Moral Pendidikan Kita: Sebuah Potret Retak Warisan KH Ahmad Dahlan di Era Modern

wawasan2 Dilihat
banner 468x60

Oleh M. Islahuddin*)

Langit senja di Gresik kerap menjadi saksi bisu ketika seorang guru honorer Muhammadiyah pulang dari sekolah dengan gaji yang kerap tak cukup untuk ongkos transportasi bulanannya. Angkanya bervariasi, ada yang Rp 450.000 per bulan, ada yang Rp 1,2 juta. Sebagian bisa sedikit lebih tinggi jika ditambah jam mengajar.

Bandingkan dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Gresik tahun 2025 sebesar Rp 4.874.133, jurang perbedaan ini begitu nyata. Kondisi ini mencerminkan sebuah potret retak dalam dunia pendidikan kita. Di satu sisi ada idealisme dan sejarah panjang perjuangan KH Ahmad Dahlan, sang pendiri persyarikatan Muhammadiyah. Di sisi lain ada keseharian getir para pendidik yang masih berkubang dalam ketidakadilan.

Sementara itu, di Yogyakarta tahun 1912, KH Ahmad Dahlan dengan tekad bulat melelang seluruh perabotan rumahnya mulai dari tempat tidur, lemari, hingga lampu minyak, demi mengumpulkan 500 gulden (setara Rp 4,5 juta hari ini) untuk membiayai operasional sekolah dan gaji guru Muhammadiyah. Yang menakjubkan, para jamaah pengajiannya justru mengembalikan semua barang yang dilelang sambil menyumbangkan dana mencapai 4.000 gulden (Rp 36 juta). Sebuah bentuk kesadaran kolektif, bahwa pendidikan berkualitas harus ditopang oleh kesejahteraan para pendidiknya.

Lebih dari seabad setelah episode heroik KH Ahmad Dahlan, dunia pendidikan kita justru menyaksikan degradasi nilai yang memilukan. Sebuah kesadaran kolektif, bahwa pendidikan bermutu hanya mungkin lahir jika kesejahteraan guru dijamin. Namun, di Gresik hari ini, semangat kolektif itu nyaris tak terlihat. Banyak sekolah Muhammadiyah justru kesulitan mandiri secara ekonomi.

Laporan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) & Pendidikan Non Formal (PNF) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik menyebut, sekitar 60% sekolah Muhammadiyah di Gresik belum mandiri secara finansial. Tidak heran bila banyak guru memilih migrasi menjadi guru PPPK, karena jaminan gaji dan kesejahteraan yang lebih layak.

Hal ini diperparah mirisnya sebagian sekolah Muhammadiyah yang tidak memberdayakan kader internalnya di Muhammadiyah, tetapi justru “memusuhi” guru yang juga kader Muhammadiyah. Fenomena semacam ini semakin dipahami ketika kita melihat ketimpangan di lapangan. Guru honorer di SMP PGRI Wringinanom, misalnya, hanya menerima Rp 450.000 per bulan, sementara guru GTT binaan Pemkab rata-rata mendapat Rp 1,2 juta.

Bandingkan dengan standar gaji PPPK paro waktu di Gresik yang kini mencapai Rp 4,8 juta per bulan, selisih yang membuat banyak guru swasta merasa tidak punya pilihan, selain pindah. Ironisnya, banyak sekolah Muhammadiyah di Gresik berdiri dengan gedung megah, namun kesejahteraan gurunya masih bergantung pada kebijakan pengurus persyarikatan dan besarnya SPP siswa.

Kondisi ini jelas bertolak belakang dengan semangat KH Ahmad Dahlan yang melihat pendidikan sebagai investasi peradaban, bukan arena eksploitasi tenaga pendidik. Permasalahan yang melanda sekolah swasta di Indonesia bersifat struktural dan multidimensional. Artinya, tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, melainkan oleh tumpang tindihnya berbagai kebijakan, mentalitas, dan sistem yang saling memperparah kondisi.

Jika ditelusuri lebih dalam, setidaknya ada tiga masalah utama yang menjadi penghambat kemajuan sekolah swasta, khususnya dalam hal pembiayaan, pengelolaan sumber daya manusia, serta peran pengawasan pemerintah. Permasalahan ini semakin kompleks karena sifatnya struktural dan multidimensional.

Pertama, ketergantungan sekolah pada SPP menjadikan keuangan sangat rapuh. Ketika jumlah murid menurun atau ekonomi orang tua terguncang, yang pertama terkena imbas adalah gaji guru. Kedua, mentalitas “nirlaba” sering disalahartikan: sekolah merasa sah membayar guru di bawah standar dengan alasan “ikhlas beramal”.

Padahal, spirit nirlaba seharusnya menekankan manfaat sosial, bukan pemerasan terselubung. Ketiga, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap sekolah swasta membuat pelanggaran ketenagakerjaan berlangsung tanpa sanksi berarti. Guru honorer sering tanpa kontrak jelas, tanpa jaminan kesehatan, dan tanpa kepastian karier.

Namun, di tengah suramnya situasi, ada titik terang yang mulai muncul. Pada 2025 pemerintah mengeluarkan kebijakan tunjangan profesi Rp 2 juta per bulan bagi guru non-ASN besertifikasi. Jika dimanfaatkan dengan baik, ini bisa menjadi bantalan kesejahteraan bagi guru Muhammadiyah yang sudah lulus PPG.

Sayangnya, tidak semua guru memenuhi syarat sertifikasi atau jam mengajar yang dipersyaratkan. Akibatnya, ketimpangan tetap terjadi: guru besertifikasi income-nya bisa mencapai Rp 3–3,5 juta per bulan (gabungan honor sekolah + tunjangan), sedangkan guru non-sertifikasi masih bertahan di angka ratusan ribu rupiah.

Situasi ini harus dibaca bukan sekadar sebagai fenomena ekonomi, melainkan juga persoalan moral pendidikan. Setiap kali seorang guru Muhammadiyah di Gresik harus memilih antara membeli buku pelajaran untuk muridnya atau beras untuk keluarganya, kita sedang mengkhianati teladan KH Ahmad Dahlan. Pengorbanan beliau bukan untuk dilanggengkan sebagai romantisme, melainkan untuk dijadikan pijakan menciptakan solusi sistemik yang berkelanjutan.

Beberapa langkah nyata yang bisa diambil di Gresik di antaranya sebagai berikut. Regulasi lokal: Pemkab menetapkan standar minimal gaji guru swasta setidaknya 80% UMK. Diversifikasi pendanaan: sekolah Muhammadiyah mengembangkan wakaf produktif, bisnis sosial, atau kemitraan dengan industri di Gresik (sektor semen, pelabuhan, manufaktur dan sebagainya) untuk menopang gaji guru.

Pengawasan ketat: Dinas Pendidikan memastikan sekolah swasta tidak melanggar hak dasar guru, dengan sanksi administratif bila terbukti. Keterlibatan masyarakat: transparansi penggunaan dana SPP, sehingga publik ikut mengawasi dan mendorong akuntabilitas organisasi pengelola lembaga pendidikan ataupun yayasan.

Solusi Berkelanjutan
Perbandingan antara masa KH Ahmad Dahlan dan era modern menunjukkan ironi yang tajam. Pertama, nilai 500 gulden (1912) setara dengan gaji bulanan kelas menengah Belanda saat itu, sementara Rp 500.000 (2025), bahkan tidak mencapai 25% UMR. Kedua, mekanisme gotong royong komunitas dalam kisah KHp Ahmad Dahlan kontras dengan individualisasi beban ekonomi guru honorer saat ini. Ketiga, transparansi penggunaan dana yang ditunjukkan KH Ahmad Dahlan (dengan mempertanyakan kelebihan sumbangan) berbanding terbalik dengan minimnya akuntabilitas di banyak lembaga pendidikan pendidikan sekarang.

Di tengah suramnya panorama tersebut, beberapa titik terang patut dicatat. Pesantren Modern di Garut, misalnya, berhasil menjamin gaji guru di atas UMR melalui bisnis susu kambing etawa yang dikelola secara profesional. Di Surakarta, gerakan Adopt a Teacher berhasil menghubungkan 150 guru honorer dengan donatur tetap. Beberapa sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta juga mulai mengembangkan wakaf produktif berupa ruko dan lahan pertanian sebagai sumber pendapatan tambahan.

Dari berbagai ketimpangan saat ini menjadi refleksi untuk belajar dan berbenah dengan menghadirkan solusi sistematis yang bisa diadopsi, meliputi: pertama, revolusi model pembiayaan melalui dana abadi (endowment fund) dan investasi sosial; kedua, standardisasi gaji minimal guru swasta sebesar 80% UMR melalui Perda Pendidikan; ketiga, kemitraan kreatif dengan dunia usaha untuk program profit-sharing; keempat, transparansi keuangan yayasan melalui audit publik tahunan.

Dari sebuah refleksi, warisan KH Ahmad Dahlan bukanlah romantisme pengorbanan buta, melainkan teladan sistemik tentang tanggung jawab kolektif dalam pendidikan. Setiap hari di mana guru honorer harus memilih antara membeli buku pelajaran atau beras untuk keluarganya, kita sebenarnya sedang mengkhianati semangat dasar Muhammadiyah.

Langkah konkret yang bisa dilakukan berbagai pemangku kepentingan di antaranya, pengelola pendidikan mengalokasikan minimal 30% dana amal untuk kesejahteraan guru; kedua, pemerintah memperketat regulasi dan berikan insentif fiskal bagi sekolah yang memenuhi standar kesejahteraan; ketiga, membuka partisipasi masyarakat untuk mendorong transparansi penggunaan SPP dan dana sekolah melalui pengawasan komunitas; dan keempat, melibatkan kolaborasi dunia usaha dalam mengembangkan program CSR khusus untuk pendanaan guru honorer.

Kisah KH Ahmad Dahlan melelang hartanya harus dibaca sebagai protes terhadap sistem yang tidak adil, bukan pembenaran untuk mempertahankan ketidakadilan. Pendidikan yang bermutu hanya mungkin lahir dari ekosistem yang menghargai martabat pendidiknya. Saatnya kita menulis babak baru di mana “guru adalah rasul peradaban, pelita bangsa” bukan sekadar metafora kosong, melainkan realitas yang tercermin dalam kesejahteraan nyata. Seperti pesan tersirat dari tindakan KH Ahmad Dahlan: tidak ada pendidikan bermutu tanpa keadilan bagi para pejuangnya. (*)

*) M. Islahuddin, Guru di SMA Muhammadiyah 1 Gresik.

Author

Berita Yang lain