BANDUNGMU.COM, Bandung — Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Perwakilan Jawa Barat menggelar workshop penguatan literasi fikih zakat untuk amil bertajuk “Recharging Literasi Fikih Zakat untuk Amil yang Inovatif” selama dua hari di Hotel Shakti, Kota Bandung, dari Selasa-Rabu (19-20/11/2024).
Sebanyak 114 peserta mengikuti workshop ini dengan menghadirkan berbagai narasumber. Di antaranya Anang Jauharuddin (Ketua Baznas Jabar), Achmad Ridwan (Wakil Ketua II Baznas Jabar Bidang Perencanaan, Keuangan, dan Pelaporan), dan Muhammad Rifai (Ketua Tim Peningkatan Kualitas Pembinaan, Pengawasan, dan Pemberdayaan Zakat dan Wakaf).
Kemudian narasumber lainnya seperti Rahmat Syafe’i (Ketua Umum MUI Jabar) Badruzaman (Wakil Ketua MUI Jabar), Asep Zainal Muttaqin, (Ketua DSN-MUI Perwakilan Jabar), dan Sofian Al-Hakim (dosen UIN Bandung). Acara ini dipandu oleh Fahmi Hasan Nugroho.
Dalam sambutannya, Anang Jauharuddin menyampaikan amil zakat memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan zakat, infak, dan sedekah di Indonesia. Sebagai pengelola dana umat, amil zakat dituntut untuk memiliki kompetensi yang tinggi dalam berbagai aspek, mulai dari pengumpulan, pengelolaan, hingga pendistribusian dana zakat.
Namun, berdasarkan berbagai penelitian dan observasi, masih terdapat banyak amil zakat yang belum memiliki kompetensi yang memadai untuk menjalankan tugasnya secara profesional.
“Saya meminta agar kegiatan ini harus bisa terlaksana dengan rutin agar kompetensi amil dan Dewan Pengawas Syariah di lembaga pengelola ZIS terus berkembang dan dapat memberikan solusi umat,” tegasnya.
Hasil studi yang dilakukan di BAZNAS (Bazis) DKI Jakarta menemukan bahwa kompetensi amil zakat memiliki pengaruh signifikan terhadap pengelolaan dana zakat. Penelitian ini melibatkan 43 amil zakat sebagai responden.
Mari kita bandingkan dengan survei yang dilakukan oleh Pusat Kajian Strategis BAZNAS dan Kementerian Agama pada 2020 yang menunjukkan bahwa tingkat literasi zakat nasional berada pada skor 66,78 yang masuk dalam kategori menengah atau moderat. Survei ini melibatkan 3200 responden dari 32 provinsi di Indonesia.
“Kondisi ini disebabkan beberapa faktor, antara lain kurangnya pelatihan dan pendidikan yang berkelanjutan bagi amil zakat, serta minimnya akses terhadap sumber daya dan informasi yang relevan,” jelasnya.
Ketua MUI Jabar Rachmat Syafe’i saat membuka workshop menegaskan agar diperlukan upaya yang sistematis dan terstruktur untuk meningkatkan kompetensi amil zakat agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan lebih efektif dan efisien.
“Zakat harus dikelola oleh amil yang profesional. Karena jika suatu urusan diserahkan kepada orang tidak kompeten, tunggulah kehancuran,” bebernya.
Dalam laporannya, Asep Zainal Muttaqin menyebutkan kegiatan workshop ini diikuti oleh semua perwakilan Baznas se-Jawa Barat dan LAZ yang ada di Jabar. “Alhamdulillah kegiatan ini disambut antusias karena dari 100 orang target peserta ternyata diikuti oleh 114 peserta yang aktif sampai kegiatan berakhir. Terima kasih kepada MUI dan Baznas yang telah mendorong terlaksananya workshop ini,” tuturnya.
Workshop ini menjadi wahana para amil untuk bersilaturahmi dan bersilatuilmi dalam meningkatkan aspek literasi fikih zakat. Kegiatan ini diharapkan memberikan pelatihan dan pembekalan kepada amil zakat mengenai berbagai aspek penting dalam pengelolaan zakat.
“Melalui workshop ini, diharapkan para amil zakat dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka terkait fikih zakat. Sehingga amil lebih mampu berinovasi dalam melahirkan program yang relevan dengan kebutuhan tapi tetap berjalan pada koridor syariah,” ujarnya.
Saat memberikan materi, Sofyan Al-Hakim mengurai aspek fikih dalam distribusi ZIS, terutama untuk asnaf amil dan fisabilillah. Dengan komprehensif konteks fikih terkait lahirnya regulasi dan fatwa terkait hak operasional untuk amil dan asnaf fi sabilillah.
“Konteks fikih ini harus dikuasai amil dan DPS agar dapat melakukan inovasi dalam penyusunan program ZIS yang tetap merujuk pada ketentuan syariah yang relevan dengan ketentuan regulasi dan kepentingan NKRI,” tandasnya. Sebagai yang menjadi adagium pengelolaan zakat di Indonesia yaitu 3A (aman syariah, aman regulasi, dan aman NKRI).
Badruzaman dalam penutupan workshop menegaskan bahwa umat Islam harus kaya supaya bisa berzakat untuk membina umat yang sejahtera. Dalam Islam, kekayaan dipandang sebagai amanah yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya.
“Dengan kekayaan, seorang muslim memiliki peluang untuk melakukan kebaikan yang lebih besar, termasuk membangun kesejahteraan umat melalui zakat, sedekah, infak, dan amal lainnya,” katanya.
Salah satu caranya menunaikan kewajiban zakat. Zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam. “Dengan menjadi kaya, seorang muslim mampu mengeluarkan zakat yang manfaatnya sangat luas, baik untuk fakir miskin, pembangunan masyarakat, pendidikan, maupun penyebaran dakwah,” pungkasnya.***