Pernikahan sebagai Laboratorium Perjuangan Sosial, merupakan bagian pertama tulisan berseri yang diambil dari buku Spiritualitas Pernikahan Meraih Kebahagiaan dengan Rahmat Ilahi karya Moh. Sulthon Amien, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Buku ini merupakan kado pernikahan Mizan Tamimy Sulthon dengan Ratih Rachmasari dan Rhamadin Ikhsan Matamari dengan Fina Firdausy Sulthon.
PWMU.CO – Menikah bagi umat Muhammad SAW adalah ittiba’ (mengikuti) Rasul. Dalam sebuah hadits, Nabi bersabda, “Nikah adalah sunahku, maka barang siapa tidak mau menikah atau menghindar dari pernikahan, maka mereka bukan pengikutku” (HR Ibnu Majah)
Salah satu unsur fitrah manusia adalah adanya hubungan tarik-menarik yang alami antara dua jenis yang berbeda, lelaki dan perempuan. Mengingkari adanya hubungan tarik-menarik itu sama artinya dengan mengingkari hukum alam raya yang telah ditetapkan Tuhan Sang Maha Pencipta.
Jadi, Tuhan Yang Maha Esa memperingatkan kita bahwa daya tarik manusia kepada lawan jenisnya dan rasa saling cinta antara kedua jenis itu adalah alami dan sejalan dengan hukum dan sunnah-Nya. Lebih dari itu, daya tarik adalah salah satu tanda-tanda kebesaran Sang Maha Pencipta.
Apabila manusia memahami dan menghayatinya, maka dia akan dibimbing ke arah keinsafan yang lebih mendalam akan kehadiran Allah dalam hidup ini, dan dituntun menuju pendekatan atau taqarrub kepada-Nya (Rachman: 2006).
Pernikahan Bersifat Spiritual
Pernikahan di dalam Islam bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan biologis (seksual) semata, melainkan ada alasan lain yang bersifat spiritual. Tentu alasan itu bersumber dari perintah Allah dan Rasul-Nya, meskipun pada akhirnya semua itu pasti
demi kepentingan dan kebutuhan manusia itu sendiri.
Menikah mengandung tujuan, hikmah, dan manfaat, antara lain demi menjaga kehormatan, kesucian, dan harga diri. Di samping itu juga, untuk meraih ketenangan dan kedamaian atau sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Membentuk generasi Muslim yang shalih dan shalihah dalam upaya menciptakan peradaban Islam di dunia ini, yaitu tegaknya syariat Islam di muka bumi (Al-Kumayi: 2006).
Pada suatu waktu dalam sebuah pejalanan panjang, traveling, saya bertemu dengan seseorang. Setelah agak lama berkenalan dan mulai akrab, saya bertanya soal keluarganya, utamanya kehidupan rumah tangganya. Dia bercerita perkawinannya yang pertama kandas alias bercerai. Tetapi, dia tidak menjelaskan alasan utama perpisahan itu.
Lantas saya menggoda dengan bertanya, “Mengapa tidak kawin lagi, masih menikmati masa duda?”
“Saya tidak perlu istri lagi,” jawabnya dengan enteng
“Mengapa?” saya mengejar.
“Saya sudah bisa mengurus diri sendiri,” katanya.
Saya berhenti dan tidak melanjutkan pembicaraan soal rumah tangga. Kami beralih mengobrol topik yang lain. Dia bercerita sedang memelihara kucing dari luar negeri, jumlahnya sudah mencapai puluhan ekor.
Barangkali ini sebuah pelarian semata. Hari-hari kosongnya dipergunakan untuk bercanda dengan kucing-kucing itu. Biaya perawatan dan makan binatang piaraan itu bisa mencapai jutaan rupiah per bulannya.
Menjelang tidur, kucing-kucing itu naik di dadanya satu per satu dan yang paling disayang dielus dan diajak bicara layaknya dengan manusia. Sesudah itu, baru dia pergi untuk tidur malam. Saya tak bisa membayangkan hidup sendirian pada saat umur masih setengah abad, hanya ditemani puluhan kucing yang hanya mampu berbicara dengan sorot matanya.
Baca sambungan di halaman 2: Nikah sebagai Laboratorium Teori Perjuangan Sosial