Indonesia dihadapkan pada sebuah paradoks besar: sebagai negara agraris, minat generasi muda untuk masuk ke jurusan pertanian justru terus menurun. Padahal, cita-cita swasembada pangan yang diusung pemerintahan Prabowo-Gibran sangat bergantung pada regenerasi petani.
Ironisnya banyak SMK dan Kampus pertanian juga tidak laku. Bahkan ada SMK yang awalnya fokus ke pertanian perlahan melakukan reposisi ke jurusan teknik. Mereka sudah banyak yang mengibarkan bendera putih dan berganti atau menambah jurusan baru.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) secara konsisten menunjukkan bahwa mayoritas petani Indonesia berusia di atas 45 tahun. Regenerasi berjalan lambat. Jika pelajar petani dan mahasiswa petani enggan terjun, siapa yang akan memberi makan bangsa ini di masa depan?
Di SMk dan Universitas sudah menyiapkan fakultas pertanian dengan beberapa fokus keilmuan diantaranya Agribisnis (manajemen usaha pertanian), Agroteknologi (budidaya dan teknologi pertanian), Ilmu Tanah, Proteksi Tanaman (hama dan penyakit tanaman), Teknologi Hasil Pertanian (pengolahan produk pertanian), Peternakan, Perikanan/Akuakultur (budidaya air), dan Teknik Pertanian.
Jurusan-jurusan ini perlu rebranding agar diminati pelajar petani dan mahasiswa petani masa depan. Masalah mendasar: citra “sektor kuno, kotor, dan kurang cuan” serta dominasi tenaga kerja informal di hulu. Data BPS menunjukkan unit Usaha Pertanian Perorangan (UTP) 2023 masih sangat didominasi penguasa lahan sempit: 21,66 juta UTP menguasai lahan <1 hektare; total UTP 29,34 juta. Artinya skala usaha kecil masih jadi arus utama, sehingga adopsi pertanian modern sering lambat.
Di sisi pasar tenaga kerja, porsi pekerja informal nasional masih 57,95% (Agustus 2024), yang menggambarkan rendahnya perlindungan kerja dan kepastian karier—faktor yang membuat lulusan ragu memilih jurusan pertanian.
Momentum rebranding justru kuat: pemerintah menargetkan swasembada pangan dan memperkuat kementrian pertanian lewat Perpres 192/2024 dengan menambah Ditjen Lahan dan Irigasi. Isyarat kebijakan ini selaras dengan dorongan investasi pada air, lahan, dan efisiensi produksi—ruang besar bagi pertanian tepat guna dan precision agriculture (sensor IoT, drone, data) mendapat peran.
Rebranding Jurusan Pertanian
Narasi karier & income:
Pihak kampus, sekolah dan Pemerintah harus mampu menampilkan profil petani muda yang mengelola <1 ha tapi bernilai tinggi (hortikultura premium, urban farming, hidroponik). Kaitkan dengan data BPS soal struktur usaha kecil agar publik paham pasar real. Gandeng media dan influencer untuk memviralkan kisah sukses petani muda ini. Tunjukkan bahwa pertanian modern itu canggih, menggunakan drone, data, dan bisa dilakukan bahkan di lahan sempit perkotaan.
Dengan demikian generasi Z akan paham kalau negara ini membutuhkan petani yang berkemajuan dan itu ada pada generasi Z ini. Akun – akun sosial media sekolah dan kampus pertanian jangan hanya diisi pengumuman dan foto kegiatan formal saja, namun harus bisa menampilkan keasikan siswa dan mahasiswa saat berinteraksi di lahan, melakukan riset di laboratorium, menunjukkan pendapatan mereka dari hasil pertanian lahan sempit. Provokasi mereka agar berinteraksi di sosial media sekolah. pancing netizen untuk berkomentar agar mereka dekat dengan dunia pertanian.
Kurikulum tepat guna di SMK/Prodi:
Modul pertanian tepat guna, pemasaran digital, dan manajemen biaya di lahan sempit; praktik “teaching farm/factory” bersama startup agri dan offtaker harus diterapkan dalam kurikulum tersebut. pemerintah harus memberikan peluang Inovasi kurikulum agar selaras dengan kebutuhan pasar yang berubah lebih cepat. gunakan mata pelajaran yang bukan teknis menjadi satu kesatuan dengan pelajaran teknis. Semisal matematika bisa masuk dalam praktik pengukuran lahan. sehingga tanpa harus mengajar di kelas siswa sudah memahami pelajaran matematika secara langsung.
Kompetisi Inovasi:
Pemerintah maupun swasta dan BUMN pertanian bisa mengadakan kompetisi nasional bagi siswa SMK dan mahasiswa dengan tema pertanian tepat guna dan pertanian agroteknologi. Hadiah berupa modal usaha atau beasiswa akan menjadi daya tarik utama.
Membangun Ekosistem Berkelanjutan
Modernisasi Kurikulum:
Kurikulum jurusan pertanian harus dirombak total. Wajibkan mata kuliah seperti analisis data, bisnis digital, manajemen agrowisata, dan teknologi pertanian berkelanjutan. Lulusan harus menjadi manajer dan inovator, bukan sekadar pekerja lapangan.
Jaminan Pasca-Lulus:
Pemerintah perlu menciptakan skema khusus bagi lulusan pertanian, seperti kemudahan akses kredit tanpa agunan untuk memulai usaha, atau prioritas dalam program reforma agraria untuk alokasi lahan. Ini menjawab kekhawatiran terbesar: ketidakpastian ekonomi.
Sinergi dengan Program Pangan Nasional:
Kaitkan langsung kurikulum dengan program strategis pemerintah. Lulusan pertanian agroteknologi harus menjadi garda terdepan dalam proyek lumbung pangan (food estate) dan program intensifikasi pertanian lainnya.
Ekosistem inovasi daerah:
Inkubator pertanian modern lintas SMK–kampus–UMKM untuk varietas unggul, mekanisasi ringan, dan pascapanen; targetkan klaster komoditas sesuai agroekologi agar bisa langsung dirasakan di masyarakat lokal.
Manfaatkan penguatan lahan–air (Perpres 192/2024) untuk memperluas irigasi presisi, rainwater harvesting, dan rehabilitasi jaringan; jadikan kampus/SMK pusat transfer teknologi ke kelompok tani. Proyek ini bisa dimulai dari Pemerintah maupun BUMN dan Swasta dengan pembiayaan CSR.
Rebranding ini bukan sekadar mengganti “bungkus”, tetapi mengubah isi dan menjamin masa depan lulusannya. Dengan cara ini, menjadi seorang ahli pertanian akan sama bergengsinya dengan menjadi seorang ahli teknologi dirgantara, sekaligus menjadi pahlawan ketahanan pangan bangsa. Pertanian tidak akan hilang, tapi petani bisa hilang karena gengsi generasi.