MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Dalam QS. Al Baqarah ayat 187 memang tidak langsung menegaskan mengenai sah dan tidaknya puasa seseorang yang ada dalam keadaan junub. Ayat itu menegaskan mengenai kebolehan seseorang (suami istri) untuk melakukan jima’ (bercampur) pada malam hari di bulan Ramadan. Dimaksud dengan malam hari menurut ayat tersebut adalah sampai terbit fajar yaitu sampai batas waktu dimulainya ibadah puasa. Dengan demikian, ayat itu memberi pengertian kebolehan bagi suami istri untuk melakukan jima’ pada malam hari di bulan Ramadan hingga terbit fajar. Pengertian ini menurut teori usul fikih adalah pengertian yang didasarkan pada atau dipahami dari ‘ibaratu al-nash.
Menurut teori usul fikih, suatu ayat atau nash dapat pula diambil pengertiannya berdasarkan pada atau dipahami dari isyaratnya (isyaratu al-nash). Maksudnya adalah bahwa pengertian itu tidak diambil secara langsung dari lafaz-lafaz atau susunan kata-kata nash tersebut tetapi berdasarkan pada isyaratnya. Pengertian yang diambil berdasarkan pada isyarat ini merupakan keharusan logis dari lafaz-lafaz atau susunan kata-kata yang terdapat dalam nash tersebut. Dengan kata lain, pengertian itu tidak ditunjukkan secara langsung atau tidak dimaksudkan oleh lafaz-lafaz atau susunan kata-kata nash itu, tetapi keharusan logis, baik terang maupun tersembunyi, menunjukkan pada adanya pengertian itu. Singkatnya, puasa seseorang dalam keadaan junub hukumnya sah.
Mengapa? Sebab dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa suami isteri diperkenankan untuk melakukan jima’ pada malam hari di bulan Ramadan hingga terbit fajar. Terbit fajar ini adalah saat dimulainya ibadah puasa. Oleh karena itu ayat itu membolehkan suami istri melakukan jima’ sampai saat dimulainya ibadah puasa. Karena jima’ dibolehkan sampai saat dimulainya lbadah puasa, maka konsekuensinya adalah pada saat mulai ibadah puasa itu suami istri dalam keadaan junub. Karena jima’ dibolehkan sampai saat dimulainya ibadah puasa Ramadan maka konsekuensinya puasa dalam keadaan junub itu boleh artinya puasanya seseorang dalam keadaan junub itu hukumnya sah.
Mengenai sahnya puasa bagi seseorang yang dalam keadaan junub itu ditunjukkan pula oleh dalil yang berupa Hadis Nabi Saw. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah: Rasulullah saw pernah bangun pagi dalam keadaan junub karena jima’ bukan karena mimpi, kemudian beliau tidak buka puasa, (membatalkan puasanya) dan tidak pula nengqadhanya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah). Hadis lain yang diriwayatkan Muslim dari ‘Aisyiyah: “Waktu fajar di bulan Ramadan sedang beliau dalam keadaan junab bukan karena mimpi, maka mandilah (mandi janabat) beliau dan kemudian berpuasa” (HR. Muslim dari’Aisyah).
Namun, ketika hendak salat subuh, wajib hukumnya mandi wajib dan tidak sah salatnya jika dalam keadaan junub.