Pelajaran Dari Surah Ash-Shaff
Judul : Tafsir Tematik Surah Ash-Shaff
Penulis : Afrizal Nur
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan : 1, Februari 2022
Tebal, ukuran : x + 98 hlm, 14 x 21 cm
ISBN : 978-602-6268-95-2
Mengapa Surah Ash-Shaff? Mengapa suatu kajian di lingkungan Muhammadiyah memilih surah ini? Pertanyaan ini mungkin muncul ketika DPD IMM Riau mengadakan Kajian Tafsir Qur’am dengan menghadirkan narasumber Afrizal Nur. Kajian ini berlangsung dalam suasana pandemi Covid-19, sehingga dilaksanakan secara virtual melalui aplikasi Zoom. Bahan kajian itulah yang kemudian dikumpulkan menjadi buku ini. Kita berharap kajian serupa yang diadakan oleh berbagai elemen Muhammadiyah dari tingkat Pusat hingga Ranting, beserta acara ortom, atau kegiatan bernuansa akademik lainnya dapat dikumpulkan menjadi buku semacam ini.
Jawaban atas pertanyaan di awal ini didapat begitu kita mendalami makna ayat per ayat dari Surah Ash-Shaff. Bahkan, nama surah, yaitu ash-shaff, yang diambil dari kata shaffan dalam ayat keempat, sudah menunjukkan pentingnya makna surah ini bagi sebuah organisasi. Shaff dikenal sebagai barisan yang teratur, kokoh, dan saling menguatkan. Begitulah semestinya sebuah organisasi berjalan, bagaikan suatu barisan shaff yang lurus dan rapi.
Misalnya, surah ash-shaff menunjukkan tentang etos gerakan yang sejalan dengan etos Muhammadiyah. Pada ayat kedua dan ketiga, dinyatakan tentang etos: “kesesuaian antara ucapan dan perbuatan” serta tentang prinsip “sedikit bicara dan banyak bekerja”. Dalam berbagai forum Muhammadiyah, bukankah slogan itu terus diulang dan didaku? Kajian surah ash-shaff diharapkan memberi pemahaman baru atau menguatkan pengalaman slogan itu. Dalam ayat ketiga, Allah memberi peringatan keras dan membenci orang-orang yang lantang mengatakan sesuatu tanpa mau berbuat apa yang dikatakannya. Apakah Muhammadiyah seudah menjalankan apa yang dikatakannya?
Allah menyeru, “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” Seruan ini ditujukan kepada orang yang hidup dengan imannya, “sehingga mereka mendengar, berpikir, dan berbuat sesuai dengan imannya” (hlm 16). Panggilan ini mengandung penghormatan yang tinggi, sementara “mengatakan sesuatu yang tidak dikerjakan” adalah sesuatu yang hina dan rendah. Perintah Allah ini membawa dampak pada kebahagiaan, sementara larangan juga dalam rangka mencegah kesengsaraan manusia. Ketika diperintahkan untuk jujur, maka kejujuran akan membawa pada kebaikan hidup.
Buku ini menerangkan bahwa iman perlu dijaga. Tanpa pemeliharaan, iman dapat rusak karena dusta dan pengkhianatan. Pengakuan iman tidaklah cukup tanpa ada pemeliharaan rutin, selayaknya tanaman yang mesti disiram dan diberi pupuk. “Memenuhi janji adalah wujud keimanan, kemuliaan akhlak, dan keagungan adab yang akan memunculkan trust dan kepercayaan umat” (hlm 25). Bagi sebuah organisasi, pemenuhan janji secara jujur kepada konstituen dan kepada umat adalah sesuatu yang penting. Tanpa menjalankan amanah, akan merusak kepercayaan umat dan mendatangkan kebencian dari Allah.
Pada ayat kesebelas, Allah berfirman tentang pentingnya berjihad dengan harta dan jiwa. Setelah beriman dan menyakini bahwa itu baik, maka keimanan dituntut pembuktiannya melalui kesungguhan kerja keras dan keikhlasan untuk menginfakkan harta, atau bahkan nyawa. Mengutip Ar Razi, buku ini menyebut tiga jenis jihad: (1) jihad melawan kehendak hawa nafsu diri sendiri; (2) jihad dengan sesama makhluk Allah seperti menjauhkan sikap tamak; (3) jihad menentang musuh Allah dengan jiwa dan harta. (Ribas/SM)