BANDUNGMU.COM, Balikpapan – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan bahwa presiden kelima Indonesia yakni Megawati Soekarnoputri bukan orang asing di lingkungan Muhammadiyah. Pasalnya, orang tua Megawati dahulu—Soekarno dan Fatmawati—merupakan kader Muhammadiyah.
”Bung Karno merupakan anggota resmi Muhammadiyah. Ketika di Bengkulu, beliau resmi menjadi pimpinan Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah,” tutur Haedar Nashir saat memberikan kata sambutan dalam pembukaan Pembukaan Muktamar XVIII Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada Rabu (22/03/2023).
Ketika menutup Muktamar setengah abad Muhammadiyah pada 1962 Bung Karno berkata bahwa semakin lama dirinya semakin cinta Muhammadiyah. Bahkan Bung Karno sempat menyesalkan kenapa setelah dia menjadi presiden Republik Indonesia tidak pernah lagi ditarik iuran anggota Muhammadiyah.
Bung Karno, kata Haedar Nashir, memberikan kesaksian bahwa sudah lama dirinya, selain menjadi anggota Muhammadiyah, dirinya juga ”ngintil”. Artinya ngintil itu dzawilqurba. Bung Karno menjadi murid spiritual dan intelektual dari pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan.
”Sejak beliau bertemu usia 18 tahun di Surabaya di rumahnya HOS Cokroaminoto. KH Ahmad Dahlan-lah yang mengajarkan agama sampai dia mengatakan ’Saya masuk Muhammadiyah karena sesuai dengan alam pikiran punya saya yakni Islam progresif (atau Islam berkemajuan),’” ungkap Haedar Nashir yang disambut tepuk tangan hadirin.
Begitu juga Fatmawati yang merupakan kader Muhammadiyah, tentu semua orang juga mengetahuinya bahwa beliau adalah putri dari Hasan Din yang adalah tokoh dan konsul Muhammadiyah Bengkulu. Fatmawati merupakan aktivis Nasyiatul Aisyiyah.
Pada 04 Januari 1946 saat ibu kota Republik Indonesia pindah sementara ke Yogyakarta, Bung Karno mengundang tokoh-tokoh Aisyiyah, antara lain Hayyinah, Badilah Zubair, dan lain-lain, ke Istana Gedung Agung Yogyarkarta.
Di istana tersebut, imbuh Haedar Nashrir, rupanya Bung Karno menyampaikan bahwa bawalah dan ajaklah Fatmawati untuk aktif kembali di Aisyiyah. Saat itu juga Fatmawati bercerita bahwa ketika dirinya menjahit bendera merah putih untuk Proklamasi Kemerdekaan dirinya seraya menyenandungkan lagu ”Nasyiahku Sayang”.
”Itu adalah jejak sejarah yang masih berlangsung hingga hari ini sebagai sebuah spirit untuk anak-anakku sekalian bahwa dua tokoh ini, juga KH Ahmad Dahlan dan Nyai Dahlan, merupakan para negarawan yang memiliki basis pemikiran, selain nasionalisme, juga religiusitas keislaman Muhammadiyah,” tandas Haedar Nashir.***