Menghadapi krisis Covid-19 yang berdampak pada dunia pendidikan, Asosiasi Kantor Urusan Internasional Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah menggelar diskusi “ASKUI TALK: Covid-19 and Its Impact to Indonesian’s Higher Education”, Kamis (9/4).
Disiarkan oleh tv.suryaformosa.com PCIM Taiwan, ahli dan para praktisi pendidikan yang tergabung dalam diskusi webinar itu saling berbagi mengenai respon pemerintah di Malaysia, Indonesia dan Taiwan terhadap kebijakan pendidikan setempat.
Wakil Bendahara Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah Ahmad Muttaqin menyatakan hasil diskusi akan digunakan sebagai masukan terhadap kebijakan pengembangan pendidikan Muhammadiyah di masa darurat.
“Muhammadiyah berusaha mengkampanyekan protokoler kesehatan, termasuk melakukan aksi nyata melalui berbagai amal usaha dan ortomnya. Semua lembaga pendidikan Muhammadiyah beralih pada pembelajaran online. Sementara semua praktik profesi harus ditunda sampai wabah selesai,” ujar Ahmad Muttaqin.
Dari data Majelis Diktilitbang menurut Ahmad tercatat lebih dari 50 universitas Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang berusaha memaksimalkan peran pelayanan masyarakat di tengah pandemi mulai dari pembagian handsanitizier, penyuluhan, pencetakan sosialisasi kesehatan, hingga penyediaan psikolog.
“Kami juga melakukan fundraising. Muhammadiyah telah memetakan itu melalui Gugus Tugas Muhammadiyah (MCCC) sampai dengan berbagai risetnya. Kami punya banyak prodi dari psikologi sampai kesehatan umum untuk digunakan di tengah krisis. Masalah utama adalah regulasi,” imbuhnya.
Berkaca Pada Malaysia dan Taiwan
Menyambung Ahmad, Kepala Head of Internationalisation and Global Network AIKOL International Islamic University Malaysia (IIUM) Prof. Sonny Zulhuda menjabarkan bahwa sejak ditemukan kasus Covid-19 pertama di Malaysia, Pemerintah langsung melakukan lockdown pada 18 Maret.
“IIUM punya 5 ribu mahasiswa dari 100 negara berbeda. Respon tegas dari Pemerintah, universitas dan sekolah semuanya tutup. Selain tunjangan bagi para pegawai sebesar RM 500,” terang Sonny.
“Menteri Pendidikan Datuk Noraini juga menjamin penyediaan makanan tiga kali sehari untuk mahasiswa yang terlockdown di kampus, jaminan tunjangan universitas diprioritaskan untuk mahasiswa yang tidak bisa pulang.
Pembelajaran online diberlakukan, tetapi Kementerian tidak mewajibkan pembelajaran harus dilakukan bersama-sama pada satu waktu, melihat konteks, prioritas dan koneksi internet di rumah para mahasiswa masing-masing,” urai Sony.
Menanggapi Ahmad dan Sonny, Dekan International College Asia University Taiwan Prof. Yingchui Chen menjelaskan bahwa meskipun pembelajaran di Taiwan beralih secara online, sebagai pengecualian kegiatan praktik laboratorium para mahasiswa tidak dihentikan dengan aturan dan rekomendasi kesehatan yang ketat.
“Gerakan pertama Pemerintah Taiwan dalam dunia pendidikan adalah menutup siswa dari China. Selanjutnya yang paling penting di Taiwan adalah kamera dan thermografi. Kita wajib memakai masker dan ini terbukti telah menolong kita. Yang tidak patuh dilarang menggunakan fasilitas publik. Kesadaran masyarakat adalah kunci utama membuat regulasi,” ungkap Chen.
Sebelum ada kasus di Taiwan, Pemerintah menurut Chen juga telah melibatkan tiga universitas modern untuk melakukan jejak pendapat dan melakukan berbagai himbauan. Lima puluh universitas lain yang ada di Taiwan pun aktif untuk saling berbagi informasi berbeda mengenai Corona.
“Transparansi (pemerintah) adalah kewajiban moral yang harus ada dalam krisis ini. Saya percaya Muhammadiyah melakukan pekerjaan yang sempurna sejauh ini,” puji Chen.
berita ini juga diterbitkan di muhammadiyah.or.id