Sejarah Karinding, Dahulu Jadi Teman Petani Saat Beraktivitas di Sawah

BANDUNGMU.COM, Bandung – Karinding merupakan salah satu alat musik tradisional Sunda dari Jawa Barat dan Banten yang cara memainkannya disentil oleh ujung telunjuk sambil ditempel di bibir. Alat musik ini termasuk dalam jenis lamelafon atau idiofon. Biasanya dibuat dari bahan pelepah aren atau dari bambu.

Karinding menurut bahasa Sunda teridiri atas kata Ka Ra Da Hyang yang artinya dengan diiringi oleh doa sang mahakuasa. Ada juga yang mengartikan Ka = sumber dan Rinding = bunyi jadi artinya sumber bunyi.

Buku ”Sejarah Karinding Priangan” memotret secara lengkap kisah-kisah sejarah karinding yang ada di Priangan dan Banten. Kisahnya dituliskan sejak kemunculannya dalam naskah-naskah kuno, foklor-foklor yang muncul di berbagai daerah di Priangan dan Banten, hasil-hasil perekaman pertama karinding tahun 1893, 1920-an, 1968, 1970-an, 1980, 1990-an, dan tahun 2000-an, hingga kemudian dibangkitkan kembali secara massal melalui munculnya Giri Kerenceng dan Karinding Attack.

Di wilayah lain di Indonesia pun terdapat alat musik semacam karinding dengan berbagai macam nama dan cara memainkannya yang berbeda-beda. Misalnya Riding (Cirebon), Rinding (Jawa Tengah), Genggong (Bali), Slober (Lombok), Pikon (Papua), Dunga (Sulawesi), Karindang (Kalimantan), dan Sagasaga (Sumatera).

Ada juga beberapa tempat di luar negeri menamainya dengan jewsharp. Namun, Karinding dari masyarakat suku Sunda memiliki perbedaan yang tidak dimiliki oleh sejenis alat musik tersebut di Indonesia.

Karinding saat ini banyak di lestarikan oleh masyarakat suku Sunda dari Jawa Barat dan Banten tempat mereka berasal. Menurut bahasa Sunda, Karinding yaitu yang berarti Ka ”sumber” dan Rinding ”suara”.

Sejarah

Fungsi awal karinding merupakan alat pengusir rasa bosan para petani pada saat menunggu padi di sawah dari serangga atau burung pemakan padi. Perkembangan berikutnya adalah sebagai fungsi sosial, yaitu sebagai salah satu bagian dari kekayaan alat musik tradisional masyarakat Sunda.

Di balik fungsi kaulinan (permainan) bagi para petani, ternyata suara yang dihasilkan karinding, menurut Lina Herlinawati dalam tulisannya berjudul “Fungsi Karinding bagi Masyarakat Cikalongkulon Kabupaten Cianjur ” (2009), adalah suara dengan tingkat yang jelas ”menggunakan” yang rendah atau rendah decible.

Suara dengan tingkat kebakaran seperti itu disebut ultrasonik, yang getarannya hanya bisa didengar oleh serangga, binatang sejenis hama, seperti wereng, simeut (belalang), jangkrik, dan sebagainya.

Konon, karinding merupakan salah satu alat yang telah digunakan karuhun (nenek moyang) sejak sebelum ditemukannya alat musik tradisional kacapi  Usia kacapi sendiri sudah mencapai lebih dari 500 tahun yang lalu. Jadi, usia usia alat musik tradisional karinding sudah lebih tua dari 600 tahun.

Di kalangan rakyat umum, karinding adalah alat musik pertanian dan alat ritual yang dimainkan dalam berbagai acara. Di kalangan para pemuda Tatar Sunda, karinding populer sebagai alat musik pergaulan. Di Banten, karinding dimainkan sebagai alat musik permainan anak-anak.

Pada hubungan mataram dan cirebon, alat musik karinding dipelajari oleh Sunda untuk mengusir hama sawah. Ada beberapa tempat yang biasa membuat karinding, seperti di lingkung Citamiang, Pasirmukti, Cineam (Tasikmalaya), lingkung Karinding Sadulur (Kasalur), Cikunten Mangkubumi (Tasikmalaya), Lingkung Karinding Tunggal Ciamis, Lewo Malangbong (Garut), dan Cikalongkulon (Cianjur) yang dibuat dari pelepah kawung (enau).

Di Limbangan dan Cililin, karinding dibuat dari bambu, dan yang menggunakannya adalah para perempuan, dilihat dari bentuknya saperti tusuk biar mudah ditusukan di sanggul rambut. Bahan enau kebanyakan dipakai oleh lelaki, bentuknya lebih pendek biar bisa diselipkan dalam wadah rokok. Bentuk karinding ada tiga ruas.

Cara memainkan

Karinding diletakkan di bibir, lalu bagian pemukulnya agar tercipta resonansi suara. Karindng biasanya dimainkan secara solo atau grup (berisi 2 sampai 5 orang). Seroang di antaranya disebut pengatur nada atau pengatur ritem. Di daerah Ciawi, dulunya karinding dimainkan bersamaan takokak (alat musik bentuknya mirip daun).

Secara konvensional menurut penuturan Abah Olot, nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada empat jenis, yaitu tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan.

Karinding yaitu alat buat mengusir hama di sawah. Suara yang dihasilkan dari getaran jarum karinding biasanya bersuara rendah low decible. Suaranya dihasilkan dari gesekan pegangan karinding dan ujung jari yang ditepuk-tepakkan.

Suara yang keluar biasanya terdengar seperti suara wereng, belalang, jangkrik, burung, dan lain-lain. Yang zaman sekarang dikenal dengan istilah ultrasonik.

Biar betah di sawah, cara membunyikannya menggunakan mulut sehingga resonansinya menjadi musik. Sekarang karinding biasa digabungkan dengan alat musik lainnya.

Bedanya membunyikan karinding dengan alat musik jenis mouth harp lainnya yaitu pada tepukan. Kalau yang lain itu disentil. Kalau cara ditepuk dapat mengandung nada yang berbeda-beda. Ketukan dari alat musik karinding disebutnya Rahel, yaitu untuk membedakan siapa yang lebih dulu menepuk dan selanjutnya. Yang pertama menggunakan rahèl kesatu, yang kedua menggunakan rahel kedua, dan seterusnya.

Biasanya suara yang dihasilkan oleh karinding menghasilkan berbagai macam suara, di antaranya suara kendang, goong, saron bonang atau bas, ritem, melode, dan lain-lain.

Bahkan karinding bisa membuat lagu sendiri sebab cara menepuknya beda dengan suara pada mulut yang bisa divariasikan bisa memudahkan kita dalam menghasilkan suara yang warna-warni. Kata orang tua dahulu, dulu menyanyikan lagu bisa pakai karinding. Kalau kita sudah mahir mainkan suara karinding, pasti akan menemukan atau menghasilkan suara buat berbicara, tetapi suara yang keluar seperti suara robotik.***

____

Sumber: Wikipedia

Editor: FA



sumber berita ini dari bandungmu.com

Author