PWMU.CO– Puisi demonstran dibacakan Ketua Divisi Perkaderan Khusus Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fahmi Idris ketika unjuk rasa bersama teman-temannya di halaman Gedung Pemkab Lamongan, Rabu (13/4/2022).
Puisi demonstran dibaca di hadapan ratusan pendemo, polisi, TNI, dan Satpol PP. Aksi damai demonstrasi itu menuntut turun harga minyak goreng, sembako, BBM, dan penolakan penundaan Pemilu 2024.
Fahmi Idris membacakan puisi setelah pendemo dibolehkan masuk ke halaman gedung bertemu dengan Drs H Fahrudin Ali Fikri MSi, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah.
Berkaos hitam bertuliskan DAD 2 IMM Al Iskandariyah di dada sebelah kiri, bertalikan kemeja kotak-kotak berwarna hitam merah di pinggang, Fahmi Idris membacakan puisi dengan lantang penuh penghayatan.
Puisi Demonstran
Serupa maskumambang-maskumambang
pupuh mengantarkan wejangan hidup
kecapi dalam suara sunyi menyendiri
pupuh dan kecapi membalut nyeri
terluka, melukai, dilukai, dan luka-luka
menganga akibat ulah manusia
terengah-engah dalam tabung dan selang
aku seorang petani bojongsari
menghidupi mimpi
dari padi yang ditanam sendiri
kesederhanaan panutan hidup
dapat untung
dilipat dan ditabung
1974 tanah air yang kucinta
berumur dua puluh sembilan tahun
waktu yang muda bagi berdirinya sebuah negara
lambang garuda
dasarnya pancasila
undang-undang empat lima
merajut banyak peristiwa
peralihan kepemimpinan yang mendesak
bung karno diganti pak harto
dengan dalih keamanan negara
pembantaian enam jenderal satu perwira
enam jam dalam satu malam
mati di lubang tak berguna
tak ada dalam perang mahabarata
bahkan di sejarah dunia
REPELITA
rencana pembangunan lima tahun
bisa jadi
rencana pembantaian lima tahun
di tahun-tahun berikutnya
kudapati penembak misterius
tak ada salah apalagi benar
tak ada hukum negara
pembantaian dimana mana
dor di mulut
di kepala diikat tali
dikafani karung.
penguasa punya tahta
yang tidak ada
bisa diada-ada
akulah sengkon yang sakit
berusaha mengenang setiap luka
di dada, di punggung, di kaki
di batuk yang berlapis tuberkulosis
Malam Jumat Dua Satu November 197413
setiap malam jum’at
yasin dilantunkan dengan hidmat
bintang-bintang berdzikir di kedipannya
suara-suara binatang
melengkingkan pujian untuk tuhan
istriku masih mengenakan mukena
mengambilkan minum dari dapur
di kejauhan terdengar warga desa gaduh
“adili si keluarga rampok itu”
“ya… usir dari kampung ini”
“bakar saja rumahnya”
“betul”
di lubang bilik
ada banyak obor dan petromak menyala
teriakan tegas
“sodara sengkon, sodara sudah dikepung ABRI!
kalau mau selamat, menyerahlah!
sodara sudah tidak bisa kabur, angkat tangan!”
istriku kaget
“kok kamu, kang?”
kebingungan
“demi allah saya tidak berbuat jahat!”
masih dalam suara yang sama
“kalau sodara tidak keluar
dalam hitungan tiga
kami akan mengeluarkan
tembakan peringatan
satu, dua… ti…….
secepat yang kubisa aku keluar angkat tangan
di pintu ratusan warga
mulai melontarkan sumpah serapah
anjing!
babi!
setan!
bagong!.
tai!
sampah!
segalanya ada di mulut warga
kata-kata tak mewakili peri kemanusian
warga seperti serigala
tak ada rasa kasihan
dari batu sampai bambu
dari golok sampai balok
dari cerulit sampai arit
diacung-acungkan ke arahku
serempak berkata “allahu akbar!!!”
batu, bambu, dan balok beterbangan ke arahku
“sodara-sodara sekalian, tolong hentikan
biarkan pengadilan yang memutuskan hukuman”
aku masih diselimuti kebingungan
disambut rajia seluruh badan
kepalaku ditodong senjata laras panjang
mendekati puluhan ABRI dan Polisi15
“ya… gantung saja!”
“dasar orang tak tahu diuntung!”
“sampah masyarakat!”
“bagong siah! setan alas! babi! goblok!
duk! dak!
aku dikerumuni pukulan warga
ABRI dan Polisi ikut-ikutan menendang.
dor!
suara tembakan di langit
terdengar sayup
aku terkapar di tanah
seorang ABRI menggusurku
darah dan becek tanah bercampur di tubuh
aku dilemparkan ke atas bak mobil
kondisi diantara sadar atau tidak
selang kejadian
sesosok tubuh dilemparkan ke bak mobil
ada sebagian tubuh yang menindih
kuperhatikan wajah yang penuh luka itu
”karta?”
Penulis Alfain Jalaluddin Ramadlan Editor Sugeng Purwanto