Sarjana Jangan Berjarak dengan Masalah yang Dihadapi Rakyat

banner 468x60

MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Jumlah sarjana di Indonesia terus mengalami penambahan, akan tetapi melimpahnya jumlah sarjana di Indonesia tidak sejalan dengan penyelesaian persoalan-persoalan di masyarakat. Alih-alih menjadi solusi, para sarjana seakan berada di atas menara gading.

Menurut Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, kenyataan yang terjadi di Indonesia sampai sejauh ini belum terlihat peran para sarjana dalam permasalahan yang dihadapi masyarakat. Produk-produk akademik yang dihasilkan oleh sarjana tidak kontekstual, dan cenderung genit dengan istilah-istilah yang ‘melangit’.

“Banyak sarjana, doktor, profesor dan akademisi yang seakan malah berjarak dengan masalah dan realitas yang dihadapi rakyat. Penelitian mereka juga tidak kontekstual sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi rakyat,” tutur Busyro pada (22/8) di acara Kultum setelah Salat Dhuhur bersama Karyawan Kantor PP Muhammadiyah di Yogyakarta.

Busyro menceritakan, teori-teori yang berkembang dan digunakan di lingkungan kampus seringkali juga asal pakai. Akademisi jarang mendalami dan mengkontekstualisasikannya dengan kondisi real di sekelilingnya. Termasuk dalam penggunaan teori-teori yang berasal dari luar, dengan bahasa atau istilah-istilah yang ‘melangit’, akademisi sering langsung ‘menelannya’.

Kenyataan tersebut menjadikan teori atau produk penelitian yang dihasilkan oleh akademisi sulit diimplementasikan di masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan sering eksklusif, tidak semua kalangan bisa mengakses dan dapat memahami produk akademik yang dihasilkan melalui proses yang tidak murah itu.

Hal itu menjadikan perguruan tinggi hanya mencetak sarjana, sebagai pabrik sarjana. Orientasi sarjana setelah melalui proses belajar yang mereka lakukan selama 4 tahun atau lebih hanya sebagai bekal untuk mencari pekerjaan, mereka sering lupa peran sosial yang dimilikinya.

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi RI ini menyarankan kepada mahasiswa supaya belajar bukan hanya di bangku perkuliahan, sebab media atau tempat belajar bukan hanya di dalam kelas. Belajar kehidupan bisa dilakukan dimanapun, dan gurunya bisa dari siapapun. Output dari model belajar seperti ini adalah bentuk kesyukuran dan keberpihakan.

“Untuk melahirkan syukur dan keberpihakan, kita juga bisa belajar ke guru-guru kehidupan, seperti tukang parkir dan tukang becak. Agar kita ini tidak berjarak dan bahkan berlepas dari realitas masalah yang dihadapi oleh rakyat,” ucapnya.



sumber berita ini dari muhammadiyah.or.id

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *