Oleh NURBANI YUSUF
Pendidikan nasional telah kehilangan visi. Untuk apa terus diikuti? Muhammadiyah menjawab setiap problem keumatan dan kebangsaan dengan karya dan kerja keras.
Seyogyanya sudah tidak lagi ada visi rektor, visi direktur, visi kepala sekolah, visi ketua, visi pengurus atau majelis dan lainnya. Semua bergerak dalam satu saf yang rapat dan sepemikiran: visi Muhammadiyah!
Tak ada kata-kata kritik untuk kemandirian perkoempoelan yang digagas Kyai Ahmad Dahlan lebih 100 tahun ini. Semua yang dia gagas dan dilakukan seakan menjadi obor di tengah kegelapan. Kyai Dahlan seperti hendak menjawab tesis Syaikh Abduh tentang Islam tertutup oleh umatnya, al Islamu mahjubun bil muslimiin. Untuk apa mengekor? Bukankah sejak awal Muhammadiyah adalah pelopor dan pembaharu?
Kita juga butuh figur yang berani mendobrak rutinitas monoton untuk menghasilkan lompatan kemajuan dalam pendidikan. Dan Kyai Dahlan telah melakukan dengan penuh keberanian. Dia telah membuka hijab jumud yang menutupi Islam dengan berbagai risiko yang bermunculan.
Pendidikan di negeri ini stagnan selama hampir dua atau tiga tahun terakhir dan menuju ke banyak mudharat. Mungkin karena yang mengurus pendidikan tak punya konsep dan tak paham apa itu hakikat pendidikan. Kita tidak punya filusuf pendidikan sekelas Prof. Daoed Joesoef atau Prof. Fuad Hasan.
Maaf, pendidikan sekarang cenderung berbasis proyek dan suka berubah tapi tidak substantif, kehilangan ruh, banyak mata pelajaran, sarat konten tapi tidak berguna. Kita butuh perubahan “radikal” untuk mengurai benang kusut yang membelit pendidikan saat ini.
Ironisnya, Muhammadiyah yang di awal berdirinya jadi pelopor perubahan pendidikan, malah mengekor ke pemerintah dan lebih buruk karena sumber pembiayaan terbatas. Padahal, persyarikatan ini sudah punya model pendidikan modern-klasik yang sudah teruji, yakni Mu’alimin.
Mu’alimin adalah bukti konkret, bahwa Muhammadiyah telah mampu mandiri membangun sistem, visi dan model pendidikan yang tidak bergantung pada kebijakan penguasa dan kemampuan melakukan adaptasi yang tinggi dengan tidak meninggalkan regulasi. Ini pikiran utamanya. Mestinya Mu’alimin itu yang dijadikan model dan rujukan semua sekolah Muhammadiyah, bukan model pendidikan pemerintah yang “modern” tapi berisik atau mencari model baru yang belum teruji.
Saya optimistis, ke depan Muhammadiyah memiliki kemampuan dan potensi melakukan rekonstruksi dan menawarkan model pendidikan alternative. Hal itu sebagaimana gagasan Kyai Dahlan pada awal berdirinya, dengan memadukan ilmu umum (ilmu sekuler) dan ilmu agama dalam satu atap. Meski pada awalnya banyak dicerca, namun pada akhirnya dijadikan model pendidikan nasional.
Muhammadiyah mempunyai kemandirian itu. Sekarang tinggal bagaimana mengelola menjadi sebuah kekuatan perubahan dan gerakan nasional pendidikan dalam satu saf yang rapat, se-pemikiran, sevisi, se-manhaj dan setujuan. Dengan demikian, tidak ada lagi: visi rektor, visi kepala sekolah, visi direktur, visi ketua, visi pengurus dan lainnya. Semuanya begerak sepemikiran dalam satu visi: visi Muhammadiyah.
Peran kemandirian ini harus diambil kembali, bukan mengekor apalagi menghamba kepada pemerintah. Kalaupun harus melibatkan pemerintah, mesti diposisikan sebagai mitra yang duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Muhammadiyah punya modal sosial dan modal politik berbasis keumatan yang menjadi teladan (khairu umah). Dan, yang terpenting, Muhammadiyah memiliki tradisi sebagai pembaharu.
Bukankah pikiran-pikiran brilian kerap lahir dari rahim perkoempoelan ini? Sebut saja, misalnya gagasan kampus terpadu Prof. Malik Fadjar yang menginspirasi banyak kampus di seluruh negeri. Kemudian disusul ide rumah sakit kampus dan hotel kampus,taman wisata kampus, juga SPBU, agar kampus mandiri dari sisi finansial. Itu semua menegasi, bahwa Muhammadiyah mampu menyuguhkan banyak model pendidikan yang teruji dan telah terbukti. Model pendidikan yang ditawarkan Muhammadiyah masih sangat kokoh dan relevan dengan kebutuhan zaman. Sebab, Muhammadiyah mempunyai banyak kader potensial dengan pikiran brilian. Happy Milad, Muhammadiyah (*).
*) Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Malang, Ketua PDM Kota Batu, Penggerak Komunitas Padhang Makhsyar.