BANDUNGMU.COM, Bandung — Dari sisi periwayatan dan sumbernya, hadis diklasifikasikan menjadi empat bentuk, yaitu hadis qudsi yang bersumber dari Allah, hadis marfu yang bersumber dari Nabi SAW, hadis mauquf yang bersumber dari sahabat, dan hadis maqthu yang bersumber dari tabiin.
Dalam diskursus hadis, pembagian ini menunjukkan bahwa apa yang dimaksud dengan hadis, tidak hanya bersumber dari Rasulullah an sich. Lantas, bagaimana hukumnya menjadikan mauquf sebagai hujah?
Mengutip laman resmi muhammadiyah.or.id, Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Tarjih Syamsul Anwar menerangkan bahwa mauquf berarti terhenti atau tidak sampai. Oleh karena itu, hadis mauquf artinya perkataan atau perbuatan yang tidak sampai kepada Rasulullah SAW, tetapi bersumber pada sahabat.
Secara umum, kategori mauquf sering diatribusikan sebagai hadis daif atau kualitas hadis yang masih lemah untuk sampai ke Rasulullah SAW. Dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah, ada beberapa kaidah hadis yang menyangkut boleh tidaknya menggunakan hadis mauquf sebagai hujjah.
Pertama, kaidah bahwa hadis mauquf murni tidak dapat dijadikan hujah. Menurut Syamsul, berdasarkan kaidah ini, perkataan atau perbuatan sahabat tidak bisa menjadi patokan untuk menentukan hukum terutama dalam ibadah. Misalnya, pandangan para sahabat tentang jumlah rakaat salat tarawih.
Kedua, kaidah bahwa hadis mauquf yang termasuk ke dalam kategori marfu dapat dijadikan hujah. Syamsul menerangkan bahwa perkataan atau perbuatan sahabat yang memiliki indikasi bersumber dari Rasulullah SAW dapat dijadikan sumber hukum.
Dengan kata lain, hadis mauquf dapat dijadikan hujah apabila tercantum kata-kata yang menunjukkan kemungkinan hal tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Misalnya, pernyataan Ummu Athiyyah, “Kita diperintahkan supaya mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haid pada Hari Raya.”
“Ucapan Ummu Athiyyah ini dapat dijadikan hujah atau argumentasi hukum karena ada karinah atau petunjuk bahwa pandangannya bersandar dari Rasulullah SAW. Kata pasif “diperintahkan” yang disampaikan Ummu Athiyyah itu artinya perintah yang disampaikan Rasulullah SAW,” terang Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Karena hadis mauquf sering diatribusikan sebagai hadis daif, kaidah hukum ketiga berbunyi bahwa hadis-hadis daif yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujah.
Kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya dan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan hadis sahih.
Berdasarkan kaidah di atas, Syamsul menerangkan bahwa pada prinsipinya hadis daif tidak dapat dijadikan hujah. Namun, ada suatu perkecualian yakni hadis daif bisa juga menjadi hujah apabila hadis tersebut punya beberapa hal seperti berikut.
Pertama, banyak jalur periwayatannya sehingga satu sama lain saling menguatkan. Kedua, ada indikasi berasal dari Nabi SAW. Ketiga, tidak bertentangan dengan Al-Quran. Keempat, tidak bertentangan dengan hadis lain yang sudah dinyatakan sahih. Kelima, kedaifannya bukan karena rawi hadis bersangkutan tertuduh dusta dan pemalsu hadis.***