Benarkah Muhammadiyah Berkembang Pesat Berkat Orde Baru?

Fauzan Anwar Sandiah

Kesuksesan Muhammadiyah tampil sebagai kekuatan Islam modernis di Indonesia menimbulkan banyak pertanyaan. Salah satunya adalah bagaimana organisasi ini bisa berkembang pesat dalam aspek keanggotaan dan infrastruktur pendidikan, kesehatan, sosial, dan keagamaan yang berhasil dibangun selama satu abad. Di kalangan sarjana pengkaji Islam Indonesia, jumlah anggota Muhammadiyah diperkirakan kurang lebih antara 25 hingga 30 juta orang dan memiliki ribuan amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan dan berbagai infrastruktur pendidikan, kesehatan, sosial, dan keagamaan lainnya termasuk masjid, panti asuhan atau bahkan koperasi (bdk. Burhani, 2014; Hefner, 2016).

Pesatnya perkembangan Muhammadiyah pasca deklarasi kemerdekaan 1945 baik pada jumlah anggota maupun pada kekuatan infrastruktur diasumsikan berkat atmosfir politik selama pemerintahan presiden Soeharto (1966-1998). Dua pengkaji Muhammadiyah seperti Mitsuo Nakamura (1983 & 2012) dan Hyung-Jun Kim (1996 & 2017) melihat rezim pemerintahan Soeharto yang bertahan selama 32 tahun telah menyediakan suasana politik yang lebih kondusif bagi kelompok muslim modernis dan reformis untuk menyelenggarakan agenda dakwah Islam yang nonpolitis. Ini merupakan kelanjutan yang lebih baik pasca penundukan kekuatan Islam politik demokratis melalui partai Masyumi pada era pemerintahan presiden Soekarno (1945-1967) sehingga fokus para aktivis muslim telah disalurkan untuk menata dakwah kemasyarakatan. Para aktivis Muhammadiyah fokus mendirikan sekolah, fasilitas kesehatan dan penguatan dakwah keagamaan.

Nakamura dan Kim menjelaskan bahwa pasca pemberantasan pengikut atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) selama tragedi mengerikan pada 1965 di Jawa, Bali, Sumatera dan beberapa kota lain, suasana sosial dan politik berubah drastis. Banyak orang mantan pengikut atau simpatisan PKI di pedesaan atau kawasan urban di Jawa misalnya berlomba-lomba untuk tampil semakin religius. Nakamura (2021:292) mencatat sejumlah mantan pengikut, simpatisan PKI dan eks-tapol (tahanan politik) yang kemudian dilepaskan tapi dalam pengawasan pemerintah di Kotagede menampakkan komitmen keagamaan secara serius. Mereka di antaranya aktif dalam perayaan-perayaan Islam selama Idul fitri dan Idul Adha serta berpartisipasi dalam forum pengajian. Kim (2017:83) mencatat hal serupa bahwa orang-orang abangan di pedesaan di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta yang sebagian besarnya pernah mendukung PKI ketika kemudian mengidentifikasi diri sebagai seorang muslim mulai menjalankan kewajiban salat lima waktu.

Jadi, baik Nakamura dan Kim, mereka sama-sama melihat perubahan konstelasi politik dari era kepemimpinan Soekarno dengan koalisi nasionalis dan komunis ke pemerintahan Soeharto berbasis militer sangat menguntungkan bagi program-program nonpolitik kelompok aktivis muslim beraliran modernis dan reformis. Pengamat lain seperti Deliar Noer (1978) dan Hefner (1987) mengkonfirmasi kesimpulan Nakamura dan Kim. Mereka melihat visi pemerintah Soeharto yang mendorong pembangunan dan pembinaan masyarakat tampak kondusif bagi agenda memodernisasi kaum muslim melalui pendidikan oleh organisasi Muhammadiyah. Dari sinilah barangkali muncul asumsi bahwa politik kekuasaan selama rezim Soeharto telah memungkinkan Muhammadiyah berkembang pesat. Benarkah demikian?

Dalam Buku Peringatan Konperensi Muhammadiyah Daerah Pekalongan 1957 Muhammadiyah tercatat sudah memiliki 3000 cabang yang berdiri di seluruh Indonesia dengan kurang lebih 129.506 anggota di jajaran struktural. Itu artinya ketika Muhammadiyah baru berusia 45 tahun, organisasi ini sudahlah sangat besar jauh sebelum Soeharto berkuasa. Organisasi yang berdiri pada 1912 ini di antaranya sudah mendirikan total 989 lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga menengah atas. Mengingat di Jawa, selama tiga dekade 1940an, 1950an hingga 1960an kondisi perekonomian tidak stabil, apa yang berhasil dicapai Muhammadiyah sangatlah mengesankan. Hal ini disebabkan oleh dukungan kelas menengah perkotaan terhadap gerakan dakwah Muhammadiyah yang bermaksud mempromosikan cara berislam sesuai tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah secara moderat dan inklusif. Nakamura sendiri mencatat bahwa pada 1979 jumlah anggota Muhammadiyah sudah meningkat menjadi sekitar 600.000 orang. Tidak dijelaskan apakah itu merupakan jumlah anggota struktural atau kultural seperti simpatisan. Pada 1991 Muhammadiyah sudah memiliki total 12.000 lembaga pendidikan dari tingkat kanak-kanak hingga menengah dan sudah mempunya 67 perguruan tinggi, 12 rumah sakit, 300 rumah bersalin, balai kesehatan, 125 panti asuhan dan lain sebagainya (Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-42, 1991:28).

Sebetulnya peningkatan jumlah anggota dan pendirian infrastruktur pendidikan, kesehatan, sosial, dan keagamaan selama dekade 1970 dan 1980 bukan hanya terjadi di kalangan muslim seperti dalam kasus Muhammadiyah. Pasca pemberangusan gerakan komunis di Indonesia tahun 1965, pemerintah Soeharto pada dekade setelahnya mendorong supaya mantan pengikut dan simpatisan PKI yang masih hidup atau eks-tapol (tahanan politik) supaya bergabung dengan agama resmi yang diakui pemerintah. Sikap pemerintahan Soeharto ini telah mendorong konversi orang-orang atau simpatisan gerakan komunis untuk berafiliasi atau bergabung dengan gerakan keagamaan dan punya identitas agama resmi seperti Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Buddha. Jutaan orang telah melakukan konversi keagamaan selama masa itu, untuk Kristen diperkirakan ada sekitar 2 hingga 3 juta orang telah bergabung (Shihab, 1998 & 2016). Dalam pengamatan Kim (2017:83) di sejumlah desa yang tidak memiliki ulama, masjid atau pesantren khususnya pedesaan di Jawa, mantan pendukung komunis memilih bernaung di bawah agama Kristen.   

Sejauh ini memang masih sangatlah dini untuk melihat hubungan antara dorongan konversi agama bagi orang-orang komunis dan simpatisannya semasa Soeharto berkuasa pada Muhammadiyah. Nakamura (2021: 291-292) menyebut periode ini sebagai “lubang hitam” dalam sejarah perkembangan sosial. Maka asumsi bahwa Muhammadiyah mendapatkan keuntungan lebih baik karena pemerintah Soeharto memberangus kekuatan komunis masih abu-abu. Yang jelas, selama dekade 1970an dan 1980an, Muhammadiyah telah mencurahkan seluruh sumber daya organisasi untuk berdakwah.

Arsip Berita Resmi Muhammadiyah Nomor 91 (BRM) yang terbittahun 1980 mungkin akan menjelaskan mengapa Muhammadiyah menuai sukses selama dekade ini. Ada 3 dari 10 butir poin penting yang harus dicatat terkait strategi Muhammadiyah untuk melewati masa pemerintahan yang sangat panjang dari presiden Soeharto. Sebagaimana tercatat dalam “Matan Garis Kebijakan Pimpinan Persyarikatan tahun 1978-1981” (hlm.5) yang ada dalam edisi BRM tersebut, pertama Muhammadiyah telah mengkonsolidasikan seluruh sumber dayanya untuk mendirikan amal usaha seperti sekolah, perguruan tinggi dan rumah sakit.  Kedua, Muhammadiyah mendorong para aktivisnya untuk menggalang kekuatan finansial supaya organisasi menjadi sangat mandiri dalam ekonomi. Ketiga, meski Muhammadiyah masih kerap melontarkan kritik pada pemerintah Soeharto, organisasi ini pada saat yang sama mengembangkan komunikasi efektif dengan para pejabat pemerintahan termasuk pada Soeharto sendiri.

Jadi benarkah perkembangan pesat Muhammadiyah berlangsung secara istimewa ketika Soeharto berkuasa? Jawaban terhadap pertanyaan ini masih membutuhkan riset yang mendalam. Kajian klasik mengenai Muhammadiyah juga kesulitan untuk memberikan jawaban yang memuaskan. Dan perlu diingat bahwa pesatnya perkembangan Muhammadiyah berlangsung dalam beragam tahap kekuasaan di nusantara yang punya karakter berbeda-beda. Sebagai contoh, ketika Indonesia masih berada di bawah kontrol kolonial Belanda pada 1927, Muhammadiyah sudah berhasil mendirikan 176 cabang. Jumlah itu terus meningkat meski perkembangan politik dan dinamika kekuasaan berlangsung tanpa henti. Dan sebetulnya Muhammadiyah lebih sering berhadapan dengan kesulitan terkait sejumlah sikap resmi pemerintah baik pada masa kolonial, pendudukan Jepang, pasca deklarasi kemerdekaan dan era reformasi (1998 hingga sekarang) daripada iklim kondusif.

Sejauh ini salah satu penjelasan paling masuk akal tentang perkembangan pesat Muhammadiyah khususnya dalam pendirian infrastruktur pendidikan, kesehatan, sosial dan keagamaan adalah kekuatan kelas menengah muslim di Muhammadiyah yang relatif terkonsolidasi sepanjang kekuasaan Soeharto (Nakamura, 2021). Kekuatan kelas menengah muslim memang telah menjelaskan mengapa Muhammadiyah secara bertahap sejak berdiri di Kauman pada 1912 telah berhasil bangkit menjadi kekuatan Islam modernis khas nusantara. Sikap keagamaan Muhammadiyah yang sangat moderat dan upaya memadukan pengajaran agama dan pengamalannya secara berkemajuan di kehidupan sehari-hari adalah daya tarik utama.

Sehingga jawaban atas pertanyaan mengapa Muhammadiyah berkembang pesat dari jumlah keanggotaan dan kemapanan finansial seperti yang terlihat dari jumlah pendirian infrastruktur pendidikan, kesehatan, sosial dan keagamaan, dapat dilacak pada keberhasilan dakwah Muhammadiyah terhadap kelas menengah muslim. Muhammadiyah tampaknya memang relatif berhasil mengalihkan atau menyalurkan orientasi kekuatan finansial kelas menengah muslim untuk pengamalan Islam secara nyata di bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan keagamaan melalui pembentukan karakter kesukarelaan. Apakah dengan cara ini Muhammadiyah telah berhasil bertahan dan berkembang selama satu abad? Masih banyak hal menarik yang patut didiskusikan.

klik sumber berita ini

Author

Vinkmag ad

Read Previous

Berlian School Luncurkan Film Pendek Ramadhan | PWMU.CO

Read Next

Aksi Mahasiswa 114, Anwar Abbas Minta Polisi Jangan Halangi Demonstran

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular