Sebagai pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan menyiapkan berbagai fondasi penting menuju kemerdekaan Indonesia, mencakup pengembangan sumber daya manusia serta pemerataan akses di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan agama. Ia juga menjadi pelopor pemikiran Islam modern yang adaptif, dinamis, dan progresif.
Keberhasilan Muhammadiyah melahirkan banyak Pahlawan Nasional menunjukkan betapa besar kontribusi beliau. Atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada KH Ahmad Dahlan melalui Keputusan Presiden Nomor 657 Tahun 1961.
Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan)
Sebagai istri KH Ahmad Dahlan, Siti Walidah turut berperan penting dalam perjuangan Muhammadiyah, terutama dalam merintis peran perempuan yang lebih modern, aktif, dan luas di ranah publik, agama, dan perjuangan nasional. Ia meyakini bahwa perempuan harus terdidik dan tidak terkungkung oleh batasan konservatisme serta peran domestik semata. Untuk mewujudkan visi ini, ia mendirikan organisasi Aisyiyah. Atas jasa-jasanya, Siti Walidah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 22 September 1971 melalui SK Nomor 042/TK/1971.
Sukarno
Sebagai Ketua Bagian Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu, Sukarno tidak hanya dikenal sebagai proklamator, tetapi juga sebagai Presiden pertama Republik Indonesia. Di kancah internasional, ia berperan besar melalui Gerakan Non-Blok (GNB) yang dicetuskan dalam Konferensi Asia-Afrika. Atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Proklamator pada 1986 dan gelar Pahlawan Nasional pada 2012.
Fatmawati
Sebagai aktivis Nasyiatul Aisyiyah Bengkulu dan istri Sukarno, beliau terlahir dari keluarga yang aktif dalam Muhammadiyah dan Aisyiyah, dengan ayah dan ibunya sebagai aktivis militan. Ia dikenal sebagai penjahit pertama bendera Merah Putih, yang dikibarkan pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Atas jasanya, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2000 melalui Keppres RI Nomor 118/TK/2000.
Jenderal Soedirman
Jenderal bintang lima pertama di Indonesia ini merupakan anggota pandu Hizbul Wathan Muhammadiyah dan pernah mengajar di HIS (SD) Muhammadiyah di Cilacap. Dikenal sebagai Bapak TNI, ia memimpin TKR dalam pertempuran Ambarawa, menggerakkan PETA untuk melucuti senjata Jepang, mendirikan BKR, serta memimpin gerilya selama Agresi Militer II pada 1948-1949. Atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada 10 Desember 1964 melalui Keppres Nomor 314 Tahun 1964.
Soetomo
Sebagai pendiri Budi Utomo, beliau juga aktif sebagai anggota PKO dan penasihat bidang kesehatan Muhammadiyah sejak 1925. Ia turut mendirikan RS Muhammadiyah Surabaya untuk memperluas layanan kesehatan. Pemerintah menganugerahkannya gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Keputusan Presiden RI Nomor 657/1961.
Haji Agus Salim
Agus Salim, yang di masa KH Ahmad Dahlan merupakan anggota Muhammadiyah, berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selain tergabung dalam BPUPKI, ia memimpin beberapa misi diplomatik ke Timur Tengah pada 1947 dan menjadi wakil Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dalam beberapa kesempatan. Atas jasa-jasanya, Agus Salim dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 657 pada 27 Desember 1961.
Mas Mansur
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1937-1942 ini merupakan anggota kelompok Empat Serangkai bersama Hatta, Sukarno, dan Ki Hajar Dewantara. Selama masa pendudukan Jepang, beliau pernah memimpin organisasi Putera. Mas Mansyur dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Nomor 162 Tahun 1964 pada 26 Juni 1964.
Djuanda Kartawidjaja
Digelari sebagai Bapak Maritim lewat Deklarasi Djuanda. Dengan latar belakang pengurus Muhammadiyah Tasikmalaya dan guru SMA Muhammadiyah Kramat, Jakarta, Djuanda juga memelopori dunia penerbangan nasional. Beliau pernah menjabat sebagai Menhub, Menkeu, Menhan, dan Menteri PU. Djuanda diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional lewat Keppres Nomor 244 Tahun 1963.
Haji Fachrodin
Haji Fachrodin merupakan tokoh pers dan pendiri Suara Muhammadiyah. Beliau juga merupakan perintis Badan Penolong Haji Indonesia dan aktif dalam dunia politik melalui CDI dan PSI. Selain itu, Haji Fachrodin juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Atas kontribusinya, pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 162 Tahun 1964.
Otto Iskandar Dinata
Dikenal sebagai Si Jalak Harupat, Otto adalah seorang guru di SMA Muhammadiyah Kramat Jakarta. Ia juga pernah menjadi anggota BPUPKI dan berperan penting dalam mempersiapkan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usulnya agar Sukarno dan Hatta dipilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden diterima secara aklamasi dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945. Atas jasanya, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Kepres Nomor 088/TK/1973 pada 6 November 1973.
Andi Sultan Daeng Radja
Aktivis Muhammadiyah Bulukumba ini merupakan peserta Kongres Pemuda 1928 dan inisiator PPNI. Beliau juga menjadi wakil Sulawesi Selatan dalam sidang PPKI. Sepanjang hidupnya, beliau terlibat dalam perjuangan gigih melawan kolonialisme di Indonesia. Atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 085/TK/2006.
Teuku H Muhammad Hasan
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam Kabinet Darurat 1948-1949 ini merupakan Konsul pertama Muhammadiyah di Kutaraja, Aceh, pada 1927. Beliau juga pernah menjabat sebagai wakil ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Atas perjuangannya, beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 085/TK/2006.
Adam Malik
Buya Hamka
Ulama kharismatik Muhammadiyah ini dikenal sebagai sastrawan, jurnalis, serta pejuang politik dan gerilya yang melawan pasukan Belanda dan Jepang di Sumatera Barat. Sebagai Ketua MUI pertama, Buya Hamka dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 113/TK/2011.
Ki Bagus Hadikusumo
Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953) ini adalah anggota BPUPKI dan PPKI, serta berperan penting dalam penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Ia juga terlibat dalam penyusunan pembukaan UUD 1945. Pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 116/TK/2015.
Nani Wartabone
Tokoh Muhammadiyah asal Gorontalo ini adalah pejuang gigih melawan penjajahan Belanda. Pada tahun 1923, ia mendirikan Jong Gorontalo di Surabaya, menjabat sebagai Ketua PNI cabang Gorontalo, dan mendirikan Komite 12 pada 1941 untuk menghadapi Perang Pasifik. Nani Wartabone dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui SK Nomor 085/TK/2003.
Lafran Pane
Dibesarkan dalam lingkungan pendidikan Muhammadiyah, Lafran Pane berkembang menjadi aktivis politik yang berperan penting dalam sejarah Indonesia. Ia turut serta dalam peristiwa penculikan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok sebagai persiapan untuk proklamasi kemerdekaan. Sebagai pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Lafran Pane dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 115/TK/2017.
AR Baswedan
Mubalig Muhammadiyah yang lahir di Ampel, Surabaya ini adalah anggota BPUPKI, BP-KNIP, parlemen, dan Dewan Konstituante. Ia juga pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Penerangan Indonesia ke-2 pada era Kabinet Sjahrir. Misi diplomatiknya ke Arab menghasilkan pengakuan kemerdekaan Indonesia secara de jure dan de facto dari Mesir. AR Baswedan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui SK Nomor 123/TK/2018.
Gatot Mangkupraja
Wakil Ketua PP Muhammadiyah ini adalah anggota BPUPKI dan turut merintis pendirian pasukan sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Gatot dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui SK Presiden Nomor 089/TK/2004.
Mohammad Sroedji
Mohammad Sroedji, anggota pandu Hizbul Wathan Muhammadiyah, gugur dalam pertempuran melawan pasukan Belanda di desa Karang Kedawung, Jember, pada tahun 1949. Sebagai penghargaan atas pengorbanannya, almarhum dianugerahi Bintang Mahaputra melalui Keppres Nomor 91/TK/2016.
Abdul Kahar Muzakkir
Abdul Kahar Muzakkir, anggota PP Muhammadiyah, dikenal atas perjuangannya di bidang pendidikan. Selain itu, beliau juga turut serta dalam Panitia Sembilan menjelang proklamasi 1945. Pada masa revolusi, beliau berperan dalam membina mental milisi Angkatan Perang Sabil (APS). Atas jasa-jasanya, Abdul Kahar Muzakkir dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 120/TK/2019.
Kasman Singodimedjo
Kasman, yang pernah menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang Jakarta dan anggota PP Muhammadiyah, memiliki kontribusi besar di bidang militer, di antaranya sebagai Komandan PETA dan BKR. Dalam dunia politik, ia berperan sebagai anggota PPKI, Ketua KNIP, Jaksa Agung pertama RI, dan Menteri Muda Kehakiman pada Kabinet Amir Sjarifuddin II. Atas dedikasi dan perjuangannya, Kasman dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 123/TK/Tahun 2018.
Selain tokoh-tokoh yang telah disebutkan, Muhammadiyah masih memiliki banyak individu yang turut berjuang di garis depan dalam merebut kemerdekaan, namun belum dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Beberapa di antaranya adalah Oey Tjeng Hien (pendiri PITI), Samaun Bakri (jurnalis), HM Rasjidi (diplomat dan Menteri Agama RI pertama), Sjamsuddin Sutan Makmur & Muljadi Djojomartono (Menteri Sosial), HM Farid Ma’roef (diplomat), RM Saroso Notosuparto atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara VIII, Askar Perang Sabil, Mohammad Roem, dan masih banyak lagi.
Banyaknya Pahlawan Nasional yang lahir dari Muhammadiyah menjadi sumber inspirasi dan teladan, serta menjadi modal penting bagi anggota Persyarikatan untuk terus memberikan kontribusi terbaik bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia.***