BANDUNGMU.COM, Bandung – Diskusi mengenai tobat pelaku zina yang belum menjalani hukuman sering menjadi topik perdebatan di tengah masyarakat. Dalam hukum Islam, penting dipahami bahwa penetapan hukuman adalah wewenang hakim atau qadli, bukan individu.
Hakim menetapkan hukuman berdasarkan dua hal utama: pengakuan pelaku atau kesaksian empat orang saksi yang memenuhi syarat. Mekanisme ini telah disepakati oleh para ulama melalui konsensus (ijma’) sebagai dasar penerapan hukum.
Namun, terdapat perbedaan pandangan mengenai jumlah pengakuan yang diperlukan. Sebagian ulama berpendapat bahwa pengakuan harus dilakukan sebanyak empat kali di hadapan hakim, sebagaimana kisah Maiz, seorang lelaki yang mengaku berzina hingga empat kali setelah selesai salat di masjid. Rasulullah akhirnya menerima pengakuan tersebut dan memerintahkan pelaksanaan hukuman.
Di sisi lain, ada pendapat bahwa satu kali pengakuan sudah cukup. Pendapat ini didasarkan pada riwayat seorang perempuan yang mengaku berzina, di mana Rasulullah langsung memerintahkan hukuman tanpa menyebutkan jumlah pengakuan.
Dalam kedua pandangan ini, hakim dituntut untuk berhati-hati dan melakukan penyelidikan mendalam terhadap kebenaran pengakuan. Rasulullah sendiri mencontohkan kehati-hatian ini, seperti yang diriwayatkan dalam hadis Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah.
Dalam kisah tersebut, seseorang mengaku dosa zina hingga empat kali dan bersumpah sebanyak itu. Kehati-hatian diperlukan untuk memastikan keadilan dan mencegah kesalahan dalam penerapan hukum.
Terkait tobat, para ulama sepakat bahwa penerimaan tobat sepenuhnya merupakan hak Allah. Berdasarkan riwayat Ubadah bin Shamit, Rasulullah menjelaskan bahwa pelaku dosa besar, seperti zina, yang menjalani hukuman di dunia, dosanya akan terhapus.
Namun, jika dosa tersebut tidak diketahui manusia dan pelaku tidak dihukum, urusannya diserahkan kepada Allah. Allah memiliki wewenang penuh untuk menghukum atau mengampuni.
Bagi pelaku zina yang bertobat sebelum hukuman dijalankan, harapan pengampunan tetap ada. Tobat yang tulus harus memenuhi syarat, yaitu menyesali perbuatan, berhenti sepenuhnya, dan bertekad untuk tidak mengulanginya. Dalam hal ini, meskipun hukum dunia belum dijalankan, pintu ampunan Allah tetap terbuka bagi siapa saja yang bersungguh-sungguh dalam bertobat.
Hukum Islam menekankan keseimbangan antara ketegasan aturan dunia dan kasih sayang Allah yang tak terbatas. Penegakan hukum menjadi tanggung jawab hakim, sedangkan pengampunan adalah hak prerogatif Allah.
Kasus ini mengajarkan pentingnya introspeksi diri, kehati-hatian dalam menegakkan hukum, serta keyakinan pada rahmat Allah yang melampaui segala dosa, selama manusia tulus dalam bertobat.***
___
Sumber: muhammadiyah.or.id
Editor: FA