GIRIMU.COM — Tidak ada gunting pita atau aksi melepas balon udara pagi itu. Dalam hitungan tiga, lima busur terangkat bersamaan, lalu suara twang pecah di udara. Anak-anak panah pun melesat serentak, menandai pembukaan peringatan ganda di Perguruan Muhammadiyah Cerme: Milad ke-113 Muhammadiyah sekaligus Hari Guru Nasional 2025 yang dihelat pada Senin (24/11/2025).
Sejenak, lapangan menjadi hening sebelum tawa kecil dan renyah pecah. Ini momen sederhana yang tiba-tiba terasa lebih hangat daripada seremoni apa pun.
Aksi simbolis ini berlangsung di lapangan Perguruan Muhammadiyah Cerme, kompleks pendidikan yang menaungi SD Al-Islam Cerme, SMP Muhammadiyah 7 Cerme, SMA Muhammadiyah 8 Gresik, dan SMK Muhammadiyah 3 Gresik. Pagi itu, matahari masih terlihat rendah ketika seluruh civitas akademika, seperti guru dan siswa dari empat jenjang pendidikan berkumpul dalam satu barisan.
Di garis paling kanan, Iqbal Dhohari, MPd, Ketua Majelis Dikdasmen dan PNF PCM Cerme, menarik busur panah sambil memastikan semua siap. Di sebelahnya, Hasan Abidin, Kepala SMKM 3 Gresik menyesuaikan pijakan kaki. Sementara Emi Faizatul Afifah, MSi, Kepala SMAM 8 Gresik, menarik tali busur dengan gerakan pelan, namun mantap. Yuli Kusminarsih, SPd Kepala SMPM 7 Cerme dan Cicik Indrawati, SAg, Kepala SD Al-Islam Cerme saling bertukar senyum, seperti dua orang yang tahu mereka sedang mencoba sesuatu untuk pertama kalinya.
Pada aba-aba ketiga, lima anak panah terlepas sccara bersamaan. Tidak semuanya menancap tepat di tengah pafa titik sasaran, dan justru itu yang memecah ketegangan. Setelah jeda singkat, terdengar suara spontan dari depan, Hasan lebih dulu meminta ulang, disambut cepat oleh Emi yang berkata, “Sekali lagi ya, biar mantap.”
Permintaan itu bersautan, hampir berurutan: Yuli pun mengangkat tangan sambil tertawa, disusul anggukan pelan dari Cicik yang tak mau ketinggalan. Dalam waktu kurang dari satu menit, mereka kembali bersiap menarik busur, hingga dua sampai tiga kali tembakan tambahan dilakukan, bukan karena kewajiban seremoni, melainkan karena rasa penasaran yang muncul begitu alami.
Panahan dipilih bukan sekadar sebagai variasi acara, tetapi sebagai simbol yang menyatukan dua makna, yakni perjalanan panjang 113 tahun Muhammadiyah, dan dedikasi para guru yang setiap hari melepas “anak panah” bernama ilmu menuju arah yang benar. Bagi para pimpinan yang mayoritas baru kali pertama memanah, momen itu menjadi refleksi sederhana tentang keberanian mencoba hal baru bersama-sama.
Panah-panah terakhir dibiarkan tetap menancap di papan sasaran menjadi penanda, bahwa pembukaan tidak hanya selesai, tetapi dihidupkan. Seperti pendidikan itu sendiri, selalu ada kesempatan kedua, bahkan ketiga, selama belum berhenti belajar saat menghitung sampai tiga. (*)
Kontributor: Liset Ayuni






