Yogyakarta, InfoMu.co – Dari sisi periwayatan dan sumbernya, hadis diklasifikasikan menjadi empat bentuk, yaitu: hadis qudsi yang bersumber dari Allah; marfu’ yang bersumber dari Nabi Saw; mauquf yang bersumber dari Sahabat; dan maqthu’ yang bersumber dari Tabiin. Dalam diskursus hadis, pembagian ini menunjukkan bahwa apa yang dimaksud dengan hadis, tidak hanya bersumber dari Rasulullah an sich. Lantas, bagaimana hukumnya menjadikan mauquf sebagai hujjah?
Dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (15/02), Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Tarjih Syamsul Anwar menerangkan bahwa mauquf berarti terhenti atau tidak sampai. Sehingga, hadis mauquf ialah perkataan atau perbuatan yang tidak sampai kepada Rasulullah Saw melainkan bersumber pada Sahabat. Secara umum, kategori mauquf ini sering diatribusikan sebagai hadis dlaif atau kualitas hadis yang masih lemah untuk sampai ke Rasulullah.
Di dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah, terdapat beberapa kaidah hadis yang menyangkut boleh tidaknya menggunakan hadis mauquf sebagai hujjah. Pertama, kaidah: hadis mauquf murni tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut Syamsul, berdasarkan kaidah ini, perkataan atau perbuatan Sahabat tidak bisa menjadi patokan untuk menentukan hukum terutama dalam ibadah. Misalnya, pandangan para Sahabat tentang jumlah rakaat salat tarawih.
Kedua, kaidah: hadis mauquf yang termasuk ke dalam kategori marfu’ dapat dijadikan hujjah. Syamsul menerangkan bahwa perkataan atau perbuatan Sahabat yang memiliki indikasi bersumber dari Rasulullah, maka dapat dijadikan sumber hukum. Dengan kata lain, hadis mauquf dapat dijadikan hujjah apabila tercantum kata-kata yang menunjukkan kemungkinan hal tersebut berasal dari Rasulullah. Misalnya, pernyataan Ummu ‘Athiyyah: “Kita diperintahkan supaya mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haid pada Hari Raya”.
Karena hadis mauquf sering diatribuskan sebagai hadis dlaif, maka kaidah hukum ketiga berbunyi: Hadis-hadis dlaif yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis shahih.
Berdasarkan kaidah di atas, Syamsul menerangkan bahwa pada prinsipinya hadis dlaif tidak dapat dijadikan hujjah. Namun ada suatu perkecualian di mana hadis dlaif bisa juga menjadi hujah, yaitu apabila hadis tersebut: 1) banyak jalur periwayatannya sehingga satu sama lain saling menguatkan, 2) ada indikasi berasal dari Nabi saw, 3) tidak bertentangan dengan al-Quran, 4) tidak bertentangan dengan hadis lain yang sudah dinyatakan sahih, 5) kedaifannya bukan karena rawi hadis bersangkutan tertuduh dusta dan pemalsu hadis. (muhammadiyah