BANDUNGMU.COM, Bandung — Masyarakat Indonesia terlebih yang menyukai pemikiran pembaru Islam pasti mengenal seperti apa sosok tokoh Persatuan Islam (Persis) yang bernama Ahmad Hassan atau Hassan Bandung.
Ulama pembaru yang lama tinggal di Bandung ini terkenal jago debat, orator, produktif menulis buku, pengusaha, dan cakap dalam bermain logika dengan lawan diskusinya.
Bahkan logika tersebut terbilang jenaka. Mengutip laman hidayatullah.com, Rabu 01 Maret 2023, setidaknya ada empat contoh yang menunjukkan kejenakaan Hassan Bandung atau juga terkenal dengan sebutan A Hassan dalam berlogika.
Soal nyamuk
Pertama, saat debat dengan M Akhsan pada 1955 di Gedung Al-Irsyad Surabaya (Syafiq Mughni, 1994: 82). Saat itu A Hassan menanyakan pertanyaan kepadanya, “Menurut Anda, kalau ada nyamuk yang menggigit apa yang akan dilakukan?” “Saya bunuh!”
A Hassan membalas, “Bukankah itu suatu kezaliman?” tanya A Hassan. “Saya bunuh nyamuk lantaran gigit saya.” “Menurut keadilan fikiran, jika nyamuk menggigit tuan, mestinya tuan balas gigit dia. Balas dengan membunuh itu tidak adil.” Seisi hadirin yang menghadiri perdebatan termasuk M Akhsan pun tertawa mendengarnya (A Hassan, Adakah Tuhan?, 22).
Manusia dan monyet
Kedua, masih dalam momen yang sama, A Hassan mempertanyakan tulisan M Akhsan di surat kabar pada 9 Agustus 1955 berupa: ada orang yang keluar buntutnya dan terus memanjang dan ingin dipotong karena semakin panjang semakin menyakitkan. Berdasarkan tulisan tersebut, A Hassan bertanya kepada M Akhsan yang intinya apakah dengan demikian manusia berasal dari monyet?
M Akhsan menjawab, “Ya.” A Hassan menimpali, “Jika demikian, berarti monyet berasal dari manusia, bukan manusia berasal dari monyet…” seluruh peserta yang hadir pun tertawa terbahak-bahak dan tepuk tangan, padahal pada waktu itu dilarang tertawa (Tamar Djaja, Riwayat Hidup A Hassan, 80).
Pemuda ateis
Ketiga, saat berdebat di Jakarta dengan Suradal Nahatmanto (seorang pemuda dari Yogyakarta yang bangga dengan keateisannya). Kesempatan pertama diberikan kepada Suradal. Pemuda ateis ini berbicara panjang lebar kemudian di ujungnya ia mengucapkan, “Saya telah berjumpa Tuhan. Tetapi, ketika berjumpa itu, saya ketahuilah sebenar-benarnya demi maha tidak ada Tuhan.”
Saat diberi kesempatan, A Hassan tidak berpidato panjang seperti dirinya, beliau hanya bertanya, “….Dengan siapa tuan berjumpa?” Ia menjawab, “Saya berjumpa dengan maha yang tidak ada.”
A Hassan pun dengan lekas merespons, “Kalau tidak salah tuan berbicara dalam bahasa Indonesia. Tapi, kalau tuan berkata bahwa tuan telah berjumpa dengan yang maha tidak ada, sukar bagi saya untuk mengerti perkataan dan bahasa tuan. Mungkin saya belum cukup umur untuk belajar bahasa Indonesia sebagaimana yang tuan pergunakan.” Mendengar pernyataan A Hassan, para hadirin tertawa, sedangkan Suradal kelihatan marah (Tamar Djaja, 1980: 84).
Ulama kodok
Keempat, saat ditanya mengenai hukum makan daging kodok. A Hassan menjawab halal karena yang diharamkan hanya empat dalam Al-Quran. Setelah mendengar jawaban beliau, si penanya langsung berkomentar, “Berarti tuan pantas disebut ulama kodok.”
A Hassan tak kehabisan akal, dia langsung bertanya mengenai hukum memakan kerbau. Si penanya menjawab, “Boleh.” Kemudian A Hassan menimpali, “Berarti Tuan pantas disebut ulama kerbau.” (Herry Mohammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad XX, 18).
Demikianlah sekelumit dari perjalanan hidup tokoh yang juga merupakan guru tokoh bangsa Mohammad Natsir ini. A Hassan merupakan ulama yang keras, tegas, dan garang di atas mimbar. Namun, ulama ini seperti domba dalam pergaulan. Bergaul secara luwes dengan siapa saja. Tokoh ini memang tidak ada tandingannya.***