Pagi Ini, Masalah Waris Dibedah dalam Pengajian Ahad Pagi di GDM Gresik

Keislaman7 Dilihat

GIRIMU.COM — Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Gresik menghadirkan Ustadz  Nasrullah, Lc, SHI, MH dari Pasuruan dalam Pengajian Ahad Pagi di Gedung Dakwah Muhammadiyah (GDM) Gresik, Ahad (7/12/2025).

Dalam pengajian yang diikuti ratusan jamaah Muhammadiyah ini, Ustadz Nasrullah, Wakil Ketua PDM Pasuruan bidang Majelis Tarjih dan Tajdid, dan Lembaga Pembinaan Haji dan Umroh ini mengawali pengajian Ahad Pagi dengan joke yang menyegarkan suasana.

“Warga Muhammadiyah Gresik yang hadir di tempat ini bergelar SSI: Sarjana Sembarangan Iso warga Muhammadiyah”. Guyonan itu disambut geer jamaah yang hadir.

Mengutip Prof Dr Dien Samsuddin, ia mengatakan, bekas sujudnya warga Muhammadiyah jadi masjid, gedung dakwah, universitas, sekolah, klinik rumah sakit ataupun panti asuhan.
Ustadz Nasrullah yang pada pengajian Ahad Pagi ini diamanahi menyampaikan kajian dengan tema “Memahami Konsep Waris, Hibah dan Ketentuan Keduanya” ini menyebut materi ini normalnya disampaikan dalam 6 bulan, namun di GDM Gresik ini ia hanya diberi waktu cuma sejam.

Dia menerangkan istilah-istilah dalam Manhaj Tarjih. Dua istilah yang ia paparkan ialah mengenai qath’i al-dalalah dan zhanni al-dalalah. Kedua istilah ini penting dikaji agar mampu mengambil makna yang proporsional dalam redaksi ayat-ayat Al Quran. qath’i al-dalalah adalah nash yang memiliki makna pasti, karena dikemukakan dalam bentuk lafaz bermakna tunggal dan tidak ditafsirkan dengan makna lain. Dengan kata lain, makna yang terkandung dalam teks-teks qath’i begitu tegas, sehingga tidak isytiraq al-makna alias multi-intepretatif. Contohnya: firman Allah: “Dan bagimu separuh dari harta yang ditinggalnya istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak.” (QS. Al-Nisa: 12). Ayat ini adalah pasti, artinya, bahwa bagian suami dalam keadaan seperti ini adalah seperdua, tidak yang lain.

Berbeda dengan zhanni, ia menerangkan zhanni al-dalalah adalah kebalikan dari ayat yang bersifat qath’i (definitif). Ia terbuka bagi pemaknaan, penafsiran dan ijtihad. Biasanya, teks-teks zhanni  membutuhkan teks di luar dirinya untuk menangkap maknanya. Menurutnya, aspek inilah yang selalu menjadi pemicu lahirnya perbedaan pandangan di antara para ulama.

Ustadz Nasrullah juga menyampaikan keutamaan belajar ilmu faraidh. Dengan menguasai ilmu faraid, katanya, insya Allah dapat mencegah perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta warisan, sehingga orang yang mempelajarinya akan mempunyai kedudukan yang tinggi dan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah swt. Hal ini dijelaskan pada surat an-Nisa’ ayat 11, 12, dan 176. Juga beberapa hadits Nabi yang diriwayatkan Ibnu Majah, Imam Ahmad, at-Tirmidzi, dan al-Hakim.

Ia mengungkapkan, apa yang terjadi di zaman sebelum Islam datang tentang hukum waris ini, Hal ini dijelaskan dalam hadis Umar bin Khattab: “Demi Allah, di masa jahiliyah pra-Islam, kami tidak memberikan perhatian kepada kaum perempuan sampai Allah menurunkan wahyu tentang mereka yang berisi ketetapan Allah SWT”.  Di masa itu masyarakat jahiliyah biasa mewariskan perempuan seperti mewariskan benda-benda lain. Keluarga terdekat orang yang mati akan mewarisi jandanya bersama dengan barang-barang dan budak.

Ustadz Nasrullah menjelaskan, hukum waris tidak terlepas dari 3 unsur pokok. Ketiganya: adanya harta peninggalan atau kekayaan pewaris yang disebut warisan, adanya pewaris yaitu orang yang menguasai atas memiliki harta warisan, dan adanya ahli waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian harta warisan.

Sistem hukum kewarisan adat yang beraneka ragam pula sistemnya yang dipengaruhi oleh bentuk etnis di berbagai daerah lingkungan hukum adat. Misalnya sistem matrilinial di Minangkabau, patrilinial di Batak, bilateral di Jawa, alterneren unilateral (sistem unilateral yang beralih-alih) seperti di Rejang Lebong atau Lampung Papadon, yang diperlakukan kepada orang-orang Indonesia yang masih erat hubungannya dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, menurutnya menjadikan permasalahan tersendiri jika tidak disikapi secara bijak. (*)

Kontributor: Mahfudz Efendi

Author