan hanya “pengajar materi”, melainkan “mujahid ilmu” yang mentransfer ghirah (semangat) dan manhaj (metodologi) berpikir Muhammadiyah.
Ekstrakurikuler: Benteng Kaderisasi yang Terlupakan
Jika ruang kelas adalah tempat mengasah otak, maka ekstrakurikuler adalah tempat menempa watak. Tapak Suci Putera Muhammadiyah, Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan (HW), dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) bukanlah sekadar kegiatan pengisi waktu luang sore hari. Dalam cetak biru perkaderan Muhammadiyah, ortom-ortom ini adalah ujung tombak pembentukan karakter kepemimpinan.
Namun, mari bersikap jujur (reflektif). Berapa banyak sekolah Muhammadiyah yang merekrut pelatih Tapak Suci atau pembina HW hanya berdasarkan kemampuan teknis semata? Ada pelatih bela diri yang hebat secara teknik, namun nihil pemahaman tentang adab dan akhlak seorang kader Tapak Suci (“Dengan Iman dan Akhlak Saya Menjadi Kuat”). Ada pembina kepanduan yang jago tali-temali, namun gagal menanamkan jiwa patriotisme Jenderal Sudirman (Bapak Pandu HW).
Ketika pembina ekstrakurikuler tidak memiliki visi ideologis yang selaras dengan sekolah, kegiatan ekstrakurikuler berubah menjadi aktivitas fisik yang kosong makna. Siswa menjadi jago berkelahi tapi tak berakhlak, atau jago baris-berbaris tapi tak punya jiwa korsa persyarikatan.
Sertifikasi pembina ekstrakurikuler menjadi mutlak diperlukan untuk mengembalikan marwah kegiatan ini. Pembina harus dipastikan kompetensinya, bukan hanya dalam skill teknis, tetapi juga dalam kapasitasnya sebagai role model. Sertifikasi akan memastikan, bahwa setiap jurus yang diajarkan di Tapak Suci dan setiap tepuk tangan di Hizbul Wathan, terintegrasi dengan penanaman nilai-nilai ke-Islaman dan kemuhammadiyahan. Ekstrakurikuler adalah lahan persemaian kader. Karena itu, membiarkannya dikelola oleh tangan yang tidak besertifikat (tidak terstandar), sama dengan membiarkan benih unggul tumbuh liar tanpa arah.
Kritik untuk Struktural
Mendorong sertifikasi tidak cukup hanya dengan imbauan moral. Pimpinan Muhammadiyah, khususnya Majelis Dikdasmen (Pendidikan Dasar dan Menengah) dan Pendidikan Non Fprmal (PNF) harus melihat ini sebagai strategi kebudayaan jangka panjang.
Selama ini, pengelolaan sumber daya manusia (SDM) pendidikan sering terjebak pada rutinitas manajerial. Pembangunan gedung baru sering lebih “seksi” untuk diberitakan ketimbang program pelatihan guru. Padahal, investasi pada SDM adalah investasi jangka panjang peradaban sesungguhnya.
Sertifikasi Guru Ke-Muhammadiyahan dan Pembina Ekstrakurikuler harus dirancang secara sistemik, bukan sporadis. Langkah konkret yang harus dituntut dari pimpinan persyarikatan, di antaranya meliputi: Standardisasi Kurikulum; Pelatihan: Melibatkan Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) untuk menyusun modul sertifikasi yang bobotnya setara dengan pendidikan profesi, namun spesifik pada pendalaman ideologi dan metodologi dakwah komunitas sekolah.
Integrasi dengan Kesejahteraan: Ini adalah poin krusial. Menuntut profesionalisme tanpa diimbangi penghargaan adalah kezaliman. Sertifikasi harus berbanding lurus dengan insentif atau tunjangan profesi dari persyarikatan/sekolah kepada guru. Sertifikasi harus menjadi tiket menuju jenjang karier dan kesejahteraan yang lebih baik, sehingga menjadi guru Ke-Muhammadiyahan atau pembina HW menjadi profesi yang prestisius dan dibanggakan, bukan profesi “buangan”.
Evaluasi Berkala: Sertifikat bukanlah “surat sakti” seumur hidup. Harus ada mekanisme penyegaran (upgrading) berkala untuk memastikan semangat guru dan pembina tidak luntur tergerus rutinitas.
Penutup: Membangun Jiwa, Bukan Sekadar Raga
Sekolah Muhammadiyah hari ini berada di tengah medan tempur yang sengit. Kompetisi bukan lagi sesama sekolah Islam, tetapi melawan arus sekularisme, hedonisme, dan krisis karakter yang menghantam generasi muda.
Gedung bertingkat, laboratorium canggih, dan fasilitas AC di setiap kelas hanyalah “raga” dari pendidikan. Sementara “jiwa atau ruh”-nya ada pada interaksi antara guru dan murid. Jika Guru Ke-Muhammadiyahan tidak memiliki ghirah yang menyala, dan jika Pembina Ekstrakurikuler tidak memiliki visi kaderisasi yang tajam, maka sekolah itu hanyalah bangunan mati yang kebetulan ditempeli logo matahari.
Urgensi sertifikasi ini adalah sebuah alarm peringatan. Pengelola tidak boleh terlena dengan besarnya jumlah sekolah dan jumlah murid. Masa depan Muhammadiyah tidak ditentukan oleh seberapa banyak semen dan batu bata yang disusun menjadi bangunan megah, melainkan oleh siapa yang mengisi ruang-ruang kelas itu, dan ruh apa yang mereka hidupkan di dalamnya.
Saatnya pimpinan Muhammadiyah mengambil langkah berani: wajibkan sertifikasi, muliakan para pendidik ideologis ini, dan pastikan setiap anak yang masuk gerbang sekolah Muhammadiyah, kelak keluar sebagai manusia yang bukan hanya pintar otaknya, tetapi juga Muhammadiyah tulen hatinya. Jika tidak sekarang, kita akan mempertaruhkan masa depan gerakan ini menjadi sekadar fosil sejarah yang kehilangan relevansi zamannya. Inilah saatnya berbenah. Dari sertifikasi, melahirkan spirit merawat tradisi, menjaga ideologi, dan melangsungkan peradaban. (*)
*) M. Islahuddin, Aktivis Muda Muhammadiyah, tingal di Gresik, Jawa Timur
